Aktivis Haris-Fatia Divonis Bebas dari Tuduhan Pencemaran Nama Baik Luhut
Hakim menyatakan "Lord" yang dilekatkan pada nama Luhut tak berkonotasi buruk.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (8/1/2024), memutus bebas aktivis hak asasi manusia dan demokrasi Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dari dakwaan pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Majelis hakim menilai tak ada pencemaran nama baik dalam rekaman video yang memuat siniar keduanya yang diunggah di akun milik Haris di Youtube.
Kuasa hukum Haris dan Fatia pun mengapresiasi putusan tersebut dan menilai putusan itu sebagai bentuk perlindungan terhadap kebebasan berbicara dan berpendapat.
Sidang putusan itu dibacakan secara bergantian oleh Hakim Ketua Cokorda Gede Arthana dan dua hakim anggota, yakni Muhammad Djohar Arifin dan Agam Syarief Baharudin, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Selama sidang berlangsung para aktivis dari beberapa organisasi masyarakat sipil, kelompok korban HAM berat, organisasi buruh, dan para pendukung Haris-Fatia melakukan orasi dan meneriakkan yel-yel dukungan di depan PN Jaktim.
”Menyatakan bahwa terdakwa Haris Azhar tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan penuntut umum dalam dakwaan pertama, kedua primer, dakwaan kedua subsider, dan dakwaan ketiga. Membebaskan terdakwa Haris Azhar dari segala dakwaan,” ujar Hakim Ketua Cokorda Gede Arthana.
Selain membebaskan terdakwa dari dakwaan jaksa penuntut umum, majelis hakim juga memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, serta harkat dan martabatnya.
Mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti juga dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana. Sama dengan Haris, ia juga dibebaskan dari segala tuntutan pidana yang disangkakan oleh jaksa penuntut umum. Putusan itu pun disambut sorak gembira oleh para pendukung Haris-Fatia yang berada di dalam ataupun di luar gedung PN Jaktim.
Sebelumnya jaksa menuntut agar majelis hakim menjatuhkan hukuman empat tahun penjara terhadap Haris dan 3,5 tahun penjara terhadap Fatia. Jaksa menyatakan, Haris dan Fatia melanggar Pasal 27 Ayat 3 juncto Pasal 45 Ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebagaimana diubah dalam UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke 1.
Hakim Muhammad Djohar Arifin menilai bahwa ucapan ”jadi penjahat juga kita” yang ada dalam rekaman siniar antara Haris dan Fatia itu bukan pencemaran nama baik. Bahkan, di dalam persidangan, saksi Luhut juga menyatakan tidak mengingat kata penjahat dalam video siniar tersebut.
”Menimbang bahwa ternyata dalam surat tuntutan jaksa pada halaman 231 hanya menitikberatkan pada muatan penghinaan dan pencemaran nama baik dari perspektif judulnya,” ujar Arifin.
”Lord” sering diucapkan
Terkait dengan sebutan ”Lord” Luhut yang dipermasalahkan, majelis hakim juga menilai bahwa perkataan lord yang diletakkan sebelum nama saksi Luhut telah sering disematkan oleh media daring dan bahkan sudah menjadi kebiasaan apabila orang menyebut nama Luhut. Bahkan, dalam perbincangan sehari-hari, kata ”Lord” Luhut sering diucapkan, walau demikian tidak menimbulkan permasalahan bagi saksi Luhut.
Majelis berpandangan kata lord yang berasal dari bahasa Inggris artinya yang mulia adalah sebutan bagi orang yang memiliki wewenang, kendali, atau kuasa atas pihak lain, selaku pemimpin atau majikan atau penguasa. ”Penyebutan kata Lord pada saksi Luhut bukan ditujukan pada personal saksi Luhut, tetapi lebih kepada posisi saksi Luhut sebagai salah seorang menteri di kabinet Presiden Jokowi,” kata Arifin.
Terkait dengan sebutan Lord Luhut yang dipermasalahkan, majelis hakim juga menilai bahwa perkataan Lord yang diletakkan sebelum nama saksi Luhut telah sering disematkan oleh media daring dan bahkan sudah menjadi kebiasaan apabila orang menyebut nama Luhut.
Majelis juga mempertimbangkan bahwa Luhut menerima banyak kepercayaan dari Presiden untuk menduduki atau mengurusi hal-hal tertentu di bidang pemerintahan ataupun bidang kedaruratan seperti pada masa Covid-19 yang sedang merebak di Indonesia. Oleh karena itu, semata kata Lord pada Luhut menurut hakim bukanlah dimaksud sebagai suatu penghinaan atau pencemaran nama baik.
”Karena kata lord bukanlah menggambarkan konotasi buruk atau jelek atau hinaan atas keadaan fisik atau psikis seseorang, tapi merujuk pada status atau posisi seseorang yang berhubungan dengan kedudukannya,” ujar hakim.
Atas putusan tersebut, baik Haris maupun Fatia langsung menerima karena putusannya adalah membebaskan dari segala dakwaan. Adapun jaksa menyatakan masih akan mempelajari salinan dan substansi putusan sehingga mereka menyatakan pikir-pikir.
Kuasa hukum Haris-Fatia, Muhammad Isnur, mengapresiasi putusan majelis hakim tersebut. Walaupun kepolisian dan kejaksaan menyatakan bahwa ada dugaan pidana dalam program bincang-bincang yang membahas kajian cepat koalisi masyarakat sipil, majelis hakim bisa memutus dengan jernih bahwa tidak ada tindak pidana dalam siaran kajian ilmiah tersebut. Ia menyebut bahwa putusan hakim itu juga memberikan jaminan kepada masyarakat sipil untuk bebas bersuara, berpendapat, dan kritis terhadap kebijakan pemerintah.