Jika pemerintah tidak tanggap terhadap suara yang disampaikan dari kampus justru akan muncul gelombang aksi lebih besar.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah kampus di Tanah Air menyampaikan keprihatinan terkait kontestasi dalam Pemilu 2024. Mereka gelisah dengan perkembangan politik di Tanah Air yang dipandang semakin keluar dari jalur demokrasi dan reformasi. Penyelenggara negara, yakni presiden, diminta tanggap melakukan antisipasi dengan menjawab semua poin dengan baik serta punya kesadaran terhadap suara dari kampus. Sebab, mereka lahir dari keprihatinan dan bukan atas kepentingan politik praktis.
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor berpendapat, suara kegelisahan atau keprihatinan yang dikeluarkan sejumlah kampus dalam beberapa hari terakhir sudah melegitimasi bahwa ada tindakan penyelenggara negara yang menyimpang dari prinsip-prinsip moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial. Sebab, apa yang disampaikan oleh sivitas akademika lahir atas kajian akademis yang obyektif, bukan atas kepentingan sesaat ataupun kepentingan politik praktis.
”Namun, sayangnya kita sulit mengharapkan ada pernyataan Presiden untuk menjawab dengan baik semua tuntutan yang disampaikan oleh kalangan sivitas akademika itu. Bahkan, saya melihat Presiden hanya memberikan tanggapan yang saya sebut ciri khasnya, seperti memberi pernyataan ’itu hak demokrasi’, seperti tidak terjadi apa-apa dan tidak sensitif,” ujar Firman, Jumat (2/2/2024).
Saya melihat presiden hanya memberikan tanggapan yang saya sebut ciri khasnya seperti memberi pernyataan ’itu hak demokrasi’.
Pada Rabu (31/1/2024), sivitas akademika Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menyampaikan petisi kepada Presiden Joko Widodo terkait situasi politik beberapa waktu terakhir. Melalui Petisi Bulaksumur, sivitas akademika UGM meminta Presiden Jokowi dan jajarannya untuk kembali kepada koridor demokrasi.
Namun, Presiden Jokowi saat berada Pasar Kota Wonogiri, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, justru menanggapi petisi itu sebagai hak berdemokrasi setiap warga. ”Itu hak demokrasi, ya,” ujar Jokowi.
Itu hak demokrasi, ya.
Sehari kemudian, giliran sivitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) yang menyampaikan petisi bertajuk ”Indonesia Darurat Kenegarawanan”. Dalam pernyataan itu disampaikan bahwa setiap pejabat yang memiliki akses terhadap sumber dana negara dan terlibat sebagai tim sukses atau ikut dalam kampanye salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden diminta mundur dari jabatannya.
Gelombang besar
Menurut Firman, gerakan ini berpotensi membesar. Apalagi jika hasil Pemilu 2024 yang akan ditentukan kurang dari dua pekan lagi tidak sesuai dengan harapan para akademisi di kampus.
Oleh karena itu, pemerintah bisa mengerem tindakan penyelewengan yang sudah terjadi itu dengan memperkuat proses demokratisasi agar berjalan sesuai standar moral yang tinggi dan dapat mencapai tujuan pembentukan pemerintahan yang sah.
”Saya berharap, misalnya, Presiden Jokowi menjawab terbuka kepada publik dengan menyatakan dirinya akan netral dan menjamin itu, dan akan menghukum dengan berat setiap pelanggaran pemilu yang melibatkan jaringan kekuasaan sampai ke daerah-daerah. Walaupun saya juga ragu karena rezim ini sudah nyaman pada kekuasaan,” kata Firman.
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia Komaruddin Hidayat mengingatkan, jika pemerintah tidak tanggap terhadap suara yang disampaikan dari kampus, hal itu justru akan memicu gelombang lebih besar dari mahasiswa dari sejumlah kota dan menjadi tidak terkendali. Apalagi, pelaksanaan pencoblosan Pemilu 2024 tersisa kurang dari dua pekan.
”Aspirasi dari UGM mungkin terpanggil karena sesama alumni untuk mengingatkan pemerintah dan menjaga nama baik almamater UGM. Suara mereka dari kampus itu lebih tulus dan beretika, tidak emosional, dan tidak mengerahkan massa. Itu sudah lebih dari cukup, mestinya ditanggapi pemerintah secara serius,” ujar Komaruddin.
Ini intinya kami menyikapi perkembangan politik terakhir menjelang Pemilu 2024.
Menurut rencana, Jumat ini, sivitas akademika Universitas Indonesia (UI) juga akan menyampaikan deklarasi kebangsaan. Mereka meminta semua pihak untuk mengawal pelaksanaan pemilu yang adil, jujur, dan bermartabat.
Guru Besar Fakultas Hukum UI Sulistyowati Irianto mengatakan, mimbar akademik di depan Rektorat UI itu untuk menyikapi perkembangan politik terakhir jelang pemungutan suara Pemilu 2024. Sivitas akademika UI merasa prihatin atas hancurnya tatanan hukum dan demokrasi akibat pelaksanaan pemilu yang tidak beradab serta bermartabat. ”Ini intinya kami menyikapi perkembangan politik terakhir menjelang Pemilu 2024,” ujarnya.
Permasalahan utama pemilu saat ini, kata Sulistyowati, adalah netralitas palsu dan kecurangan penyelenggara negara. Menurut dia, pemilu saat ini diwarnai dengan pengerahan kekuatan lembaga kenegaraan dan sumber dana tanpa batas (Kompas.id, 1/1/2024).