Menpan-RB Anas: Integrasi Layanan Digital untuk Layanan Publik Cepat dan Bersih
Negara dengan indeks pembangunan e-government terbaik memiliki Indeks Persepsi Korupsi, tingkat kemudahan berusaha, dan Indeks Penegakan Hukum yang baik.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah berusaha mengakselerasikan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik atau SPBE melalui integrasi dan keterpaduan layanan digital. Dengan adanya SPBE, diharapkan layanan publik yang cepat, bersih, transparan, dan bebas korupsi dapat tercipta.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas saat hadir dalam perayaan Hari Antikorupsi Sedunia di Jakarta, Selasa (12/12/2023), mengatakan, terdapat 27.000 aplikasi digital di seluruh kementerian, lembaga pada instansi pusat dan pemerintah daerah.
”Sayangnya mayoritas aplikasi digital tersebut tidak terintegrasi alias bekerja sendiri-sendiri, bahkan banyak yang tumpang tindih dan duplikasi. Dalam setiap aplikasi, masyarakat harus membuat akun dan mengisi banyak data untuk akses layanan. Semakin banyak aplikasi semakin rumit,” katanya.
Oleh karena itu, pemerintah berencana menggabungkan semua aplikasi dalam portal layanan yang terintegrasi. Sejak 2018, Indonesia telah meluncurkan kebijakan mengenai SPBE yang bertujuan untuk mendorong keterpaduan dan efisiensi penyampaian pelayanan berbasis digital.
Upaya mengintegrasikan portal layanan digital terintegrasi itu, menurut Anas, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk membuat sistem birokrasi yang mampu berdampak langsung kepada masyarakat dan ditopang oleh kebijakan yang mendukung pemberantasan korupsi.
Selain itu, implementasi SPBE juga terinspirasi dari praktik-praktik yang dilakukan oleh negara-negara lain. Anas menyebutkan, sebanyak 20 negara dengan indeks pembangunan e-government terbaik memiliki Indeks Persepsi Korupsi, tingkat kemudahan berusaha, dan indeks penegakan hukum yang baik. Denmark, misalnya, mempunyai indeks pembangunan berbasis digital dengan angka tertinggi, yaitu 0,97. Peringkat Denmark diikuti Finlandia (0,95), Korea Selatan (0,95), Selandia Baru (0,94), dan Swedia (0,94).
Keberhasilan Denmark membangun sistem pemerintahan berbasis digital diikuti dengan pencapaian menempati peringkat tertinggi pada Indeks Persepsi Korupsi (nilai 0,97), tingkat kemudahan berusaha (85), dan penegakan hukum (0,90). Anas menyebutkan, sejumlah negara maju juga telah mengintegrasikan portal layanan digital mereka. Inggris, misalnya, sukses menggabungkan 2.000 website menjadi satu portal Gov.UK. Penyusunan strategi dan kebijakan digital negara ini berada di bawah lembaga Central Digital and Data Office (CDDO). Sementara untuk pengembangan dan implementasinya di bawah lembaga Government Digital Cervice (GDC).
Sementara di Estonia, sebanyak 99 persen layanan publik dikelola secara digital. Hal ini sukses meningkatkan PDB per kapita sebanyak 10 kali lipat dalam 20 tahun terakhir, dari PDB per kapita 2.800 menjadi 28.000 dollar Amerika Serikat.
”Di Indonesia, layanan masyarakat masih sektoral. Kalau mau mengurus kesehatan harus masuk ke laman Kementerian Kesehatan, kalau mau mengurus bantuan sosial harus masuk ke Kementerian Sosial. Kalau di Inggris semua sudah menjadi satu halaman, baik untuk mendapatkan bantuan sosial, asuransi, hingga mencari pekerjaan. Jadi ini memudahkan masyarakat,” ujarnya.
Oleh karena itu, Anas berharap, ke depannya integrasi layanan masyarakat dapat dilakukan. Integrasi ini, menurut Anas, dapat menciptakan layanan publik yang cepat, bersih, transparan, dan bebas korupsi.
Meski mempunyai tujuan yang baik, sejumlah analis menilai bahwa keberadaan SPBE belum mampu menekan angka korupsi. Hal itu disebabkan karena integritas pada pemangku kebijakan yang buruk, penindakan tindak pidana korupsi yang lemah, dan terdapat sejumlah celah dalam SPBE.
”Sebenarnya inovasi digital itu bagus, tetapi harus didukung integritas manusianya. Inovasi bisa membuat efisien, efektif, transparan dan akuntabel selama tidak direkayasa dan ada keberanian menolak atas intervensi baik atasan atau politik,” kata Koordinator Indonesia Corruption Watch Agus Sunaryanto.
Ia menyebutkan, masih banyak celah dalam sistem pengadaan secara elektronik. Misalnya, dalam pelaksanaan tender sering ada rekayasa pemenang dengan menyuap operator. ”Sekali lagi sistem ini pada dasarnya bagus, tapi sering kali di intervensi atau digoda dengan uang. Jadi, pekerjaaan rumahnya adalah bagaimana memastikan integritas, siapa yang melindungi jika ada intervensi,” katanya.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, mengatakan, memberantas korupsi harus disertai dengan penegakan hukum. ”Modus-modus korupsi itu beragam. Sistem data di Indonesia memang bisa mendeteksi perilaku koruptif. Namun, kalau sudah dideteksi tetapi tidak ditindaklanjuti, ya, sama saja,” ujarnya.
Trubus mengatakan, perilaku pejabat yang koruptif disebabkan oleh moral dan integritas yang rendah, terdapat celah korupsi, serta adanya manipulasi aturan. Untuk mengatasi hal ini, perlu ada pengawasan dan penegakan aturan tegas.
Hanya, meskipun sudah banyak lembaga pengawas pemerintahan, kasus-kasus korupsi masih terjadi. Ia mencontohkan, sistem pengadaan barang dan jasa melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) sudah berjalan secara digital. Tetapi, kenyataannya tetap banyak kasus korupsi karena anggaran yang digelembungkan, serta terdapat kerja sama pihak luar dengan pejabat pemerintah.
”Ujung-ujungnya, keamanan digital dimanipulasi, sistem bocor. Jadi, itu kembali kepada kualitas manusia dan bagaimana penegakan aturan. Penegakan aturan yang lemah membuat banyak pejabat terjerat kasus korupsi,” katanya.