Ketika Laporan Pelanggaran Etik KPK Lebih Banyak dari OTT
Sepanjang 2023, KPK gelar delapan kali OTT. Kurun waktu yang sama, inspektorat KPK menerima 14 aduan pelanggaran etik.
Para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan Kinerja dan Capaian KPK Tahun 2023 di ruang konferensi pers KPK, Jakarta, Selasa (16/1/2024).
Penetapan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firly Bahuri sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan terhadap bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menjadi buah bibir di kalangan masyarakat, khususnya pegiat antikorupsi, menjelang akhir tahun 2023 lalu. Betapa tidak, pucuk pimpinan lembaga yang bertugas mencegah dan memberantas korupsi justru terjerembab dalam kasus dugaan rasuah.
Tak hanya itu, Firli juga menjalani sidang etik yang digelar Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setidaknya ada tiga dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan, yakni pertemuan Firli dengan Syahrul Yasin Limpo saat KPK tengah menyelidiki kasus dugaan rasuah di Kementerian Pertanian, penyampaian laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang tidak benar, serta penyewaan sebuah rumah di bilangan Kertanegara, Jakarta.
Hasilnya, pada 27 Desember 2023, Dewan Pengawas (Dewas) KPK menyatakan Firli yang kala itu sudah dinonaktifkan menjadi ketua KPK terbukti melakukan pelanggaran etik berat. Dewas menjatuhkan sanksi berat, yakni meminta Firli mundur dari pimpinan KPK. Presiden akhirnya menyetujui usulan Firli mundur dengan meneken Keppres Nomor 129/ P pada 28 Desember.
Baca juga: Terbukti Langgar Etik, Firli Bahuri Diberhentikan Presiden
Kasus Firli bukanlah persoalan etik pertama yang dihadapi pimpinan KPK 2019-2024. Dalam laporan kinerja 2023 yang dirilis pada Senin (15/1/2023), Dewas KPK mengungkapkan telah menerima 67 pengaduan masyarakat tekait pelanggaran etik KPK. Sepanjang 2023 itu, Dewas juga menyidangkan tiga kasus dugaan pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan KPK, di antara Firli dan Johanis Tanak. Namun, Johanis Tanak dinyatakan tidak terbukti melanggar etik.
Sementara itu, pada laporan kinerja yang dirilis, Selasa (16/1/2023), pimpinan KPK mengungkapkan, dalam menjalankan pengawasan melalui fungsi inspektorat, KPK menerima 14 pengaduan dugaan pelanggaran disiplin sepanjang 2023. Sebanyak enam laporan ditindaklanjuti dengan audit tujuan tertentu, satu laporan diteruskan kepada Dewas, satu laporan ditindaklanjuti dengan berkoordinasi ke aparat penegak hukum lain, lima laporan ditindaklanjuti dengan berkoordinasi ke unit kerja terkait, dan satu laporan ditindaklanjuti dengan reviu.
Dewas sebagai bagian dari KPK juga mengawasi pelaksanaan tugas pemberantasan korupsi dan penegakan etik bagi pimpinan, pegawai, dan Dewas. ”Setiap putusan etik Dewas juga menjadi pengayaan bagi perbaikan tata kelola kelembagaan KPK, penegakan disiplin pegawai oleh Inspektorat, dan jika ada unsur dugaan pelanggaran tindak pidana korupsi dapat ditindaklanjuti oleh Kedeputian Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, Selasa (16/1/2023).
Kinerja penanganan korupsi
Dalam laporannya, Ketua sementara KPK Nawawi Pomolango mengatakan, sepanjang 2023 KPK telah menangani perkara korupsi sebanyak 127 perkara di tingkat penyelidikan, 161 penyidikan, 129 penuntutan, dan mengeksekusi 124 perkara. Perkara yang berkekuatan hukum tetap sebanyak 94 perkara.
Dalam menjalankan pengawasan melalui fungsi inspektorat, KPK menerima 14 pengaduan dugaan pelanggaran disiplin sepanjang 2023.
”Penanganan perkara di KPK salah satunya bermula dari laporan pengaduan masyarakat. Selama tahun 2023 KPK menerima 5.079 laporan. Dari jumlah tersebut, 690 belum dapat ditindaklanjuti diarsipkan dan 4.389 dilakukan verifikasi,” kata Nawawi dalam konferensi pers kinerja KPK 2023 dan Arah Kebijakan 2024 di Jakarta, Selasa (16/1/2024).
Ia menambahkan, dari jumlah tersebut, 1.962 laporan dalam proses penelaahan, tiga laporan diteruskan kepada pihak eksternal, sembilan laporan diteruskan kepada pihak internal, dua laporan masih dalam proses verifikasi, dan 2.413 laporan belum dapat ditindaklanjuti.
Dalam penanganan perkara korupsi, lanjut Nawawi, KPK menggelar delapan kali operasi tangkap tangan (OTT). Operasi itu di antaranya terkait perkara dugaan suap proyek pengadaan jalan di wilayah Kalimantan Timur; pemberian hadiah atau janji untuk mendapatkan proyek pengadaan barang dan jasa serta pemberian izin di lingkungan Pemerintah Provinsi Maluku Utara; dan pemberian hadiah atau janji dalam rangka pengurusan perkara di Kejaksaan Negeri Bondowoso, Jawa Timur.
Jumlah OTT pada 2023 turun dibandingkan tahun sebelumnya. Sepanjang 2022, KPK melakukan 10 kali OTT.
Nawawi mengatakan, KPK juga telah mengembangkan penanganan perkara korupsi dengan dikenakan pasal tindak pidana pencucian uang terhadap delapan perkara. Di antaranya, perkara bekas pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo; bekas Gubernur Papua Lukas Enembe; Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh; dan bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Dari sejumlah penanganan perkara tersebut, KPK bisa memulihkan aset negara sebesar Rp 525 miliar. Pemulihan aset ini menjadi salah satu sumbangsih nyata hasil pemberantasan korupsi terhadap pemasukan kas negara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Penguatan kelembagaan
Nawawi menegaskan, pemberantasan korupsi merupakan kerja panjang berkelanjutan. Alhasil, KPK butuh penguatan internal kelembagaan, sinergi dan kolaborasi eksternal, serta dukungan seluruh elemen masyarakat.
Dalam penanganan perkara korupsi, KPK menggelar delapan kali operasi tangkap tangan. (Nawawi Pomolango)
Dari sisi internal KPK, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengungkapkan, jumlah sumber daya manusia KPK hingga 31 Desember 2023 sebanyak 1.711 orang. Pagu KPK tahun anggaran 2023 sebesar Rp 1,316 triliun dengan realisasi per 31 Desember 2023 sebesar Rp 1,308 triliun atau 99,4 persen. Pada 2024, KPK memiliki pagu anggaran sebesar Rp 1,377 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 72,7 miliar akan dicadangkan guna mengantisipasi kondisi ketidakpastian geopolitik global.
Johanis mengungkapkan, arah kebijakan KPK 2024 fokus pada percepatan pencapaian target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis 2020-2024, serta Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Kerja 2024.
Untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan nasional, KPK menetapkan fokus area pemberantasan korupsi terkait sumber daya alam, bisnis, politik, penegakan hukum, dan layanan publik. KPK menetapkan empat tematik pemberantasan korupsi dan penguatan kelembagaan berupa peningkatan pengembalian/pemulihan aset, penguatan intervensi pencegahan korupsi, membentuk masyarakat yang berintegritas dan berperilaku antikorupsi, serta memperkuat tata kelola kelembagaan di seluruh jenjang organisasi KPK.
Ruang gerak terbatas
Secara terpisah, Peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, dalam laporan evaluasi KPK 2019-2023, mengungkapkan, keputusan merevisi Undang-Undang KPK berdampak buruk pada ekosistem hukum di Indonesia. Perubahan ini berimplikasi pada terbatasnya ruang gerak KPK dalam memberantas korupsi.
Menurut Alvin, kebijakan politik yang membuat KPK di bawah kendali presiden membuat mereka sulit memecahkan kasus-kasus yang melibatkan elite politik dan petinggi. Penempatan KPK dalam rumpun kekuasaan eksekutif berdampak pada semakin menguatnya konsolidasi elite politik akibat fungsi pengawasan KPK yang dilemahkan. Akibatnya, korupsi pada sektor strategis, seperti politik, sumber daya alam, hingga penegakan hukum, semakin menguat dalam beberapa tahun terakhir.
Alvin juga menyoroti persoalan etik di KPK. Ia menegaskan, penting bagi lembaga antirasuah itu untuk segera menjalankan evaluasi besar-besaran terhadap penegakan nilai-nilai integritas yang dimulai dari penegakan kode etik yang serius dan tegas.
”KPK juga perlu meninjau ulang tata kelola integritas internal untuk memetakan kelemahan sistem yang menyebabkan begitu banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh insan KPK dalam kurun waktu empat tahun terakhir, termasuk yang berujung pada tindak pidana seperti yang dilakukan oleh pegawai dan pimpinan KPK,” kata Alvin.
Baca juga: Kinerja Ketua KPK Diminta agar Dievaluasi
Selain itu, menurut Alvin, revisi UU KPK juga mendesak dilakukan untuk mengalibrasi ulang sistem pengawasan internal. Sebab, keberadaan dua lembaga pengawasan di internal KPK, yakni inspektorat dan Dewas, ternyata tetap tidak meningkatkan kualitas pengawasan. Adanya irisan kewenangan justru menimbulkan tumpang tindih yang tidak perlu.