Perpanjangan Operasi Damai Cartenz Dikritik, Dianggap Langgengkan Kekerasan
Operasi Damai Cartenz di Papua diperpanjang hingga akhir 2024. Operasi itu dinilai melanggengkan kekerasan di Papua.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian memperpanjang Operasi Damai Cartenz hingga 31 Desember 2024. Meski disebut mengedepankan upaya persuasif dan humanis, operasi itu dinilai akan melanggengkan siklus kekerasan di Papua.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Erdi A Chaniago, melalui keterangan tertulis, Rabu (10/1/2024), mengatakan, Polri memperpanjang Operasi Satuan Tugas mulai 1 Januari 2-24 sampai 31 Desember 2024. Perpanjangan operasi tersebut sebagai upaya untuk menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat di Papua.
”Operasi Damai Cartenz mengedepankan fungsi pembinaan masyarakat, deteksi, dan hubungan masyarakat didukung satuan tugas penegakan hukum,” kata Erdi.
Seperti operasi yang dilaksanakan sebelumnya, lanjut Erdi, operasi tersebut masih akan menerapkan pola kerja seperti tahun sebelumnya, yakni mengedepankan upaya yang humanis dan persuasif. Operasi itu dilaksanakan di wilayah Kepolisian Daerah Papua, terutama di wilayah Provinsi Papua Tengah dan Papua Pegunungan, yakni di Kabupaten Pegunungan Bintang, Yahukimo, Mimika, Intan Jaya, Dogiyai, Puncak, Nduga, Jaya Wijaya, serta Jayapura.
Dari evaluasi Polri terhadap Operasi Damai Cartenz, sepanjang 2023 terjadi 146 aksi yang dilakukan kelompok kriminal bersenjata (KKB) dengan jumlah korban sebanyak 146 orang. Aksi tersebut, antara lain, berupa 40 peristiwa penembakan, 23 peristiwa kontak tembak, dan 136 peristiwa lainnya. Adapun 146 korban tersebut terdiri dari 64 korban meninggal, 81 korban luka, dan 1 korban sandera.
Di dalam rilis akhir tahun 2023, Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengatakan, selain Operasi Damai Cartenz yang dilakukan terpusat, terdapat pula operasi lainnya, yakni Operasi Paro 2023 yang dilakukan Polda Papua dengan misi penyelamatan pilot Susi Air yang disandera, yakni Philips Mark Marhtens. Operasi lainnya adalah Operasi Rastra Samara Kasih Cartenz yang dilakukan Polda Papua dan Operasi Petik Bintang Mansinam yang dilakukan Polda Papua Barat.
Di dalam rilis akhir tahun 2023, Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengatakan, selain Operasi Damai Cartenz yang dilakukan terpusat, terdapat pula operasi lainnya, yakni Operasi Paro 2023 yang dilakukan Polda Papua.
Menurut Listyo, Operasi Damai Cartenz merupakan operasi penegakan hukum. Meski demikian, operasi tersebut dibarengi dengan pendekatan lunak untuk mengambil hari masyarakat Papua. ”Polri juga terus memberikan perlindungan bagi masyarakat Papua dari serangan KKB bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan yang ada,” kata Listyo.
Selain itu, lanjut Listyo, Polri akan terus meningkatkan kapasitas satuan wilayah kepolisian dengan memekarkan dan mengawal program daerah otonomi baru (DOB). Menurut rencana, Polda Papua akan dibagi menjadi enam polda, yakni Polda Papua, Polda Papua Selatan, Polda Papua Tengah, Polda Papua Pegunungan, Polda Papua Barat, dan Polda Papua Barat Daya yang didukung 42 kepolisian resor dengan 21.555 personel.
Dihubungi terpisah, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, berpandangan, selama peristiwa kekerasan oleh KKB tetap ada, operasi keamanan akan terus dilakukan Polri. Yang harus dicermati, kata Bambang, adalah perubahan strategi yang dilakukan kepolisian dalam operasi tersebut, yakni pendekatan humanis dan persuasif.
”Pola operasi keamanan berbasis kemanusiaan tentu juga harus bisa melindungi keselamatan personel kepolisian ataupun TNI,” kata Bambang.
Menurut Bambang, personel TNI dalam operasi tersebut merupakan perbantuan kepada Polri. Efektivitas dan kemungkinan untuk meningkatkan peran TNI dalam operasi tersebut merupakan keputusan Presiden. Peran Presiden penting agar tidak terjadi bias antara Polri dan TNI serta untuk menjawab sorotan dunia internasional.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesian (PBHI) Julius Ibrani berpandangan, berdasarkan data yang dikumpulkan PBHI, Papua tampak sebagai titik konflik dan titik persekusi secara fisik ataupun diskriminasi secara rasial yang bertujuan untuk menenggelamkan masyarakat asli Papua. penanganan selama puluhan tahun oleh pemerintah dinilai untuk membungkam hak asasi manusia (HAM) yang sedang disuarakan masyarakat asli Papua.
”Segala bentuk pembungkaman ini dibungkus dengan pendekatan keamanan dan pertahanan melalui pengiriman polisi dan tentara ke Papua,” kata Julius.
Julius menyampaikan, sepanjang Desember 2022 hingga Oktober 2023, PBHI mencatat dan mengonfirmasi 32 peristiwa dengan 501 orang korban. Peristiwa tersebut terkait dengan penangkapan paksa secara sewenang-wenang tanpa disertai administrasi, pembubaran terhadap unjuk rasa secara damai, tindakan represif dalam aktivitas sehari-hari, hingga tuduhan tak berdasar atau tuduhan separatis.
Selain penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, terjadi pula pemukulan hingga pembunuhan. Sebanyak 32 persen di antaranya merupakan tindakan pembunuhan di luar hukum.
Dari peristiwa tersebut, lanjut Julius, selain penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, terjadi pula pemukulan hingga pembunuhan. Sebanyak 32 persen di antaranya merupakan tindakan pembunuhan di luar hukum.
”Pembunuhan ini tidak ada kejelasan, apakah kaitannya dengan peristiwa tembak-menembak sehingga dianggap perlawanan terpaksa atas tindakan mengancam nyawa dari aparat penegak hukum atau aparat militer atau seperti perang sebagaimana dalil pemberontakan yang terjadi,” tutur Julius.
Oleh karena itu, menurut Julius, perpanjangan Operasi Damai Cartenz tersebut tidak lebih dari upaya melanggengkan impunitas atas represi yang selama ini terjadi di Papua. Sementara narasi yang terus digaungkan adalah pemberontakan. Padahal, pada beberapa waktu lalu terkuak adanya penjualan senjata api di Papua yang dilakukan aparat. Dengan kata lain, sebenarnya keonaran yang terjadi di Papua tidak semata terjadi begitu saja, tetapi turut diciptakan aparat.
”Represi itu dipelihara dan dikelola supaya Papua tetap berstatus konflik sehingga ada dalih untuk melakukan pendekatan represif melalui sektor keamanan,” kata Julius.