JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan uji materi tentang kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Dengan putusan itu, kejaksaan tidak kehilangan kewenangan untuk menangani perkara korupsi.
Putusan uji materi mengenai kewenangan kejaksaan dalam penyidikan dibacakan Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang di gedung MK, Jakarta, Selasa (16/1/2024). MK menolak seluruhnya permohonan yang diajukan pemohon, M Yasin Djamaludin, yang berprofesi sebagai advokat.
Yasin mengajukan uji materi Pasal 30 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan; Pasal 39 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Pasal 22 Ayat (4) dan Ayat (5) dan Pasal 50 UU No 30/2022 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ia menyoal pemberian kewenangan jaksa sebagai penyidik perkara korupsi yang dinilainya telah menghilangkan mekanisme saling mengawasi dalam proses penyidikan. Ketentuan itu dinggap telah menimbulkan kesewenang-wenangan yang merugikan tersangka atau terdakwa korupsi.
Dalam pertimbangannya, MK melihat putusan sebelumnya, yaitu putusan nomor 28/PUU-V/2007, yang menegaskan bahwa sistem peradilan pidana terpadu yang dibentuk oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP) ditandai dengan adanya prinsip diferensiasi fungsional antara lembaga penegak hukum. Salah satu tujuannya adalah menciptakan mekanisme saling mengawasi. Hal itu berlaku secara universal untuk penanganan tindak pidana umum.
Namun, pembentuk undang-undang memilih memberi kewenangan penyidikan korupsi kepada kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Langkah ini, menurut MK, diambil karena pembentuk undang-undang memandang penanganan kasus korupsi sebagai kejahatan luar biasa tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga saja. Karena itu, prinsip diferensiasi fungsional yang dianut KUHAP secara faktual dan realitas kebutuhan serta kemanfaatan belum dapat dilaksanakan secara utuh.
Namun, belum dapat diberlakukannya prinsip diferensiasi fungsional secara utuh tersebut bukan berarti menjadikan mekanisme saling mengawasi tidak dapat diterapkan. Sebab, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU KPK mewajibkan adanya koordinasi antara kepolisian, kejaksaan, dan KPK dalam penanganan kasus korupsi.
Pemberian kewenangan kepada kejaksaan untuk menyidik tindak pidana khusus atau tertentu, termasuk korupsi, telah memberikan jaminan kepastian hukum yang adil dan juga memberikan perlindungan hak asasi sekalipun terhadap tersangka.
Dengan demikian, menurut MK, pemberian kewenangan kepada kejaksaan untuk menyidik tindak pidana khusus atau tertentu, termasuk korupsi, telah memberikan jaminan kepastian hukum yang adil dan juga memberikan perlindungan hak asasi sekalipun terhadap tersangka. Sebab, dalam kaitannya dengan hal tersebut, bila hasil penyidikan tersangka tidak terbukti, kejaksaan dapat langsung menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Demikian pula sebaliknya, bila terdapat alat bukti yang cukup, kejaksaan melimpahkan perkara ke pengadilan.
”Artinya, adanya potensi yang dapat menghilangkan fungsi checks and balances sebagaimana yang dikhawatirkan oleh pemohon menjadi tidak relevan sebagai dalil yang dapat dibenarkan. Terlebih, jika kekhawatiran pemohon terhadap tidak berfungsinya prinsip deferensiasi fungsional dapat menghilangkan fungsi checks and balances dan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan, hal tersebut justru (merupakan) kekhawatiran yang berlebihan dan tidak beralasan,” kata MK dalam pertimbangannya.
MK juga menyebutkan adanya mekanisme kontrol yang dapat digunakan sebagai upaya hukum, misalnya melalui permohonan praperadilan. Dalam kaitannya dengan itu, MK menilai, pasal-pasal di dalam UU Kejaksaan dan UU Pemberantasan Tipikor yang menjadi dasar bagi jaksa untuk melakukan penyidikan telah memberikan kepastian hukum, tidak menimbulkan kesewenang-wenangan, serta tidak berpotensi menghilangkan fungsi saling mengawasi dalam sistem peradilan pidana terpadu.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, pada Rabu (17/1/2024), menyampaikan apresiasi atas putusan MK tersebut. Terlebih, majelis hakim MK menggunakan dalil yang disampaikan kejaksaan sebagai pertimbangan putusan. Poin pertimbangan itu, antara lain, mengenai kewenangan penyidikan sebagai open legal policy, kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan diperlukan untuk tindak pidana khusus.
Dalil yang juga diambil alih sebagai pertimbangan adalah tentang kewenangan penyidikan oleh kejaksaan itu merupakan praktik yang lazim di dunia internasional, khususnya tindak pidana pelanggaran HAM berat. Selain itu, kewenangan jaksa melakukan penyidikan tidak mengganggu proses checks and balances.
Dengan dibacakannya putusan tersebut, lanjut Ketut, putusan tersebut bersifat final dan mengikat. ”Sehingga terhadap putusan tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum,” kata Ketut.