UU Kesehatan (Omnibus), Apa yang Diharapkan?
Apakah lahirnya UU Kesehatan omnibus law akan dapat mengatasi kekurangan dokter dan dokter spesialis di seluruh Tanah Air, dan kemudian akan terjadi pemerataan distribusi dokter sampai ke daerah terpencil dan kepulauan?
Situasi kesehatan masyarakat saat ini tidak semua baik-baik saja.
Dalam pelayanan kesehatan, sebagian masyarakat masih sulit mengakses fasilitas kesehatan, terutama di daerah periferi dan kepulauan, distribusi tenaga kesehatan termasuk dokter tak merata, dan sistem pembiayaan kesehatan yang masih banyak masalah.
Angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu (AKI) masih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN dan Asia Pasifik lain. Belum lagi masalah tengkes dan kurang gizi, penyakit-penyakit infeksi, TBC, penyakit jiwa, dan berbagai penyakit jantung, baik pada anak maupun orang dewasa, stroke, serta penyakit non-infeksi lain.
Belum semua rakyat negeri ini dapat memperoleh pelayanan kesehatan memadai. Masih ada lebih dari 500 puskesmas, dari 10.000 lebih puskesmas di seluruh Tanah Air tak punya dokter, sementara setiap tahun 12.000-13.000 dokter lulus dari 92 fakultas kedokteran. Maladistribusi dokter dan dokter spesialis merupakan masalah ”kronis” yang belum teratasi.
Sampai saat ini sudah cukup banyak regulasi tentang kesehatan dan profesi. Lahirnya RUU Kesehatan omnibus law sebagai inisiatif DPR, yang baru saja disetujui DPR, seakan untuk menjustifikasi bahwa berbagai regulasi yang ada selama ini tak mampu mengatasi masalah-masalah kesehatan yang ada sehingga diperlukan suatu UU omnibus dengan mencabut beberapa UU yang ada.
Baca juga : RUU Kesehatan Disepakati Dibahas sebagai Inisiatif DPR
Apa yang diharapkan dari UU ini? Apakah lahirnya UU ini akan dapat mengatasi kekurangan dokter dan dokter spesialis di seluruh Tanah Air, dan kemudian akan terjadi pemerataan distribusi dokter sampai ke daerah terpencil dan kepulauan. Jawabannya: belum tentu!
Semuanya sangat bergantung pada pengambil kebijakan dan pelaksana di lapangan dan kerja sama dengan para pemangku kepentingan. Hal ini sebenarnya akan dapat dipenuhi jika mengefektifkan sistem kesehatan akademik (AHS) yang sudah mulai dijalankan di beberapa universitas. Karena itu, sebenarnya RUU Kesehatan omnibus ini tidak ”urgen”.
Apa yang perlu dilakukan?
Menyimak UU Kesehatan, ada beberapa substansi yang sudah cukup baik, tetapi masih ada beberapa masalah yang perlu dikritisi dan diperbaiki.
Dari substansi RUU ini terlihat ada sentralisasi pengaturan oleh pemerintah dengan memarjinalkan peran organisasi profesi. Padahal, dalam program transformasi kesehatan yang sering disampaikan Menteri Kesehatan, peran tenaga kesehatan dan berbagai organisasi profesi sangat diperlukan sebagai mitra pemerintah.
Antara lain untuk mengatasi kurangnya akses ke layanan primer, kurangnya kapasitas pela- yanan rujukan di rumah sakit (RS), SDM kesehatan yang masih kurang dan tidak merata. Pengambilalihan tugas dan wewenang profesi oleh pemerintah akan mengganggu independensi dari profesi itu sendiri, dan pada akhirnya dapat merugikan kepentingan masyarakat.
Untuk menambah dan mempercepat produksi dokter dan dokter spesialis, ada upaya dengan menambah RS yang dapat melaksanakan pendidikan secara mandiri oleh RS yang memenuhi syarat untuk mendidik dokter spesialis dan subspesialis.
Pasal 204 berbunyi: ”(1) Pendidikan profesi bidang kesehatan sebagai bagian dari pendidikan tinggi dapat diselenggarakan oleh perguruan tinggi dan bekerja sama dengan kementerian yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pendidikan tinggi, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, kolegium, dan/atau pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dari sini muncul terminologi sistem pendidikan spesialis berbasis RS (hospital based), yang sering dihadapkan dengan sistem pendidikan berbasis universitas (university based). Dikotomi keduanya tak perlu diperdebatkan karena pada dasarnya selama ini hampir 100 persen pendidikan dokter spesialis dan subspesialis dilaksanakan di RS dengan berbagai regulasi. Yang berbeda hanya sistem administratif dan status dokter para peserta didik.
Dalam sistem hospital based yang sudah lama dilaksanakan di banyak negara maju, masih tetap diperlukan afiliasi dengan universitas dan kerja sama dengan kolegium sehingga akan dapat memberikan jaminan terhadap mutu lulusan. Akan tetapi, peserta didik tidak perlu terdaftar sebagai mahasiswa di suatu universitas sehingga terbebas dari keharusan membayar biaya pendidikan (SPP).
Perlu diingat juga, investasi asing di bidang kesehatan dan masuknya tenaga kesehatan dapat berpengaruh terhadap kedaulatan negara.
Tenaga kesehatan WNA
Pengaturan terhadap dokter warga negara asing (WNA) yang akan berpraktik di Indonesia perlu mendapat perhatian karena terkait keselamatan pasien. Dokter WNA harus mengikuti adaptasi dan penilaian kelayakan praktik (Pasal 234).
Namun, Pasal 235 berbunyi: ”(1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234, bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri: a) telah praktik sebagai spesialis atau subspesialis paling sedikit 5 (lima) tahun di luar negeri; atau b) merupakan ahli dalam suatu bidang unggulan tertentu dalam pelayanan kesehatan yang dibuktikan dengan sertifikasi kompetensi dan telah praktik paling sedikit 5 (lima) tahun di luar negeri, yang akan didayagunakan di Indonesia, dilakukan evaluasi kompetensi melalui penilaian portofolio”.
Pengecualian ini seharusnya tak perlu ada karena lamanya praktik seorang dokter, termasuk dokter asing, baik lima tahun maupun 10 tahun, tidak sama sekali bisa menjamin mereka layak praktik dan ahli dalam bidangnya.
Evaluasi kompetensi secara cermat terhadap dokter WNI lulusan luar negeri ataupun dokter WNA yang telah berlangsung selama ini penting tetap dilakukan dan ditingkatkan untuk memastikan kelayakannya untuk berpraktik di Indonesia.
Ada lagi bunyi Pasal 236 Ayat 1a: ”Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan WNA dapat melakukan praktik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia dalam rangka investasi atau non-investasi, dengan ketentuan: terdapat permintaan dari pengguna Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing”.
”Pengguna” dapat ditafsirkan bahwa siapa pun, baik institusi maupun perseorangan, bisa mendatangkan dokter asing. Apa memang demikian? Bukankah ini suatu bentuk liberalisasi pelayanan kesehatan? Perlu diingat juga, investasi asing di bidang kesehatan dan masuknya tenaga kesehatan dapat berpengaruh terhadap kedaulatan negara.
Masih banyak lagi substansi UU Kesehatan omnibus yang perlu dicermati dan diperbaiki.
Sukman Tulus Putra Spesialis Anak, Ketua Perhimpunan Kardiologi Anak Indonesia, Anggota Dewan Pertimbangan PB IDI Anggota KKI 2014-2020,