Gugatan Praperadilan Dikabulkan, Eddy Hiariej Bebas dari Sangkaan KPK
Hakim PN Jakarta Selatan menilai, langkah KPK menetapkan Eddy Hiariej sebagai tersangka tidak sah.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengadilan Negerai Jakarta Selatan, Selasa (30/1/2024), mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh bekas Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward OS Hiariej terkait penetapan tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan demikian, Edward atau Eddy Hiariej bebas dari segala sangkaan yang ditetapkan KPK.
Sempat molor sekitar 30 menit dari jadwal semula, sidang yang dipimpin Estiono dihadiri kuasa hukum termohon ataupun tim hukum KPK selaku pihak termohon. Eddy sendiri kembali tidak hadir dalam persidangan ini.
Hakim menilai, penetapan tersangka terhadap pemohon dalam hal ini Eddy tidak memenuhi minimum alat bukti yang sah sebagaimana ketentuan Pasal 184 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain itu, penetapan tersangka dilakukan berdasarkan keterangan para saksi saat penyelidikan. Padahal, penyelidikan dalam kasus tersebut belum bernilai pro justisia. Karena itu, hakim menyimpulkan, langkah KPK selaku termohon menetapkan Eddy sebagai tersangka tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Seusai sidang, pengacara Eddy, Muhammad Luthfie, mengatakan, putusan praperadilan itu semestinya menjadi bahan evaluasi bagi KPK ke depan. KPK diharapkan bersedia merevisi prosedur penetapan tersangka. Penetapan tersangka harus dilakukan setelah melalui proses penyelidikan dan penyidikan. KPK tidak boleh lagi menetapkan tersangka hanya dari hasil penyelidikan.
”Inilah hikmah yang paling utama yang bisa kita ambil dari persidangan ini karena alat bukti sesuatu yang sangat jelas sifatnya, spesifik, berita acara pemeriksaan entah itu saksi ahli ataupun berita acara penyitaan dokumen-dokumen sebagai alat bukti surat,” ujarnya.
Kuasa hukum pemohon yang lain, Ricky Sitohang, menambahkan bahwa seusai putusan ini, tim pengacara, KPK, dan kepolisian tetap bersinergi. Apa pun keputusan hakim merupakan yang tertinggi dan dihormati, begitu pula dengan KPK juga mesti dihormati. ”Semoga ke depan sinergitas tetap berjalan dengan mengedepankan hukum dan keadilan,” katanya.
Penetapan tersangka terhadap pemohon dalam hal ini Eddy tidak memenuhi minimum alat bukti yang sah sebagaimana ketentuan Pasal 184 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Disinggung apakah Eddy Hiariej akan kembali menduduki jabatan sebagai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, tim kuasa hukum tidak bisa menjawab karena itu ranah presiden. Sejauh ini, Eddy dikatakan selalu mengikuti persidangan praperadilan.
Adapun langkah berikutnya yang akan dilakukan, kuasa hukum akan melihat lebih dulu perkembangan yang terjadi di luar. Baik itu terkait status Eddy sebagai wakil menteri maupun hubungannya dengan KPK.
Sementara itu, tim hukum KPK langsung meninggalkan lokasi begitu sidang usai. Mereka lewat pintu samping ruang sidang utama sehingga awak media tidak berhasil memintai tanggapan dari mereka terkait putusan praperadilan.
Secara terpisah, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, pada prinsipnya KPK menghormati setiap putusan hakim, termasuk dalam praperadilan Eddy. ”Meski demikian, KPK akan menunggu risalah putusan lengkap sidang praperadilan ini lebih dahulu untuk kami pelajari guna menentukan langkah-langkah hukum berikutnya,” ujarnya.
Ali menegaskan, KPK tentu menjadikan setidaknya dua alat bukti sebagai dasar penetapan seseorang sebagai tersangka. Ali menilai, obyek sidang praperadilan ini hanya menyangkut sisi syarat formil sehingga tentu tidak menyangkut substansi atau materi pokok perkaranya.
Sebelumnya, seusai sidang penyerahan kesimpulan, Senin (29/1/2024), tim hukum KPK, M Hafez, mengatakan, sudah ada bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan Eddy Hiariej sebagai tersangka.
Hal itu juga diperkuat oleh keterangan ahli yang dihadirkan dalam persidangan. Selama jalannya persidangan—mulai dari pembuktian, jawaban, hingga ahli dari kedua belah pihak—Hafez mengakui jika KPK memiliki lex specialis di mana dalam penyelidikan tidak hanya mencari peristiwa pidana, tetapi juga mengumpulkan bukti-bukti permulaan.
Sebelumnya, Eddy diduga menerima suap dan gratifikasi hingga Rp 8 miliar dari Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri Helmut Hermawan. Suap itu diterima Eddy terkait sengketa status kepemilikan perusahaan, penghentian proses hukum di Bareskrim Polri, pembukaan blokir di sistem administrasi badan hukum, dan pencalonan Ketua Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia.