Peringkat Indeks Persepsi Korupsi Melorot, Istana Akan Evaluasi Langkah dan Kebijakan Antikorupsi
Penilaian turunnya peringkat terkait upaya pemberantasan korupsi apa pun akan menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan menjadikan indikator-indikator dalam indeks persepsi korupsi sebagai bahan evaluasi. Upaya perbaikan diakui memerlukan peningkatan kerja dari semua elemen dalam ekosistem pemberantasan korupsi.
”Apa pun namanya, indeks, rating, persepsi, dan lainnya itu, kan, bagian dari evaluasi. Ini sebuah hal yang terus menjadi bahan evaluasi pemerintah,” kata Koordinator Staf Khusus Presiden Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana kepada wartawan di kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (31/1/2024).
Pemerintah, lanjutnya, tetap harus memberikan atensi berbagai indeks yang muncul, termasuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Dari semua indikator yang dinilai, pemerintah akan melihat indikator yang dinilai masih lemah. Sejauh ini, menurut Ari, ada indeks yang stagnan, ada yang menurun, tetapi ada juga yang meningkat. Untuk itu, upaya dilakukan untuk menaikkan indikator yang masih stagnan dan turun, tetapi indikator yang sudah baik akan dipertahankan.
Baca juga: Skor IPK Anjlok Kirim Sinyal Negatif
Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2023 stagnan di angka 34, sama seperti tahun 2022. Dengan stagnasi ini, peringkat Indonesia pun merosot dari 110 menjadi ke-115 dari total 180 negara.
Indonesia pernah mendapatkan skor tertinggi sepanjang sejarah, yakni 40 pada 2019. Namun pada 2022, skor ini melorot menjadi 34. Karena itu, Presiden Jokowi dinilai gagal memimpin pemberantasan korupsi.
”Apa pun namanya, indeks, rating, persepsi, dan lainnya itu, kan, bagian dari evaluasi. Ini sebuah hal yang terus menjadi bahan evaluasi pemerintah.”
Ari membantahnya. Menurut dia, meskipun pemberantasan korupsi adalah tugas pemerintah yang dipimpin Presiden Jokowi dibantu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan serta Menteri Hukum dan HAM, tetapi juga bagian dari tugas legislatif untuk membentuk aturan perundangan dan mengawasi serta tugas yudikatif dan KPK. ”Ini tidak hanya bagian kerja pemerintah, tetapi juga kerja bersama,” ujarnya.
Presiden Jokowi sendiri, menurut Ari, sangat memperhatikan bukan hanya pemberantasan korupsi dan penegakan hukumnya, melainkan juga pencegahan korupsi. Untuk itu, dibangun sistem untuk mencegah terjadi korupsi dengan transparansi dan digitalisasi serta penyederhanaan aturan.
”Itu bagian dari perubahan, reformasi sistem regulasi yang dibangun, yang tujuannya mempersempit ruang terjadinya korupsi dan pada saat bersamaan, Presiden juga mengusulkan RUU Perampasan Aset pada DPR. Itu penting untuk kita lakukan karena di situ kita melakukan langkah yang lebih mendasar dan lebih radikal dalam pemberantasan korupsi, yaitu perampasan aset,” tutur Ari.
Namun, semua ini tak bisa dilakukan Presiden sendiri. Pembentukan undang-undang sangat bergantung pada DPR yang terdiri atas partai-partai politik dengan pandangan yang berbeda-beda. Kendati Presiden Jokowi didukung koalisi partai politik yang gemuk di parlemen, Ari berdalih bukan hanya kelompok koalisi yang berperan di DPR untuk mengesahkan undang-undang tersebut.
Di samping itu, masih ada lembaga yudikatif dan KPK. ”Jadi, semua ekosistem harus bergerak, tidak bisa hanya satu pihak,” ujarnya.
”Jadi, semua ekosistem harus bergerak, tidak bisa hanya satu pihak. ”
Ketika IPK melorot, Ari mengatakan, kendati reformasi bergulir, proses yang lebih transparan memang masih membutuhkan pembudayaan dan internalisasi. ”Supaya sistem berjalan karena sistem itu tidak hanya untuk membuat undang-undang dan SOP, tapi bagaimana SOP itu bisa berjalan. Ini problem yang perlu diselesaikan. Perlu upaya kuat menginternalisasi sistem yang baik,” ujarnya.
Selain itu, untuk menaikkan IPK, penegakan hukum juga harus berjalan dengan ekosistem yang ada, tidak hanya penegakan hukum internal pemerintah, tetapi juga oleh kejaksaan, kepolisian, pengadilan, dan KPK.
Biaya tinggi dan integritas aparat
Sementara itu, Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani menilai, stagnasi skor IPK dan turunnya peringkat Indonesia banyak disebabkan dari sisi hulu, antara lain, karena terjadinya politik biaya tinggi dan faktor integritas aparat penegak hukum.
”Skor ini harus menjadi evaluasi bersama dari seluruh jajaran pemerintah untuk perbaikan penguatan integritas dan kredibilitas di sisa masa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.”
”Skor ini harus menjadi evaluasi bersama dari seluruh jajaran pemerintah, untuk perbaikan penguatan integritas dan kredibilitas di sisa masa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf,” ujar Jaleswari.
Dia menyebut, masih terjadi suap dalam layanan publik dan perizinan, belum cukup baik integritas aparat birokrasi dan penegak hukum, serta politik uang yang berakibat pada politik biaya tinggi dan menurunkan kualitas demokrasi.
Terkait terjadinya politik biaya tinggi, data KPK menunjukkan bahwa lebih dari 186 kepala daerah dan 35 menteri/kepala lembaga menjadi terpidana korupsi dalam periode 18 tahun terakhir (KPK, 2023). Terjadinya politik uang dalam pemilu adalah salah satu penyebab para politisi ini terlibat korupsi. ”Biaya politik saat ini sangat tinggi, dari data yang kami dapat dari FGD internal pemerintah, rerata biaya politik yang dikeluarkan untuk menjadi anggota DPR adalah Rp 10 miliar-Rp 15 miliar dan kepala daerah Rp 100 miliar,” tambahnya.
Biaya politik ini sebagian besar digunakan untuk operasional jaringan tim di lapangan, termasuk melakukan jual-beli suara (vote buying) yang menurut hasil survei Global Corruption Barometer dialami oleh 26 persen pemilih di dalam pemilu Indonesia (TI, 2020). Tingginya biaya politik juga diperkuat hasil kajian KPK pada 2020 bahwa 82,3 persen calon kepala daerah dibiayai oleh sponsor (bohir) sehingga membuka peluang terjadinya transaksional politik.
”Biaya politik saat ini sangat tinggi, dari data yang kami dapat dari FGD internal pemerintah, rerata biaya politik yang dikeluarkan untuk menjadi anggota DPR adalah Rp 10 miliar-Rp 15 miliar dan kepala daerah Rp 100 miliar.”
Jaleswari juga menyebut modus politik uang dalam pemilu, seperti pemberian bahan pokok, pemberian kupon belanja, dan token listrik. Hal ini bersambut dengan budaya permisif masyarakat terhadap politik uang. Karena itu, diperlukan dua pendekatan, yaitu penjatuhan sanksi administratif dan sanksi hukum kepada pelaku politik uang serta edukasi yang intensif tentang pencegahan politik uang di level akar rumput.
Di samping itu, perubahan regulasi untuk peningkatan pendanaan dan akuntabilitas partai politik serta penguatan sistem integritas partai politik (SIPP) yang masih terkendala adalah kebijakan yang akan terus didorong pemerintah melalui Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.
Indonesia tertinggal jauh
Melihat skor IPK Indonesia yang stagnan, peneliti Pusat Kajian AntiKorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yuris Rezha Kurniawan, menyebut bahwa semangat memberantas korupsi di Indonesia telah tertinggal jauh dibanding negara-negara lain. Meskipun secara skor dianggap stagnan, secara umum ini merupakan kemunduran. Sebab, secara peringkat Indonesia turun 5 strip ke peringkat ke-115. ”Tren kemunduran dalam beberapa tahun terakhir ini, baik secara skor maupun peringkat IPK, sangat mengkhawatirkan dan mestinya menjadi sinyal buruk bagi pemerintan ke depan,” ujar Yuris, Rabu (31/1/2024).
Berdasarkan hasil IPK 2023, Yuris menyebut Indonesia masih punya masalah besar terkait dengan aspek penegakan hukum dan proses demokrasi yang korup. Hal ini dibuktikan dengan hasil pengukuran indikator World Justice Project dan Varietas of Democracy yang cenderung stagnan di level yang sangat rendah.
Menurut Yuris, realitas menunjukkan masalah korupsi di kalangan penegak hukum (judiciary corruption) belum sepenuhnya bisa dibendung. Pemidanaan kasus korupsi cenderung mengalami tren pengurangan hukuman hingga akses pengawasan masyarakat terhadap praktik koruptif pejabat publik yang terbatas.
Baca juga: Kepercayaan Investor Bisa Turun
Selain itu, persolan korupsi politik juga seperti tak tersentuh proses hukum. Beberapa tahun belakangan, pemerintah tampak serius menutup peluang-peluang korupsi di pelayanan publik dan kalangan birokrasi level bawah. Namun, pemerintah masih banyak abai terhadap praktik-praktik korupsi politik yang melibatkan pejabat tinggi, pembuat kebijakan, ataupun unsur-unsur partai politik.
Praktik korupsi, seperti suap, masih ditemukan pada program pencegahan dengan digitalisasi atau kemudahan perizinan yang seharusnya bisa mengurangi risiko korupsi di level bawah. Kepentingan pribadi, seperti hubungan bisnis, politik, dan keluarga, juga tak pernah ditangani dengan upaya pencegahan.
Pengukuran indikator Political Risk Service di Indonesia juga mengalami penurunan drastis selama beberapa tahun terakhir. Penurunan ini akan semakin parah jika pemerintah tidak serius menekankan pengelolaan relasi kepentingan pribadi pejabat publik terhadap pembuatan kebijakan.
”Kebijakan publik hanya akan dinikmati oleh pejabat dan segelintir orang di lingkaran kepentinganya sehingga cita-cita pembangunan dan pemerataan tidak akan pernah tercapai,” tambahnya. (WKM/INA)