Mantan Komisioner Komnas HAM Serukan Pemilu Jurdil, Presiden Diharapkan Jadi Contoh
Mantan komisioner Komnas HAM serukan penyelamatan HAM lewat Pemilu-Pilpres 2024 yang jurdil. Presiden harus jadi contoh.
JAKARTA, KOMPAS — Pemilihan umum sejatinya adalah sarana untuk menghormati dan memenuhi hak asasi manusia. Oleh karena itu, pemilihan umum dan pemilihan presiden mesti berjalan dengan prinsip jujur dan adil. Semua bentuk kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan harus dicegah dan segera dihentikan.
”Presiden harus menjadi contoh dan menjaga prinsip free and fair pada seluruh tahapan pemilu dan Pilpres 2024 sehingga kemurnian suara rakyat terjaga,” kata mantan pimpinan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Zumrotin K Susilo, saat membacakan seruan keprihatinan bersama di Jakarta, Jumat (9/2/2024).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Selain Zumrotin, hadir pula pada pembacaan seruan keprihatinan bersama para mantan pimpinan dan komisioner Komnas HAM tersebut yaitu Ifdhal Kasim, Sandra Moniaga, Amirudin Alrahab, Roychatul Aswidah, Beka Ulung Hapsara, dan Muh Nurkhoiron.
Baca juga: Seruan Perempuan untuk Hentikan Penyalahgunaan Kekuasaan dalam Pemilu
Adapun enam orang lainnya yang tidak hadir, tetapi namanya tercantum di lembar pernyataan seruan keprihatinan bersama adalah Ahmad Taufan Damanik, Chairul Anam, Nur Kholis, M Ridha Saleh, Enny Suprapto, dan Johny N Simanjuntak.
Presiden harus menjadi contoh dan menjaga prinsip free and fair pada seluruh tahapan pemilu dan Pilpres 2024 sehingga kemurnian suara rakyat terjaga.
Dalam seruannya, mereka menyampaikan bahwa norma HAM adalah nilai tertinggi dalam menyelenggarakan negara dan pemerintahan. Hak pilih dan dipilih merupakan hak yang strategis untuk menentukan masa depan bangsa. ”Maka, berbagai bentuk pengingkaran terhadap norma-norma HAM dalam proses Pemilu 2024 dan pilpres oleh terutama unsur-unsur negara harus dihentikan,” ujar Zumrotin.
Maka, berbagai bentuk pengingkaran terhadap norma-norma HAM dalam proses Pemilu 2024 dan pilpres oleh terutama unsur-unsur negara harus dihentikan.
Intimidasi atau kecurangan yang dilakukan oleh aparatur negara, atau oleh siapa pun, adalah bentuk pengkhianatan pada konstitusi, atau lebih spesifik lagi merupakan pencurian terhadap hak pilih yang dijamin oleh konstitusi. ”Pencurian suara melalui berbagai kecurangan harus dicegah. Kami menyerukan kepada penyelenggara pemilu, yakni KPU (Komisi Pemilihan Umum), Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), berani bertindak tegas dan independen,” katanya.
Zumrotin menuturkan, presiden, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, memiliki kewajiban jabatan untuk mengajukan para terduga pelanggaran HAM yang berat, yang didasarkan pada penyelidikan pro-justicia oleh Komnas HAM, ke pengadilan HAM.
”Tetapi, alih-alih melaksanakan kewajibannya itu, Presiden justru tetap melanjutkan impunitas tersebut, yang jelas-jelas dapat mencederai kualitas HAM dan demokrasi yang sedang dibangun,” ujar Zumrotin.
Baca juga: Capres-Cawapres Seharusnya Jalani Audit HAM
Di sesi tanya jawab, Ifdhal Kasim menuturkan, pemilu merupakan sarana penggantian pemerintahan secara damai. Dalam perspektif HAM, hal yang paling penting dalam proses pemilu adalah menjaga hak pilih dan dipilih.
Tak boleh diberangus
Hak ini tidak boleh diberangus ataupun dihalangi oleh prosedur-prosedur, baik yang dibuat melalui Undang-Undang Pemilu maupun lewat prosedur yang lain. Hak pilih dan dipilih harus benar-benar dijamin dalam rezim hukum pemilu.
”Hal yang kita lihat sekarang adalah hak ini mengalami hambatan, bukan oleh rezim hukum pemilu atau undang-undangnya. Kalau Undang-Undang Pemilu kita lihat memberikan suara atau menjamin hak pilih dan dipilih, ini cukup tegas. Tapi, dalam praktiknya itu yang sering terjadi adalah hak pilih ini tidak benar-benar diimplementasikan dalam pelaksanaannya. Itu terlihat dengan berbagai bentuk kecurangan, intimidasi, dan sebagainya,” ujar Ifdhal.
Baca juga: Kekerasan Bayangi Warga yang Beda Pilihan Politik di Pemilu 2024
Ifdhal menuturkan, pihaknya melihat peranan dari lembaga penyelenggara pemilu, yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP, menghadapi banyak hambatan. Oleh karena itu, mereka tidak maksimal menjaga perlindungan terhadap hak pilih.
”Itu terlihat dari berbagai kasus yang sekarang muncul, apakah tentang surat suara yang sudah dicoblos sebelum waktunya yang terjadi di Taiwan, kemudian simulasi surat suara yang hanya dua pasangan calon, dan yang lain-lain,” ujarnya.
Demikian pula pencurian start kampanye dan alat peraga kampanye yang dirusak. ”Dan, yang paling serius adalah penggunaan fasilitas negara oleh kekuasaan yang sedang berjalan. Penggunaan fasilitas negara ini bisa kita lihat dalam bentuk yang paling jelas itu adalah bansos, BLT, dan seterusnya. Itu diperagakan dengan cukup jelas,” kata Ifdhal.
Baca juga: Bansos ”Digoreng” Dadakan, Uangnya dari Mana?
Ifdhal mengatakan, hal-hal tersebut merupakan pelanggaran karena memobilisasi suara sehingga masyarakat atau rakyat pemilik suara terintimidasi oleh berbagai kegiatan itu, yang memaksa mereka memilih salah satu pasangan calon.
”Walaupun paksaannya sifatnya tidak pakai kekerasan, tapi dengan berbagai macam bujukan. Nah, ini menurut kami, dari perspektif HAM, penggunaan hak suara itu harus murni, harus didasarkan pada pilihan preferensi pribadinya,” ujarnya.
Beka Ulung menuturkan, pemilu dan pilpres pada 14 Februari 2024 tidak hanya memilih presiden dan wakil presiden, tetapi juga membentuk pemerintahan ke depan. ”Pemerintahan ke depan ini harus didasarkan pada legitimasi kuat yang salah satu indikatornya adalah dari pemilih yang memilih pasangan calon,” katanya.
Namun, selain itu, menurut Beka, juga menyangkut kredibilitas lembaga-lembaga negara yang akan juga ikut serta dalam pemerintahan ke depan. ”Sayangnya, dalam proses pemilu kali ini, kredibilitas beberapa lembaga negara sangat kurang. Misalnya MK (Mahkamah Konstitusi). Kita tentu tahu, proses di MK sarat dengan intervensi yang itu, kemudian juga menyalahi fitrah sebagai lembaga negara independen yang harusnya bebas dari intervensi kekuasaan mana pun,” ujarnya.
Bagaimana kemudian bisa dipercaya sebagai lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa pemilu secara adil ketika proses yang kemarin itu sarat dengan pelanggaran etik?
Beka menuturkan, demikian pula KPU yang menurut keputusan DKPP terbukti ada pelanggaran etik serius. ”Sampai tanggal 14 Februari mungkin kita tidak bisa berharap terlalu banyak. Tapi, yang berpotensi lebih berbahaya lagi adalah pasca-14 Februari,” ujarnya.
Seadainya ada sengketa pemilu, MK akan menyelesaikannya. ”Bagaimana kemudian bisa dipercaya sebagai lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa pemilu secara adil ketika proses yang kemarin itu sarat dengan pelanggaran etik?” kata Beka.
Legitimasi
Beka menuturkan, KPU tentu diharapkan dapat memperbaiki kinerja dan kepercayaan publik. KPU harus dapat membuktikan bahwa mereka bekerja secara profesional, tanpa tekanan, dan kemudian menghasilkan pemilu yang sah.
Terkait prinsip free and fair, Roychatul Aswidah mengatakan, melalui elemen free, maka harus dipastikan semua pemilih dapat memilih secara bebas. ”Prinsip yang kedua adalah elemen fair, semuanya setara. Setara itu baik bagi yang memiliki hak pilih maupun yang dipilih. Jadi, semua kontestan dalam pemilu dan semua yang masuk gelanggang dalam posisi setara. Tidak boleh dia kemudian dalam posisi lebih daripada yang lain,” ujarnya.
Para mantan pimpinan dan komisioner Komnas HAM menilai, kebebasan untuk memilih dan kesetaraan harus dipastikan oleh seluruh infrastruktur penyelenggara pemilu. ”Kalau tidak, pemilu ini hanya bersifat prosedural dan tidak mencapai yang substansial. HAM itu dijaganya di situ,” kata Roychatul.
Jendela istana tak dibuka
Lebih jauh Zumrotin menyesalkan ketika sering disebut bahwa isu HAM selalu diangkat setiap lima tahun sekali. ”Enggak. Itu orang-orang yang berada di depan Istana, setiap hari Kamis, memperjuangkan HAM itu. Tapi, jendela Istana enggak dibuka,” katanya.
Baca juga: Aksi Kamisan, 17 Tahun Perjuangan Menuntut Keadilan
Menurut Zumrotin, sesuatu pemerintahan yang dihasilkan dari kenakalan atau praktik-praktik tidak benar akan menghasilkan sesuatu yang tidak sah. Dampak dari pemerintahan yang tidak memiliki legitimasi itu pun mesti dihitung.
”Saya tidak yakin bahwa pemerintahan yang tidak legitimate berjalan tanpa ada gangguan-gangguan. Oleh karena dia sangat tidak legitimate, gangguan-gangguan itu pasti ada. Artinya, tidak tenang. Kalau dia nantinya terlihat tenang, pasti dia akan melakukan penekanan dan pelanggaran HAM yang lebih berat lagi untuk menenangkan mereka-mereka yang memperjuangkan ditegakkannya HAM,” kata Zumrotin.
Sementara itu, Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden pada 7 Februari 2024 melansir penegasan Presiden Jokowi agar seluruh aparatur sipil negara (ASN), TNI, Polri, hingga Badan Intelijen Negara (BIN) harus menjaga netralitas dalam Pemilihan Umum 2024.
”Saya ingin tegaskan kembali bahwa ASN, TNI, Polri, termasuk BIN harus netral dan menjaga kedaulatan rakyat,” ujar Presiden dalam keterangan pers di Gerbang Tol Limapuluh, Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatra Utara, Rabu (7/2/2024).
Baca juga: Presiden Kembali Tuntut Aparatur Negara Netral, Akademisi Tanyakan Bukti Nyata
Kepala Negara pun meminta jajaran KPU dan Bawaslu di tingkat pusat dan daerah bertindak profesional dan memastikan integritas pemilu. ”KPU, Bawaslu, dan seluruh jajaran sampai ke daerah juga harus profesional dan memastikan integritas pemilu supaya suara rakyat benar-benar berdaulat. Kita semua harus menjaga pemilu yang damai, yang jujur, dan adil. Menghargai hasil pemilu dan bersatu padu kembali untuk membangun Indonesia,” tutur Presiden Jokowi.