Aturan LHKPN Diperkuat, KPK Bisa Umumkan Pelapor Tak Beri Surat Kuasa
KPK mengharmonisasi revisi peraturan KPK tentang LHKPN. Di aturan baru, KPK berwenang menetapkan jabatan wajib LHKPN.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berkaca dari manfaat laporan harta kekayaan penyelenggara negara atau LHKPN dalam penindakan kasus dugaan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi akan memperkuat regulasi pelaporan LHKPN. Namun, hal ini upaya mengefektifkan LHKPN ini juga tetap perlu disambut dengan kemauan politik yang kuat dari kepala negara untuk memberi sanksi penyelenggara negara yang enggan melaporkan LHKPN.
Vonis 14 tahun penjara terhadap bekas pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo, Senin (8/1/2024), tidak terlepas dari bantuan LHKPN. Kasus ini bermula dari viralnya rekaman video anak Rafael, yakni Mario Dandy Satrio, menganiaya Cristalino David Ozora. Warganet menemukan Mario sering memamerkan kekayaan di media sosial. Dari dokumen LHKPN, Rafael memiliki kekayaan Rp 56,1 miliar. Alhasil, KPK lalu memeriksa Rafael untuk mengklarifikasi kekayaannya. Ia kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi dan pencucian uang.
Terkait hal itu, Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan di Jakarta (9/1/2024), mengatakan, KPK berupaya memperkuat LHKPN melalui revisi Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Revisi peraturan tersebut telah diserahkan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk proses harmonisasi.
Pahala menjelaskan, beberapa isi revisi aturan itu, yakni penyelenggara negara yang menyampaikan LHKPN tanpa surat kuasa yang memungkinkan KPK memeriksa data di perbankan, akan diumumkan di website KPK. Selain itu, inspektorat setiap kementerian dan lembaga juga akan diberi akses LHKPN untuk memperkuat pengawasan internal.
Aturan itu juga membuat KPK mendapat wewenang untuk penetapan jabatan yang harus menyetorkan LHKPN. ”Jadi, bukan hanya kepala instansi yang bisa memperluas jabatan wajib LHKPN,” kata Pahala.
Dia juga mengatakan, KPK akan menegur kepala instansi apabila ada yang tidak menyetorkan LHKPN secara lengkap. KPK juga memberikan teguran yang berisi rekomendasi sanksi yang harus dijatuhkan. Sanksi itu bukan pidana, melainkan penundaan kenaikan pangkat, promosi jabatan, dan sebagainya.
KPK berharap, revisi peraturan itu bisa meningkatkan efektivitas LHKPN. Sebab berdasarkan data KPK per 31 Desember 2023, tingkat kepatuhan pelaporan LHKPN tahun pelaporan 2022 belum 100 persen, tetapi di angka 95,88 persen. Sebanyak 4.082 penyelenggara negara belum melaporkan LHKPN.
Di tingkat kementerian, Kementerian Luar Negeri memiliki tingkat kepatuhan LHKPN terendah, yakni 84,69 persen. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menjadi lembaga nonkementerian terendah tingkat kepatuhannya, yakni 54,55 persen. PT Dirgantara Indonesia menjadi badan usaha milik negara terendah tingkat kepatuhannya, yakni 68,18 persen. Kejaksaan menjadi aparat penegak hukum paling rendah tingkat kepatuhannya, yakni 89,66 persen.
Untuk memperkuat LHKPN, kata dia, dibutuhkan juga komitmen Presiden untuk menindak tegas penyelenggara negara yang tak menyetorkan LHKPN beserta surat kuasa atau yang melaporkan LHKPN secara tidak benar. Menurut Pahala, ini jadi komitmen Presiden yang nyata untuk memberantas korupsi di tengah lemahnya No 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Secara terpisah, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengapresiasi putusan majelis hakim yang telah mempertimbangkan dan memutus sesuai tuntutan amar pidana badan yang dibacakan jaksa penuntut umum terhadap Rafael Alun, yakni hukuman penjara 14 tahun.
Sebagai salah satu perkara yang bermula dari pemeriksaan LHKPN yang tidak sesuai dengan profil penyelenggara negara, maka hal ini menjadi terobosan KPK dalam strategi penanganan perkara korupsi. Dukungan masyarakat yang turut mengawal setiap prosesnya menjadi salah satu kunci penyelesaian perkara ini.
”Peran masyarakat menjadi penting dalam pengawasan LHKPN sebagai instrumen awal transparansi kepemilikan harta seorang penyelenggara negara untuk mencegah terjadinya potensi tindak pidana korupsi,” kata Ali.
Upaya simultan
Menurut peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, ada tiga upaya simultan yang dapat dilakukan untuk memperkuat fungsi LHKPN. Di level regulasi, saat ini sangat urgen ada ketentuan khusus untuk merampas kekayaan akibat illicit enrichment atau peningkatan kekayaan pejabat publik secara tak sah, salah satunya melalui kehadiran RUU Perampasan Aset.
RUU Perampasan Aset dibutuhkan karena penggunaan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang serta UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih menyimpan kompleksitas dalam proses pembuktian, seperti harus dibuktikan upaya menyembunyikan asal-usul kekayaan.
Dari sisi organisasi pemerintah, dibutuhkan penguatan deteksi yang dipimpin oleh Inspektorat Jenderal yang didukung KPK, Kejaksaan Agung, PPATK, Badan Pemeriksa Keuangan, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. ”Perlu dibangun secara serius mekanisme sistem audit dan analisis profil terhadap pejabat dan pegawai pajak di lingkungan pemerintah,” kata Alvin.
Ia menambahkan, instrumen LHKPN perlu diperbaiki untuk memastikan pendapatan pejabat publik terpantau berkala, yakni sebelum, saat, dan setelah menjabat. Instrumen ini perlu diletakkan tidak hanya menjadi deklarasi, tetapi juga pintu masuk penyidikan perkara.