Ketika Menemukan Perbedaan Data antara Sirekap dan C.Hasil
Apa yang bisa dilakukan pemilih jika menemukan perbedaan antara data yang tertulis dalam formulir C.Hasil Plano di TPS?
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
Tak lebih dari tujuh jam setelah pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS) berakhir, jagat media sosial diramaikan dengan gambar dan video tentang hasil penghitungan suara yang diunggah ke Sistem Informasi Rekapitulasi atau Sirekap. Berbagai unggahan dalam bentuk video ataupun foto itu menunjukkan perbedaan jumlah suara antara formulir C.Hasil Plano dengan angka yang terbaca di Sirekap.
Salah satu unggahan di akun media sosial X, misalnya, menunjukkan data penghitungan suara di TPS 013, Kalibaru, Depok, Jawa Barat yang diperoleh dari Sirekap. Ada perbedaan angka perolehan suara dari salah satu pasangan capres-cawapres antara yang diunggah di Sirekap dan angka yang tertulis dalam formulir C.Hasil Plano. Jumlah suara yang ada di Sirekap jauh lebih banyak dibandingkan dengan angka hasil penghitungan suara yang tercatat di formulir C.Hasil.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Unggahan-unggahan tersebut kini ramai dibicarakan peserta pemilu, tim kampanye, atupun pemilih. Mereka ramai-ramai mencocokkan dokumen dalam formulir C.Hasil Plano di berbagai TPS dengan data yang dimasukkan ke dalam Sirekap.
Lantas, apa yang bisa dilakukan pemilih jika menemukan perbedaan antara data yang tertulis dalam formulir C.Hasil Plano di TPS dan Sirekap?
Sebenarnya, penggunaan sistem penghitungan suara secara elektronik sudah dilakukan KPU sejak Pemilu 2019. Kala itu, KPU menggunakan Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng). Pada Situng, data yang diunggah adalah hasil rekapitulasi suara di tingkat KPU kabupaten/kota. Sementara pada Sirekap yang pertama kali digunakan saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, data yang diunggah adalah hasil rekapitulasi suara sejak di tingkat TPS.
Sirekap merupakan perangkat aplikasi berbasis teknologi informasi yang digunakan sebagai sarana publikasi proses dan hasil penghitungan suara. Sirekap menjadi alat bantu dalam penghitungan suara pemilu. Namun, penetapan hasil pemilu tetap mengacu pada rekapitulasi berjenjang yang dilakukan mulai dari tingkat TPS, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga penetapan secara nasional oleh KPU RI pada 20 April mendatang.
Data di Sirekap berasal dari formulir C.Hasil yang diunggah oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS. Seusai melaksanakan penghitungan suara, KPPS memfoto formulir C.Hasil dan mengunggahnya ke aplikasi Sirekap mobile yang dijalankan melalui gawai. Aplikasi ini menggunakan teknologi OMR (Optical Mark Recognition) dan OCR (Optical Character Recognition) sehingga bisa membaca angka-angka yang ditulis di formulir C.Hasil.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Idham Holik, mengatakan, publik dapat berpartisipasi untuk memberikan masukan ke KPU jika menemukan perbedaan data. Masyarakat bisa menyampaikan masukan melalui humas KPU ataupun pusat krisis yang dibentuk di tingkat KPU RI, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
”Publik bisa memberikan masukan melalui media sosial KPU maupun datang langsung ke pusat krisis KPU di berbagai tingkatan,” katanya.
Idham menuturkan, ada mekanisme untuk merevisi hasil pembacaan sistem yang salah. Kesalahan pembacaan Sirekap untuk pemilihan presiden akan direvisi saat rekapitulasi di tingkat kecamatan. Sementara untuk pemilihan anggota legislatif, pembenaran dilakukan oleh KPU kabupaten/kota. Dengan demikian, masukan masyarakat untuk Sirekap akan dicatat dan ditindaklanjuti saat penghitungan suara berjenjang.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, terkadang sitem salah baca sehingga salah dalam mengonversi hasil penghitungan suara. Jika ada perbedaan data, itu bukanlah salah ketik, tetapi kesalahan sistem dalam membaca angka-angka yang ditulis oleh KPPS.
”Tidak ada niat dan tindakan KPU beserta jajaran penyelenggara pemilu untuk melakukan manipulasi hasil perolehan suara per TPS hasil unggah Form C.Hasil TPS dalam Sirekap,” ujar Hasyim di Jakarta, Kamis (15/2/2024).
Data yang dihimpun KPU hingga Kamis pukul 19.30 menunjukkan, sebanyak 43,58 persen TPS dari total lebih dari 823.236 TPS sudah mengunggah datanya ke Sirekap. Dari jumlah tersebut, KPU mendeteksi kesalahan konversi pada 2.325 TPS atau 0,64 persen dari TPS yang sudah mengunggah datanya.
Tidak ada niat dan tindakan KPU beserta jajaran penyelenggara pemilu untuk melakukan manipulasi hasil perolehan suara per TPS hasil unggah Form C.Hasil TPS dalam Sirekap.
Hasyim menuturkan, data perolehan hasil suara yang salah konversi termonitor oleh sistem dan akan dilakukan koreksi merujuk pada Form C.Hasil yang diunggah dalam Sirekap. Dalam hal terdapat salah konversi hasil hitung suara, maka yang dijadikan rujukan dalam Sirekap adalah unggahan Form C.Hasil untuk memastikan mana data yang benar.
Anggota KPU, Betty Epsilon Idroos, menambahkan, setiap TPS rata-rata mengunggah lebih dari 70 lembar formulir C.Hasil ke Sirekap. Rinciannya, tiga lembar untuk surat suara pilpres dan masing-masing 20 lembar untuk surat suara pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Sementara untuk lembar surat suara DPD bergantung pada banyaknya calon yang berkontestasi di tiap provinsi.
KPU juga menggunakan teknologi AprilTag untuk mencegah kesalahan urutan dalam mengunggah lembaran-lembaran C.Hasil. KPU pun membuka data tabulasi suara serta foto formulir C.Hasil di laman https://pemilu2024.kpu.go.id. ”Semua data Sirekap terbuka secara gamblang untuk menerapkan prinsip transparansi,” ujar Betty.
Koreksi kesalahan
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengingatkan, KPU harus responsif mengoreksi kesalahan secara sigap dan profesional. Dengan demikian, kecurigaan di masyarakat tidak akan berlariut-larut yang bisa berpotensi melemahkan kredibilitas pemilu.
Di saat yang sama, KPU harus melakukan evaluasi serius untuk mengetahui penyebab dan kontributor atas kesalahan yang terjadi. KPU juga tidak boleh ragu untuk melakukan otokritik terhadap internal mereka agar bisa dilakukan perbaikan dan selanjutnya bisa meningkatkan kualitas kerja kelembagaan KPU beserta jajaran.
”Kesalahan input yang terbiarkan dan terus-menerus teramplifikasi tanpa ada narasi klarifikasi yang meyakinkan dari KPU, diyakini pasti akan menimbulkan gangguan terhadap kepercayaan publik terhadap KPU,” kata Titi.