MK diminta untuk membatalkan UU Kesehatan terbaru oleh Sekber Organisasi Profesi Kesehatan. Namun, perkumpulan sejenis juga meminta MK untuk mempertahankan UU tersebut. Suara kalangan profesi medis pun terpecah.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Suara organisasi profesi medis pecah dalam menyikapi berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Sebanyak lima organisasi medis yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Organisasi Profesi Kesehatan meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Kesehatan. Alasannya, pembentukan UU tersebut dinilai cacat formil. Sebaliknya, beberapa organisasi lainnya meminta MK untuk mempertahankan regulasi baru di bidang kesehatan tersebut.
Hal tersebut tampak dalam persidangan uji formil UU Kesehatan di Mahkamah Konstitusi, Senin (18/12/2023). Dalam sidang kali ini, MK mendengarkan keterangan dari Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) dan komunitas Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan (P2KPK) yang meminta MK untuk menyatakan pembentukan UU Kesehatan sudah memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan. Salah satunya, telah melibatkan partisipasi masyarakat atau meaningful participation seperti diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya sebelumnya.
Sekretaris P2KPK Judilherry Justam mengatakan, pembahasan RUU Kesehatan telah melibatkan partisipasi komunitas kesehatan secara aktif yang memberikan usulan konsep-konsep dalam penyusunan RUU tersebut. Salah satu usulan yang disampaikan adalah mengembalikan organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia pada konteks awal mula organisasi tersebut dibentuk sebelum adanya UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran.
Kuasa hukum PDSI, Mukhlish Muhammad Maududi, juga mengatakan, kliennya dilibatkan dalam penyusunan UU Kesehatan. PDSI bahkan diundang oleh Dewan Perwakilan Daerah untuk mengikuti jalannya persidangan penyusunan RUU tersebut.
Pembahasan RUU Kesehatan telah melibatkan partisipasi komunitas kesehatan secara aktif yang memberikan usulan konsep-konsep dalam penyusunan RUU tersebut. Salah satu usulan yang disampaikan adalah mengembalikan organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia pada konteks awal mula organisasi tersebut dibentuk sebelum adanya UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran.
Pengujian formil UU No 17/2023 seperti diketahui diajukan oleh lima organisasi profesi medis dan kesehatan yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Organisasi Profesi Kesehatan. Adapun lima organisasi profesi medis yang tergabung dalam Sekber, antara lain Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI), Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PB IBI), dan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI).
Dalam permohonannya, kelima organisasi tersebut mempersoalkan tidak dilibatkannya serta tidak adanya pertimbangan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam pembahasan RUU Kesehatan. Padahal, RUU Kesehatan memiliki ruang lingkup pengaturan dan materi muatan yang berkaitan dengan otonomi daerah dan juga dengan pendidikan. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sesuai dengan Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945.
Pembuat UU meniadakan pendapat para pemohon atas hak untuk didengar, dipertimbangkan, diberikan jawaban penjelasan.
RUU Kesehatan juga dinilai oleh para pemohon cacat formil karena tidak sesuai dengan prosedur pembentukan undang-undang yang mengedepankan prinsip keterlibatan dan partisipasi bermakna (meaningful participation). Kelima organisasi profesi yang diakui oleh Menteri Kesehatan sebagai stakeholder utama RUU Kesehatan (dalam rapat kerja 5 April 2023) justru dihapuskan dalam DIM pemerintah.
”Pembuat UU meniadakan pendapat para pemohon atas hak untuk didengar, dipertimbangkan, diberikan jawaban penjelasan,” kata pemohon seperti dikutip dari berkas permohonan halaman 60. Penghilangan hak tersebut terkait dengan substansi materi muatan dan legal reasoning ”pasal-pasal jantung” mengenai organisasi profesi tunggal, konsil independent, kolegium sebagai badan akademis organisasi profesi, majelis kehormatan disiplin kedokteran, dan lainnya.
Oleh karena itu, pemohon pun mendalilkan telah terkena dampak langsung atas berlakunya UU Kesehatan. Salah satu substansi yang dipersoalkan adalah keberadaan Bab XIX Ketentuan Peralihan UU Kesehatan, khususnya Pasal 451 yang menghapuskan seluruh entitas kolegium yang merupakan organ ”jantung” organisasi profesi mereka.
Pasal tersebut mengatur, ”Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, kolegium yang dibentuk oleh setiap organisasi profesi tetap diakui sampai dengan ditetapkannya kolegium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 yang dibentuk berdasarkan undang-undang ini.”
Penguatan sistem
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam keterangannya di persidangan MK pada 7 Desember 2023 mengatakan, UU Kesehatan diperlukan mengingat adanya kebutuhan untuk menyesuaikan kebijakan demi penguatan sistem kesehatan secara holistik dalam satu undang-undang secara komprehensif.
Karena itu, pembentukan UU Kesehatan ini telah memenuhi ketentuan dan keterlibatan DPD hanya untuk pembahasan sepanjang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sedangkan UU Kesehatan ini bukan merupakan ruang lingkup kewenangan DPD, melainkan pelaksanaan Pasal 20 UUD 1945.
UU tersebut juga merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan pembangunan yang semakin baik dan terbuka yang dapat menciptakan kemandirian serta mendorong industri kesehatan nasional dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Menkes membantah bahwa pembahasan RUU Kesehatan cacat formil. Penyusunan dan pembahasan RUU telah melibatkan para ahli, industri farmasi, dan pihak-pihak terkait lainnya dalam bentuk konsultasi publik, diskusi terarah (focus group discussion), dan sosialisasi.
”Karena itu, pembentukan UU Kesehatan ini telah memenuhi ketentuan dan keterlibatan DPD hanya untuk pembahasan sepanjang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sedangkan UU Kesehatan ini bukan merupakan ruang lingkup kewenangan DPD, tetapi pelaksanaan Pasal 20 UUD 1945,” ungkapnya.
Menurut rencana, MK akan menggelar kembali sidang lanjutan uji formil UU Kesehatan pada Januari mendatang dengan agenda mendengarkan keterangan tiga ahli yang diajukan oleh pemohon dan juga keterangan dari DPR.
Ketua MK Suhartoyo mengungkapkan, pihaknya juga sudah menerima permohonan beberapa organisasi profesi medis untuk menjadi pihak terkait dalam perkara ini, yaitu Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa, Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi, Kolegium Dokter Indonesia, Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia. Namun, khusus untuk organisasi profesi yang mengajukan diri sebagai pihak terkait belakangan, MK hanya memberi kesempatan untuk menyampaikan keterangan tertulis dan mengajukan ahli secara tertulis. Hal ini disebabkan terbatasnya waktu MK untuk memeriksa dan mengadili perkara uji formil, yaitu hanya 60 hari sejak pemerintah/DPR memberikan keterangan.