Akan sangat sulit memperjuangkan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu jika tidak ada kepemimpinan nasional yang berkomitmen terhadap HAM.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Pasangan calon presiden dan wakil presiden Ganjar Pranowo-Mahfud MD serta Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sama-sama berkomitmen memberikan hak bagi korban pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu untuk menuntut penuntasan kasus secara hukum. Mereka menyadari bahwa realitanya masih banyak korban yang tidak puas dengan mekanisme penyelesaian di luar hukum atau nonyudisial.
Hal itu diungkapkan Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis, dan anggota Tim Nasional Pemenangan Anies-Muhaimin, Zuhad Aji Firmantoro, dalam diskusi ”BedaHAM: Menakar Implementasi dan Proyeksi HAM Pemilu”, di Jakarta, Jumat (24/11/2023).
Hanya tim sukses kedua capres-cawapres yang hadir dalam diskusi tersebut. Tak ada perwakilan dari Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang hadir dengan alasan kesibukan di tempat lain.
Todung Mulya Lubis mengatakan, seyogyanya pasangan capres dan cawapres telah lolos audit hak asasi manusia untuk meyakinkan pemilih bahwa mereka berkomitmen kuat terhadap perlindungan HAM. Sebab, ia meyakini akan sangat sulit memperjuangkan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu jika tidak ada kepemimpinan nasional yang berkomitmen terhadap HAM. ”Siapa pun yang menjadi presiden dan wakil presiden harus lolos dalam audit HAM,” kata pengacara senior tersebut.
Ia juga menyadari bahwa di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pemerintah telah membuat pilihan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat melalui jalan nonyudisial. Hal itu dipilih dengan alasan-alasan praktis, misalnya untuk kasus pelanggaran HAM berat peristiwa 1965 yang sudah berusia lebih dari 50 tahun, banyak alat bukti yang sudah tidak bisa ditemukan lagi. Secara teknis hukum, kasus itu akan sulit dibuktikan di pengadilan.
Di sisi lain, korban sudah menua, bahkan banyak yang telah meninggal. Dengan alasan kemanusiaan, pemerintah kemudian memilih langkah nonyudisial untuk membuktikan bahwa negara hadir untuk para korban.
Meskipun demikian, Todung juga mengikuti dinamika di lapangan, di mana tidak semua korban menerima penyelesaian nonyudisial tersebut. Banyak yang tetap berharap kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu diselesaikan secara hukum untuk memutus rantai impunitas. Negara juga harus mendengar aspirasi dari korban yang tidak menerima penyelesaian tersebut. Hak-hak mereka untuk terus memperjuangkan keadilan melalui jalur hukum tidak boleh ditutup. ”Masa lalu dan masa depan seharusnya tidak mengenal impunitas,” katanya.
Menurut Zuhad Aji, capres Anies Baswedan mengungkapkan apresiasinya terhadap alternatif penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang bisa diterobos oleh negara. Meskipun demikian, mereka juga menyadari bahwa belum semua korban pelanggaran HAM berat puas terhadap penyelesaian nonyudisial.
Secara komitmen, ada semangat perubahan yang diusung oleh Anies dan Muhaimin untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat secara hukum. Terkait strategi taktisnya seperti apa, menurut dia, hal itu masih perlu dipikirkan secara bersama-sama.
”Tentu saja untuk mewujudkan aspirasi korban pelanggaran HAM berat itu dibutuhkan kepemimpinan yang kuat. Ini penting dan relevan untuk dimiliki pasangan calon Anies-Muhaimin yang berada dalam posisi mengusung perubahan,” kata Aji.
Ia menambahkan, tagline perubahan yang diusung oleh Anies-Muhaimin bukanlah asal beda kebijakan dengan kepemimpinan lama. Perubahan yang diusung mereka adalah perubahan dengan menambah, mengurangi, menghentikan, atau meningkatkan program-program kepemimpinan sebelumnya.
Seperti diketahui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyampaikan ada 12 kasus HAM berat yang sudah selesai penyelidikannya. Kasus itu adalah peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982-1985; Talangsari, Lampung, 1989; Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh, 1989; penghilangan orang secara paksa 1997-1998; kerusuhan Mei 1998; Trisakti; dan Semanggi I-II 1998-1999. Kasus lain, pembunuhan dukun santet 1998-1999; Simpang KKA, Aceh, 1999; Wasior, Papua, 2001-2002; Wamena, Papua, 2003; dan Jambo Keupok, Aceh, 2003.
Sementara itu, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hak Asasi Manusia Dhahana Putra menuturkan, fondasi Pemilu 2024 adalah untuk mewujudkan keadilan masyarakat. Oleh karena itu, peran serta masyarakat penting dalam menyukseskan pesta demokrasi tersebut. Ia berharap masing-masing calon dapat menunjukkan komitmennya dalam perlindungan HAM.
”Dalam pesta demokrasi semua harus dilibatkan, jangan sampai ada yang tertinggal,” katanya.
Anggota Komisi Pemilihan Umum, Idham Holik, menuturkan, demokrasi dan hak asasi manusia adalah dua hal yang tak terpisahkan. Demokrasi dan hak asasi manusia menitikberatkan pada pemenuhan hak-hak individu warga negara. Perlindungan itu juga tertuang melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
”Tantangan hari ini adalah bagaimana sebagai penyelenggara pemilu, kami dapat menginternalisasikan bahwa pemilu adalah implementasi dari HAM itu sendiri,” kata Idham.
KPU sendiri mengklaim dalam kerja-kerja mereka juga sudah berupaya melindungi hak-hak pemilih. Contohnya, saat pemutakhiran data pemilih, mereka berkonsentrasi memprioritaskan hak-hak pemilih disabilitas. Mereka juga berpegangan pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 135/PUU-XIII/2015 bahwa orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) juga memiliki hak pilih sehingga hak-hak mereka untuk memilih juga dilindungi oleh KPU.
”Kepada tim kampanye dan kontestan pemilu, kami juga mengingatkan agar jangan mengabaikan hak-hak disabilitas serta pemilih rentan, seperti warga lansia dan etnis minoritas. Kampanye jangan hanya berorientasi pada ceruk yang besar, tetapi juga yang kecil harus diberi atensi,” katanya.