Masyarakat Antikorupsi Indonesia: Firli Pantas Diberhentikan Tidak Hormat
Masyarakat Antikorupsi Indonesia menilai Firli Bahuri pantas diberhentikan dari jabatan Ketua KPK secara tidak hormat karena tidak memenuhi amanah yang diberikan oleh Presiden.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
Suasana saat digelar Sidang Etik Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait putusan etik terhadap bekas Ketua KPK Firli Bahuri di Gedung Anti-Corruption Learning Center (ACLC) KPK, Jakarta, Rabu (27/12/2023). Dewan Pengawas KPK memutuskan bahwa Firli Bahuri terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran kode etik KPK dan dijatuhi sanksi etik berat. Sanksi etik berat yang dijatuhkan tersebut adalah diminta mengundurkan diri dari pimpinan KPK. Firli melanggar etik dengan menemui pihak yang beperkara dengan KPK. Firli terbukti bertemu dengan tersangka kasus korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian, bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, di lapangan bulu tangkis Mangga Besar, beberapa waktu lalu. Selain itu, Dewas KPK juga memaparkan beberapa hal yang memberatkan dan menjatuhkan sanksi berat, yaitu Firli Bahuri tidak mengakui perbuatannya, tidak hadir dalam sidang kode etik tanpa alasan yang sah, dan terdapat kesan memperlambat persidangan.
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat Antikorupsi Indonesia atau MAKI menilai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif Firli Bahuri sangat pantas diberhentikan secara tidak hormat. Selain telah terbukti melanggar etik berat, Firli juga tidak mengemban amanah yang diberikan oleh Presiden saat dia dilantik.
”Presiden mengamanahkan kepada Firli agar memberantas korupsi, tetapi dia tidak menunaikan amanah tersebut,” kata Ketua MAKI Boyamin Saiman, Kamis (28/12/2023).
Sementara itu, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) telah menyerahkan salinan putusan sidang etik Firli Bahuri kepada Presiden Joko Widodo.
Sementara itu, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) telah menyerahkan salinan putusan sidang etik Firli Bahuri kepada Presiden Joko Widodo. Anggota Dewas KPK, Syamsuddin Haris, Kamis, mengatakan, salinan putusan telah diserahkan kepada Sekretariat Istana Negara pada Rabu (27/12/2023) seusai pembacaan sidang etik.
Meski demikian, Syamsuddin mengaku belum mendapatkan informasi dari Istana terhadap dokumen yang mereka serahkan tersebut. ”Belum (ada respons),” kata Syamsuddin.
Ditanya apakah ada kemungkinan Firli dipecat secara tidak hormat, Syamsuddin mengatakan hal itu harus konfirmasi ke pihak Istana.
Dalam sidang etik, Rabu, Dewas KPK menjatuhkan sanksi terhadap Firli Bahuri. Sanksi tersebut adalah Firli diminta untuk mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK.
Firli dinyatakan melanggar etik karena melakukan pertemuan dengan tersangka korupsi yang perkaranya tengah ditangani KPK, yakni bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Selain itu, Firli juga tidak jujur mengisi laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
Firli kini telah dinonaktifkan sebagai pimpinan KPK. Firli juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya terkait dengan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo.
Khianati kepercayaan publik
Terkait dengan perilaku Firli, Boyamin mengatakan, Firli tidak memberikan contoh yang baik bagi aparatur sipil negara di KPK dan mengkhianati kepercayaan publik terhadap KPK. Kini tingkat kepercayaan publik terhadap KPK menurun salah satunya karena kasus Firli.
Hasil Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang dirilis pada Rabu (27/12/2023) menyebutkan tingkat kepercayaan publik pada KPK menurun dari survei-survei sebelumnya.
Survei yang dilakukan CSIS pada periode 13-18 Desember 2023 itu menemukan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK sebesar 58,8 persen membuat KPK berada di peringkat kedua dari bawah setelah DPR. Dari sembilan lembaga negara yang ditanyakan kepada responden, menempatkan TNI di posisi teratas dengan 91,2 persen.
Pascarevisi UU KPK membuat lembaga antirasuah itu dianggap bukan lagi lembaga independen karena berada di bawah presiden.
Tak lagi independen
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Danang Widoyoko mengatakan, revisi UU KPK membuat lembaga antirasuah itu melemah. Pascarevisi UU KPK membuat lembaga antirasuah itu dianggap bukan lagi lembaga independen karena berada di bawah presiden.
Danang menuturkan, dilihat dari banyak sisi kinerja KPK mengalami penurunan. Dia mengutip hasil studi Anti-Corruption Agency (ACA) Assessment 2023 yang menyebutkan KPK mengalami penurunan nilai pada tiga dimensi, yakni independensi dari 83 persen pada 2019 kini menjadi 28 persen pada 2023. Dimensi penindakan dari nilai 83 persen pada 2019 justru turun ke 61 persen pada 2023. Begitu juga dengan dimensi kerja sama antar lembaga dari sebelumnya 83 persen menjadi 58 persen.
Menurut Danang, kasus yang terjadi pada Firli juga menjadi faktor yang menyebabkan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK anjlok.