logo Kompas.id
Politik & HukumOptimisme Caleg Muda Menatap...
Iklan

Optimisme Caleg Muda Menatap Parlemen

Sejumlah caleg muda optimistis bisa membuat parlemen lebih baik jika kelak terpilih di Pemilu 2024.

Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
· 5 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/uorjuSFOch_x-j-8Qfp9KLnO5uQ=/1024x670/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F19%2F28b18d80-8c76-401c-be79-3bfbb77776de_jpg.jpg

Deretan spanduk caleg memenuhi pinggir Jalan Ciledug Raya di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Sabtu (19/8/2023).

Optimisme terhadap perbaikan wajah parlemen muncul seiring makin banyaknya calon anggota legislatif yang berasal dari generasi Y dan Z. Tak hanya meningkatkan representasi dari kalangan yang merupakan pemilih mayoritas pada Pemilu 2024, keberadaan kaum muda juga diharapkan bisa mendorong transparansi di Dewan Perwakilan Rakyat yang selama ini menjadi kritik publik.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Dominasi pemilih dari generasi Y dan Z pada Pemilu 2024 diikuti dengan peningkatan jumlah calon anggota legislatif berusia 21-30 tahun untuk berkontestasi memasuki parlemen. Mengacu daftar calon tetap (DCT) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2024, terdapat 9.917 calon anggota legislatif (caleg) yang bakal berkontestasi. Sebanyak 14 persen atau 1.473 orang di antaranya berusia 21-30 tahun.

Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan keikutsertaan caleg berusia yang sama pada Pemilu 2019. Catatan Kompas, pada Pemilu 2019 jumlah caleg DPR mencapai 7.968 orang. Dari total caleg DPR tersebut, ada 7,3 persen atau 588 orang berusia di bawah 30 tahun.

Peningkatan jumlah caleg DPR muda itu memunculkan optimisme tersendiri ihwal keterwakilan anak muda di parlemen. Sebab, meski proporsi pemilih muda dari pemilu ke pemilu meningkat, mereka yang lolos menjadi anggota DPR masih jauh dari harapan. Misalnya, pada periode 2019-2024, jumlah anggota DPR berusia di bawah 30 tahun hanya 18 orang dari total 575 anggota DPR.

Baca juga: Caleg Tandem, Simbiosis Mutualisme demi Gaet Suara Pemilih

Suasana bincang-bincang Satu Meja The Forum, Rabu (3/1/2024).
KURNIA YUNITA RAHAYU

Suasana bincang-bincang Satu Meja The Forum, Rabu (3/1/2024).

”Kalau makin banyak anak muda yang menjadi anggota DPR, maka makin banyak pula anak muda yang terwakilkan,” kata Ayu Arianti, caleg DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN), dalam acara bincang-bincang Satu Meja The Forum yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Rabu (3/1/2024) malam.

Selain Ayu, hadir pula tujuh caleg DPR berusia 21-30 tahun lain, di antaranya Ismail Bachtiar dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Rafif Muhammad Rizqullah dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Cindy Monica Salsabila dari Partai Nasdem, dan Assandra Salsabila dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ada pula Abraham Sridjaja dari Partai Golkar, Rubi Chairani dari Partai Gerindra, dan Hillary Brigitta Lasut dari Partai Demokrat. Selain itu, hadir pula caleg DPRD Kota Surabaya, Jawa Timur, dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Aryo Seno Bagaskoro.

Tak hanya para caleg muda, acara tersebut turut menghadirkan dua panelis yang menyampaikan sejumlah pertanyaan kepada para caleg, yakni pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali, serta pembawa acara Ivy Batuta. Selain itu, hadir pula sejumlah mahasiswa dari Universitas Negeri Jakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan Universitas Indonusa Esa Unggul.

Tak hanya soal partisipasi, Abraham Sridjaja mengatakan, semakin banyaknya anggota DPR muda juga diharapkan bisa mendorong transparansi di parlemen. Transparansi dimaksud terkait dengan penggunaan berbagai tunjangan anggota DPR yang kerap dipertanyakan masyarakat. Selain itu, juga mengenai lobi-lobi antarfraksi partai politik dalam perumusan undang-undang yang kerap dicurigai hanya berorientasi untuk menguntungkan pihak tertentu, bukan masyarakat.

<i>Talkshow</i> KandidatFest dari Kompas TV yang menampilkan caleg muda dan <i>youtubers</i>.
FAJAR RAMADHAN UNTUK KOMPAS

Talkshow KandidatFest dari Kompas TV yang menampilkan caleg muda dan youtubers.

”Memang (ada anggapan) tidak semua anak muda itu jujur. Tetapi, saya bagian dari yang mendorong anak muda untuk maju ke DPR untuk mendorong transparansi,” kata politisi Partai Golkar itu.

Iklan

Komitmen terhadap transparansi juga disampaikan Assandra Salsabila. Sejak awal berkampanye, politisi PPP itu berjanji untuk memublikasikan seluruh kegiatannya jika terpilih sebagai anggota DPR. Misalnya, publikasi tentang focusgroupdiscussion yang diselenggarakan DPR dengan berbagai pihak lengkap dengan daftar kehadiran serta pandangan dari semua anggota DPR yang terlibat. Begitu juga mengenai alur dan penggunaan dana reses.

Menurut dia, publikasi itu penting agar masyarakat bisa memantau serta mengkritisi kinerja para wakilnya. ”Kami adalah caleg-caleg muda yang berani bilang, mungkin saya salah, mungkin saya harus mendengarkan Anda (masyarakat), mungkin kita harus memperbaiki,” ujar Assandra.

Hillary Brigitta Lasut, caleg Partai Demokrat yang juga mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Nasdem, mengatakan, kaum muda yang masuk parlemen memang harus berani membuat gebrakan. Namun, itu bukan hal mudah dan membutuhkan idealisme yang kuat. Berkaca pada pengalamannya selama tiga tahun menjabat di DPR periode 2019-2024, anggota DPR muda yang berbeda pandangan dengan mayoritas akan lebih banyak mendapatkan musuh ketimbang teman.

Baca juga: Menembus ”Belantara” Pemilu dengan Basis Saintifik

Suasana Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/12/2023).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Suasana Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/12/2023).

”Itu tidak akan mudah. Teman-teman akan berhadapan dengan para penguasa yang punya jaringan, yang bisa menggunakan netizen (warganet) untuk merusak nama baik teman-teman. Itu tidak hanya terjadi pada saya, tetapi juga banyak orang lain yang mengalami juga,” ujarnya.

Untuk itu, menurut Arya Seno Bagaskara, dibutuhkan pendidikan politik secara bertahap agar para politisi muda dapat menjadi legislator yang mumpuni. Baik dalam memahami masalah yang ada di masyarakat maupun melaksanakan proses politik kenegaraan. Oleh karena itu, alih-alih mendaftar sebagai caleg DPR, ia justru menjadi caleg DPRD Kota Surabaya, Jawa Timur.

”Bagi saya pribadi, pilihan terbaik untuk melatih diri, ya, di kota tempat saya tinggal. Di situ saya bisa belajar mengawal legislasi, monitoring, dan menemui masalah yang ada di masyarakat. Itu proses kaderisasi, tidak hanya di organisasi kepartaian, tetapi juga dalam proses politik kenegaraan,” ungkap Seno.

Biaya politik

Sebelum menghadapi rintangan di parlemen, para caleg berusia 30 tahun ke bawah itu mengakui bahwa biaya politik yang tinggi merupakan salah satu tantangan yang dihadapi. Cindy Monica Salsabila mengungkapkan, selama 1,5 tahun telah berkeliling ke 600 lokasi di daerah pemilihannya, yakni Sumatera Barat II, untuk memberikan pendidikan politik kepada calon pemilih. Untuk membiayai agenda tersebut, ia telah menghabiskan uang sekitar Rp 2 miliar untuk biaya operasional dan konsumsi konstituen.

Baca juga: Rahasia Caleg Modal Cekak Menembus Parlemen

Pengendara melintasi bendera partai politik peserta Pemilu 2024 dan calon anggota legislatif yang dipasang di sekitar Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, Senin (1/1/2024).
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pengendara melintasi bendera partai politik peserta Pemilu 2024 dan calon anggota legislatif yang dipasang di sekitar Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, Senin (1/1/2024).

”Mungkin (total biaya kampanye) Rp 4 miliar, itu kalau skala saya,” ungkap politisi Partai Nasdem itu.

Ismail Bachtiar mengakui, berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga, kerap disebutkan biaya politik caleg sebelum memasuki parlemen berkisar Rp 5 miliar-Rp 10 miliar. Menurut dia, itu merupakan angka yang riil. Akan tetapi, itu bisa disiasati dengan kreativitas yang sesuai dengan karakter kaum muda, yakni optimalisasi penggunaan media sosial (medsos).

Caleg DPR yang pernah menjabat sebagai anggota DPRD Sulawesi Selatan itu mengatakan, saat mengikuti Pemilu 2019, ia mengeluarkan biaya sekitar Rp 300 juta. Jumlah biaya kampanye yang jauh dari perkiraan banyak pihak itu bisa terjadi karena ia tidak menggunakan baliho dan memanfaatkan medsosnya untuk berkampanye. Menurut dia, dengan aktivitas yang tepat di media sosial, interaksi dirinya dengan warganet bisa dikonversi menjadi suara.

”Trafik medsos saya saat maju itu punya 8.000 pengikut, sampai menjelang pemilihan naik menjadi ada 30.000 pengikut. Dan, itu terkonversi, akhirnya suara yang saya peroleh itu 16.000 suara. Jadi, saya bisa simpulkan bahwa peran medsos juga cukup berpengaruh pada media kampanye kita di lapangan,“ ungkap politisi PKS itu.

Editor:
ANTONIUS PONCO ANGGORO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000