Partai Nonparlemen Sulit Lolos Masuk DPR, Jejaring Politik Jadi Kendala
Dari pengalaman pemilu sebelumnya, memang bukan hal mudah bagi partai nonparlemen menembus ambang batas parlemen.
JAKARTA, KOMPAS — Jejaring politik serta modal sosial dan finansial yang masih terbatas ditengarai menjadi sebab partai-partai politik nonparlemen kesulitan menembus ambang batas parlemen 4 persen suara sah nasional. Suara pemilih yang sudah terkonsolidasi ke partai-partai yang lebih mapan menjadi faktor lain yang menyebabkan sulitnya parpol nonparlemen lolos ke Senayan meski sudah beberapa kali mengikuti pemilu.
Dari sasil hitung cepat Litbang Kompas hingga Jumat (16/2/2024) pukul 15.30, diperkirakan 10 dari 18 partai politik peserta Pemilu 2024 meraih suara di bawah 4 persen. Hitung cepat dilaksanakan di 2.000 tempat pemungutan suara (TPS) sampel dengan margin of error +/- 1 persen.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Lima dari 10 parpol itu adalah partai-partai politik nonparlemen, yakni parpol yang tidak memiliki kursi di DPR dan sudah pernah mengikuti pemilu sebelumnya. Kelima partai itu adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang meraih 2,81 persen suara, Partai Persatuan Indonesia (Perindo) dengan 1,38 persen, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 0,83 persen, Partai Bulan Bintang (PBB) 0,39 persen, dan Partai Garuda 0,30 persen.
Baca juga: Dari Perindo hingga PSI, Partai Nonparlemen Sulit Tembus ke Senayan
Jika melihat pengalaman pemilu ke pemilu sebelumnya, memang bukan hal yang mudah bagi parpol nonparlemen ataupun untuk lolos parlemen. Pemilu 2014, misalnya, dari 12 parpol peserta pemilu, dua parpol tidak memenuhi ambang batas parlemen, yakni PBB dengan raihan 1,46 persen suara sah nasional serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang meraih 0,91 persen. Pada Pemilu 2009, keduanya juga tidak lolos ambang batas parlemen.
Lalu, Pemilu 2019, dari 14 parpol peserta pemilu, tujuh parpol tidak lolos parlemen. Ketujuh parpol itu ialah Perindo (2,67 persen), Partai Berkarya (2,09 persen), PSI (1,89 persen), Partai Hanura (1,54 persen), PBB (0,79 persen), Garuda (0,50 persen), dan PKPI (0,22 persen). Dari 7 parpol itu, 4 di antaranya merupakan parpol baru, 1 parpol parlemen, dan 2 parpol nonparlemen.
Peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiatri, menilai, partai baru dan partai non-DPR memiliki kesulitan untuk menembus ambang batas parlemen karena beberapa alasan. Pertama, ambang batas parlemen dibuat oleh para politisi di DPR untuk menekan jumlah partai di parlemen. Hal ini tidak hanya untuk kepentingan efektivitas kerja parlemen dan sistem presidensial, tetapi juga melemahkan kompetisi antar-partai sendiri dengan mencegah partai baru masuk parlemen.
”Oleh karena itu, memang angka parliamentary threshold ini dibuat cukup tinggi 4 persen yang tidak mudah ditembus oleh partai,” ujar Aisah saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (16/2/2024).
Faktor lain adalah partai baru dan partai nonparlemen juga harus berkompetisi di lahan pertempuran politik yang sama dengan partai-partai di DPR. Dalam kondisi itu, infrastruktur, modal sosial, dan modal finansial partai-partai di DPR sudah mapan. ”Tentunya tidak mudah bagi mereka (partai nonparlemen dan partai baru) untuk merebut suara dalam kompetisi yang berat tersebut,” ucapnya.
Bukan hanya itu, partai-partai politik di DPR sudah memiliki basis massa dan loyalis yang dijaga oleh para anggota DPR mereka di daerah pemilihan (dapil) tersebut. Loyalitas ini tentu tidak mudah dipengaruhi, apalagi jika partai baru atau non-DPR kemudian tidak memberikan tawaran lebih menarik dan masih belum pasti masuk parlemen.
”Jadi, enggak bisa instan untuk mengubah pilihan politik pemilih. Meski beberapa survei menunjukan bahwa pemilih menjadi semakin permisif pada politik uang, tidak semudah itu juga pilihan politik pada caleg atau partai itu bisa diubah. Apalagi kalau yang sudah basis massanya partai dalam jangka panjang,” ucap Aisah.
Menurut Aisah, calon anggota legislatif (caleg) dengan modal sosial dan modal finansial kuat tentu memiliki potensi menang lebih besar. Sementara para caleg parpol nonparlemen tidak semuanya memiliki modal sosial dan modal finansial kuat. Situasi inilah yang dinilai dapat memperlemah potensi partai nonparlemen dan juga partai baru mendulang suara untuk menembus ambang batas parlemen.
Calon anggota legislatif (caleg) dengan modal sosial dan modal finansial kuat tentu memiliki potensi menang lebih besar. Sementara para caleg parpol nonparlemen tidak semuanya memiliki modal sosial dan modal finansial kuat.
Untuk PSI, menurut Aisah, kesulitan memiliki figur yang ditumbuhkan dari internal partainya. Meski ada beberapa tokoh terkenal di partai, tidak kemudian serta-merta mampu menguatkan modal finansial dan modal sosial partai untuk bertahan dan untuk masuk DPR. Oleh karena itu, dibutuhkan sosok lain dan mendekatkan diri kepada Presiden Joko Widodo, bahkan menjadikan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, sebagai ketua umumnya.
Faktor kunci
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno membenarkan, struktur dan jaringan partai harus diakui menjadi variabel atau faktor kunci apakah partai nonparlemen ataupun partai baru itu akan lolos ke parlemen atau tidak. Sebab, jaringan partai ini determinan.
”Jaring-jaring partai inilah yang sebenarnya mengonsolidasi dan memobilisasi dukungan supaya pemilih itu memilih partai dan caleg yang bersangkutan," ucap Adi.
Untuk itu, sekuat apa pun logistik dan finansial partai tersebut, jika mesin politik dan jaringan politiknya tidak jalan, partai itu akan mustahil bisa lolos ke Senayan. ”Contoh, parpol-parpol yang kelihatan baliho dan logistik banyak, bahkan nempel ke tokoh yang punya nama besar, tetapi tidak menjadi bagian partai, itu juga nyatanya tidak lolos ke parlemen,” katanya.
Adi juga sepakat bahwa pemilih Indonesia cenderung memandang figur atau tokoh tertentu dalam memilih partai. Ada partai teridentifikasi terhadap figur tertentu. ”Saya kira dalam konteks itu, PSI dan partai-partai politik baru gagal melahirkan pemimpin-pemimpin yang memiliki magnet politik elektoral,” ujarnya.
Hal ini tak bisa disamakan dengan Gerindra dan Nasdem setelah pecah dari Golkar. Sebab, kedua partai itu mampu memanfaatkan modal sosial dari partai sebelumnya dan mempunyai figur kuat. Sebab, jika partai tidak memiliki setidaknya dua aspek itu, dipastikan akan ”terbenam” sebagaimana yang terjadi pada Hanura.
Baca juga: Kemungkinan PSI Tak Tembus di DPR, Presiden Panggil Raja Juli Antoni ke Istana
”Hanura sebenarnya punya momentum untuk ada di Senayan. Tetapi, kan, ketegangan di internal partai jadi faktor mengapa Hanura beberapa periode lalu tidak lolos. Artinya apa? Kalau mesin politik solid, dengan ada figur kunci, partai ini sebenarnya ada harapan untuk terus berada di Senayan. Tetapi, karena gejolak internal itu, kekuatan politik berkurang,” kata Adi.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal PBB Afriansyah Noor mengakui partainya memang kesulitan menembus ambang batas parlemen. Selain karena banyaknya partai yang ikut kontestasi, anggaran PBB untuk kampanye juga sangat terbatas.
”Kesulitan itu terasa setelah verifikasi faktual oleh KPU. Kompetisinya kian ketat. Saat kampanye saja, alat peraga kampanye PBB dan calon legislatif sangat kurang sekali. Butuh dana kampanye yang besar, tetapi itulah sistem demokrasi Indonesia,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Jumat.
Meskipun demikian, PBB optimistis bisa lolos ke Senayan. Saat ini, Afriansyah beserta kader tengah menyusun temuan hasil dari saksi-saksi di setiap tempat pemungutan suara (TPS). Dengan demikian, PBB bisa memastikan jumlah suara riil yang didapatkan.