Mahasiswa dan Dosen Serukan Kegelisahan atas Ancaman Demokrasi dan Keadilan
Ketua Institut Etika dan Peradaban Universitas Paramadina Pipip Achmad Rifai Hasan dalam acara Suara Moral dari Kampus menekankan pesan demokrasi, keadilan, dan antikorupsi, kolusi dan nepotisme harus dijaga.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah mahasiswa dan pengajar Universitas Paramadina mengingatkan kepada semua pihak agar tidak semakin jauh melangkah, meninggalkan cita-cita reformasi dan para pendiri bangsa. Di sisi lain, masyarakat sipil mempunyai peran besar dalam demokrasi, yakni untuk membatasi dan mengontrol kekuasaan.
”Kebebasan berpendapat oleh warga yang kritis terhadap kebijakan pemerintah mengalami kriminalisasi pencemaran nama baik dengan Undang-Undang ITE. Akibatnya, warga mengalami ketakutan akan dikriminalisasi jika melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah,” kata Ketua Institut Etika dan Peradaban, Universitas Paramadina, Pipip Achmad Rifai Hasan saat menyampaikan pernyataan sikap Suara Moral dari Kampus di Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (20/12/2023).
Pembacaan pernyataan sikap itu diikuti 43 orang terdiri dari mahasiswa dan para pengajar di Universitas Paramadina. Menurut Pipip, mereka meminta kepada pemerintah, yakni Presiden, untuk menjamin kebebasan berpendapat bagi semua warga tanpa kekhawatiran. Sebab, muncul ketakutan dari masyarakat untuk menyatakan pendapat. Misalnya, ada kriminalisasi yang dialami oleh Haris Azhar dan kawan-kawan.
Adapun Haris Azhar, Direktur Lokataru; dan Fatia Maulidiyanti, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan didakwa telah melakukan penghinaan atau mencemarkan nama baik Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan melalui konten Youtube Haris yang berjudul ”Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!! Ngehantam”. (Kompas.id, 3 April 2023). Sidang putusan terhadap kasus tersebut akan digelar pada 8 Januari 2024.
Pipip juga mencermati adanya pelemahan institusi masyarakat sipil di Indonesia ketika Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2 Tahun 2017 tentang Ormas 2017 disahkan. Menurut dia, kini, organisasi masyarakat sipil tidak lagi memiliki kebebasan penuh dalam menyuarakan pendapatnya dan mengembangkan program-program yang dapat membuat kehidupan semakin demokratis dan berdampak pada kehidupan sosial yang lebih adil bagi masyarakat.
”Organisasi masyarakat sipil seharusnya melakukan penyeimbangan pada lembaga negara kini semakin dikontrol oleh negara,” tuturnya.
Menurut Pipip, kejadian tersebut hanya sebagian kecil dari banyak praktik yang diprihatinkan oleh masyarakat dan para cendekiawan mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Pihaknya ingin mengingatkan kembali agar negara tidak semakin jauh melangkah meninggalkan cita-cita reformasi dan para pendiri bangsa.
Selain kemerdekaan berpendapat dikekang, pihaknya juga menyoroti proses demokrasi dalam Pemilu 2024. Kini, penyelenggaraan pemilu diwarnai keraguan oleh sebagian pihak terhadap demokratisasi, yang seharusnya berjalan secara jujur, adil, damai, dan bermartabat. Peserta pemilu harus dapat menjunjung tinggi komitmen pada demokrasi dan keadilan.
”Kami juga tidak membenarkan perilaku partai politik yang tidak memperjuangkan demokrasi. Partai politik harus menjadi teladan bagaimana demokrasi dipraktikkan,” tutur Pipip.
Selain mengafirmasi bahwa demokrasi di Indonesia tengah mengalami kemunduran, civitas akademika Universitas Paramadina juga meminta agar pemberantasan korupsi tidak dilemahkan, sebagaimana adanya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019. Sebab revisi Undang-Undang KPK justru semakin melemahkan KPK dalam menangkap para koruptor. Alih-alih membuat jera para koruptor, UU KPK yang baru ini cenderung membuat para koruptor semakin leluasa melakukan aksinya.
”Kita harus terus menyuarakan pesan untuk menjaga demokrasi, keadilan dan anti korupsi, kolusi dan nepotisme,” kata Pipip.
Peneliti senior Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, Herdi Sahrasad menambahkan, sebagaimana yang diingatkan cendekiawan Nurcholish Madjid atau Cak Nur soal demokrasi maka perlunya partai oposisi. Namun, belum ada satu partai pun yang berani dengan sengaja menjadi partai oposisi dengan segala konsekuensinya. Padahal, partai oposisi penting dan strategis untuk kepentingan kehidupan berdemokrasi.
”Cak Nur sering menjelaskan bahwa sistem politik disebut demokratis jika terdapat wujud dinamika pengawasan dan pengimbangan (check and balance),” ujar Herdi.
Maka, tidak dapat dibenarkan dalam proses demokrasi jika tidak terdapat partai politik oposisi. Partai oposisi yang dimaksudkan oleh Cak Nur adalah partai yang menjalankan ide pengawasan dan pengimbangan. ”Tidak boleh hanya ada satu kekuatan sosial-politik yang dominan di negeri ini. Sebab, ia bisa jadi semacam tiran yang akan bertindak semena-mena. Karena itu, diperlukan kekuatan pengimbang,” tuturnya.