Perhatian Publik Tersedot ke Pilpres, Caleg Kian Terbebani
Waktu kampanye yang singkat membuat calon anggota DPR dan DPD harus turun bertemu dengan pemilih. Namun, keterdesakan ini dikhawatirkan membuka peluang terjadinya politik uang.
JAKARTA, KOMPAS — Memasuki masa kampanye, calon anggota legislatif harus bekerja keras untuk meraih hati dan mencuri perhatian pemilih. Mereka harus bersaing merebut perhatian publik yang kini lebih banyak tersedot dalam kompetisi antara pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah yang dihubungi pada Selasa (12/12/2023) menuturkan, perhatian publik saat ini lebih dominan pada kampanye capres dan cawapres. Pemberitaan media massa juga lebih masif pada aktivitas capres-cawapres, sementara porsi pemberitaan caleg sedikit.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
”Kampanye caleg tenggelam dalam ingar bingar kampanye dan pemberitaan capres-cawapres,” kata Hurriyah.
Baca juga : Caleg Didorong Buka Daftar Riwayat Hidup
Di sisi lain, caleg ditugaskan untuk ikut mengampanyekan calon presiden yang diusung partainya. Kondisi ini, menurut Hurriyah, membuat beban kampanye caleg semakin besar.
”Caleg harus bekerja untuk kampanye presiden, partai, dan dirinya. Kondisi ini membuat caleg membutuhkan energi lebih besar,” katanya.
Pemilu 2024 digelar serentak untuk memilih presiden-wakil presiden, anggota legislatif tingkat pusat hingga kabupaten, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Pemilu 2024 diikuti 18 partai politik ditambah enam partai politik lokal khusus di Aceh.
Hurriyah mengatakan, karena tantangan besar, maka pola kampanye harus tepat. Dia menilai pola kampanye konvensional, seperti pemasangan baliho dan spanduk, masih masif dilakukan oleh caleg, padahal dampaknya kecil. Terlebih pada alat peraga kampanye yang umumnya hanya menampilkan wajah caleg, nama partai, dan nomor urut. Nyaris tidak ada caleg yang menampilkan gagasan pada alat peraga kampanye tersebut.
Hurriyah mengatakan, cara paling efektif untuk memperkenalkan diri dan menyampaikan gagasan kepada pemilih ialah melalui kampanye dari pintu ke pintu (door to door). ”Ketika ada interaksi langsung, warga lebih tertarik untuk mendukung,” ujarnya.
Pertemuan langsung dapat memberikan kesan positif bagi pemilih karena memiliki kesempatan untuk menyampaikan harapan sekaligus mendengarkan gagasan dari caleg atas persoalan yang mereka hadapi.
”Kalau caleg ingin dipilih, maka harus turun ke dapil untuk bertemu dengan pemilih,” imbuhnya.
Idealnya, kampanye seperti ini dilakukan jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan pemilu. Dengan demikian, dalam masa kampanye terbuka, caleg tersebut hanya merawat basis pemilih yang sudah terbangun.
Baca juga : Kala Caleg Memanfaatkan Panggung Kampanye Capres
Pengamat politik dari Voxpol Centre, Pangi Syarwi, menuturkan, selain kampanye dari pintu ke pintu, aktivitas kampanye tersebut harus dikoneksikan ke media sosial agar pencitraan sosok bersangkutan kian menguat.
Pertemuan tatap muka tidak bisa digantikan oleh baliho, spanduk, dan media sosial. ”Pertemuan tatap muka, menyapa, menyalami calon pemilih sangat penting agar pemilih kenal calon. Jangan hanya minyak goreng yang datang, tetapi orang tidak pernah datang,” kata Pangi.
Pangi menambahkan, pemilih perlu mengenali secara utuh caleg yang akan dipilih, mulai dari atribusi identitas hingga gagasan yang dibawa calon tersebut. Gagasan yang ditawarkan harus menjawab persoalan yang dihadapi warga di setiap daerah pemilihan.
Pertemuan langsung dapat memberikan kesan positif bagi pemilih karena memiliki kesempatan untuk menyampaikan harapan, sekaligus mendengarkan gagasan dari caleg atas persoalan yang mereka hadapi.
Baca juga : Parpol Selaraskan Strategi Pemenangan Caleg dan Capres
Selain kampanye tatap muka, menurut Pangi, para caleg harus memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan gagasan dan memperkuat citra. ”Apa yang dilakukan secara offline dikoneksikan ke media sosial agar dampaknya lebih luas,” katanya.
Dihubungi terpisah, peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, mengatakan, pelaksanaan pemilu serentak membuat publik tidak antusias terhadap pemilihan DPR dan DPD. Firman khawatir, saat hari pencoblosan, warga belum menentukan pilihan pada calon DPR dan DPD.
”Masuk bilik suara terus blank (kosong), tidak tahu mau mencoblos siapa dan akhirnya dipilih caleg yang tidak mereka kenal secara mendalam,” ujar Firman.
Firman menilai, publik lebih antusias mengikuti kampanye pilpres karena presiden masih menjadi tempat publik meletakkan harapan. Sementara DPR yang telanjur memiliki citra miring dianggap bukan tempat menitipkan masa depan.
Dalam kondisi seperti ini, partai politik dan caleg harus turun ke kantong-kantong suara untuk memperkenalkan caleg dan program partai. ”Program harus membumi sesuai dengan kebutuhan warga di dapil,” lanjutnya.
Tantangan berat juga akan dihadapi calon anggota DPD. Tanpa dibantu mesin partai dan wilayah kampanye yang lebih luas, kampanye calon anggota DPD semakin tenggelam.
Firman menuturkan, masa kampanye terbuka singkat. Dia khawatir, dalam keadaan terdesak, para kontestan akan menggunakan cara ilegal untuk memperoleh kemenangan. Cara ilegal tersebut, salah satunya, ialah dengan politik transaksional dan politik uang.