logo Kompas.id
Politik & HukumKetika Demokrasi dan Politik...
Iklan

Ketika Demokrasi dan Politik Dinasti Jadi Sorotan di Bulaksumur

Sejumlah isu menjadi sorotan dalam diskusi dan mimbar bebas yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa UGM. Keresahan soal kemunduran demokrasi dan politik dinasti pun mengemuka.

Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
· 4 menit baca
Suasana diskusi dan mimbar bebas yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Gadjah Mada bersama Serikat Merdeka Sejahtera di Bundaran Kampus UGM, Bulaksumur, Yogyakarta, Jumat (8/12/2023) sore.
KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG

Suasana diskusi dan mimbar bebas yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Gadjah Mada bersama Serikat Merdeka Sejahtera di Bundaran Kampus UGM, Bulaksumur, Yogyakarta, Jumat (8/12/2023) sore.

Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Gadjah Mada bersama Serikat Merdeka Sejahtera menggelar diskusi dan mimbar bebas di Bundaran Kampus UGM, Bulaksumur, Yogyakarta, Jumat (8/12/2023) sore. Sejumlah isu menjadi sorotan, mulai dari gejala kemunduran demokrasi hingga politik dinasti.

Diskusi dan mimbar bebas itu mengambil tema ”Rezim Monarki Sang Alumni: Amblesnya Demokrasi, Ambruknya Konstitusi, dan Kokohnya Politik Dinasti”. Hadir sebagai pemantik diskusi, pakar hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar; aktivis hak asasi manusia, Fatia Maulidiyanti; dan salah satu pendiri Lokataru Foundation, Haris Azhar.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Fatia, yang pertama berbicara, mengungkapkan, kemunduran demokrasi bukan baru terjadi ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan tentang syarat usia calon presiden-wakil presiden. Putusan itu membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, untuk maju sebagai calon wakil presiden dalam kontestasi Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024.

Bagi Fatia, yang selama beberapa tahun bekerja di bidang hak asasi manusia (HAM), gejala kemunduran demokrasi telah terjadi selama 10 tahun terakhir. Hal tersebut terlihat dari sejumlah hal, di antaranya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tindakan represif aparat dalam sejumlah demonstrasi, seperti saat aksi ”Reformasi Dikorupsi” pada 2019, pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja, dan pengesahan Rancangan Undang-Undang KUHP.

Sebuah mural bertema demokrasi menghiasi tembok Kantor Komisi Pemilihan Umum Kota Surakarta, Jawa Tengah, 13 Oktober 2017.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Sebuah mural bertema demokrasi menghiasi tembok Kantor Komisi Pemilihan Umum Kota Surakarta, Jawa Tengah, 13 Oktober 2017.

Padahal, Fatia mengatakan, awalnya, kemunculan Jokowi pada Pilpres 2014 membawa harapan baru. Jokowi berasal dari warga sipil dan tidak punya rekam jejak buruk. Jokowi juga membawa gagasan Nawacita, yang salah satunya mengusung penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM. ”Namun, pada akhirnya semua harapan itu gugur,” ucapnya.

Menurut Fatia, saat ini masyarakat seolah takut berpendapat. Padahal, menyuarakan pendapat menjadi hal penting dalam negara demokrasi. ”Kalau kita diam, kita berkontribusi juga pada kemunduran demokrasi,” kata mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) ini.

Baca Juga: Menyelamatkan Demokrasi

Sementara itu, Zainal yang mendapat giliran berikutnya mengungkapkan, sejumlah permasalahan yang muncul saat ini bukanlah sepenuhnya kesalahan Presiden Jokowi, melainkan ada andil partai-partai yang mendukungnya. Pasalnya, fungsi pengawasan terhadap Presiden tidak dilakukan di DPR.

”Kita membuat sistemnya seperti itu, sistem presidensial. Ada Presiden dan ada pengawasan oleh DPR. Kesalahan yang dilakukan DPR itu adalah karena pembiaran oleh partai-partai. Kesalahan ini adalah kesalahan karena ketiadaan pengawasan,” papar Zainal.

Kompleks DPR-MPR, Senayan, Jakarta.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Kompleks DPR-MPR, Senayan, Jakarta.

Dia menyebut, kondisi itulah yang mendorong sejumlah masalah terjadi, salah satunya terkait politik dinasti yang kini jadi polemik publik. ”Maka, kritik kita hari ini, menurut saya, separuh kita bebankan kepada Jokowi, separuh harus kita bebankan kepada partai-partai pendukung Jokowi. Tidak bisa kita katakan hanya kesalahan Jokowi 100 persen,” tuturnya.

Karena itu, Zainal mengatakan, ”sanksi” yang dapat dijatuhkan adalah dengan cara tidak memilih pihak-pihak seperti itu dalam pemilu. ”Tidak ada orang bisa ditangkap karena (ikut) pemilu. Tidak ada orang yang boleh dipenjarakan karena dia mengkritisi dengan menggunakan surat suara,” ujarnya.

Iklan

Lebih jauh, dia menyatakan, pemilih bisa memilih calon-calon atau partai yang sesuai preferensi masing-masing. Namun, jangan mencari sosok yang sempurna karena demokrasi memang tidak dirancang untuk menawarkan sosok seperti itu. ”Demokrasi hanya bisa menawarkan lesser evil. Orang yang kira-kira paling kecil derajat keburukannya,” katanya.

Politik dinasti itu sudah hidup lama dan mengokupasi kehidupan masyarakat.

Dia mencontohkan, ”Kalau Anda aktivis perempuan, jangan pilih partai yang menyakiti perempuan. Kalau Anda aktivis antikorupsi, jangan pilih partai yang paling banyak kasus korupsinya. Kalau Anda aktivis lingkungan, jangan pilih partai yang berandil dalam kerusakan lingkungan.”

Adapun Haris Azhar menyoroti lebih jauh perihal politik dinasti. Menurut dia, politik dinasti itu sudah hidup lama dan mengokupasi kehidupan masyarakat. Hal itu seperti yang terjadi di banyak daerah di Indonesia.

”Ini semua terjadi karena memang masyarakat kita memaklumkan, bahkan mungkin juga menikmati dinasti-dinasti lokal tadi, misalnya melalui bantuan-bantuan sosial,” kata Haris.

https://cdn-assetd.kompas.id/QEfznBr_cuy9VMMyaxjzidqpy2s=/1024x904/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F19%2F18068ed4-2aec-4775-97f2-1bfdf61737e1_png.png

Dia pun mengajak peserta diskusi untuk berimajinasi, seandainya sistem dinasti yang bekerja, kekuasaannya akan berbasis kekerabatan. Dengan demikian, urusan-urusan juga harus diselesaikan dengan pendekatan kekerabatan.

”Apa prosedur hukum jalan? Administrasi jalan? Logika bisnis yang harusnya orang bisa berdagang dengan gampang dan murah itu jalan? Belum tentu,” ujarnya.

Baca Juga: Seruan Berani Bersuara untuk Melawan Politik Dinasti

Pada akhir diskusi, Ketua BEM UGM Gielbran Muhammad Noor bahkan menyampaikan satire atas kondisi ini dengan menobatkan Jokowi sebagai ”alumnus UGM paling memalukan”. Satire itu juga ditunjukkan BEM UGM melalui sebuah baliho yang dipasang di Bundaran UGM.

Ketika diwawancarai wartawan di luar diskusi, Gielbran mengatakan, satire itu sebagai wujud kekecewaan mereka sebagai mahasiswa UGM. ”Sudah hampir dua periode Pak Jokowi memimpin, tapi pada kenyataannya masih banyak sekali permasalahan fundamental yang sampai sekarang belum tuntas terselesaikan. Padahal, beliau punya cukup banyak waktu untuk menyelesaikan masalah itu,” tutur Gielbran.

Mural tentang kebebasan berpendapat tergambar di sebuah dinding di kawasan Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (16/6/2021).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Mural tentang kebebasan berpendapat tergambar di sebuah dinding di kawasan Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (16/6/2021).

Di antara yang menjadi keresahan BEM UGM, ungkap Gielbran, adalah maraknya kasus korupsi, Undang-Undang ITE yang berdampak pada kebebasan berpendapat, dan konstitusi yang ambruk di MK. ”Belum lagi bicara dinasti politik beliau yang terpampang secara vulgar di depan mata kita,” katanya.

Terkait polemik politik dinasti ini, Presiden Jokowi sebelumnya telah memberikan tanggapan. Tanggapan Presiden dilontarkan saat ditanya wartawan perihal itu pada 24 Oktober 2023, seperti yang juga ditayangkan Kompas TV.

”Itu, kan, masyarakat yang menilai. Dan, dalam pemilihan pun, baik itu di pilkada, pemilihan wali kota, pemilihan bupati, pemilihan gubernur, pemilihan presiden, itu semuanya yang memilih rakyat, yang menentukan itu rakyat, yang mencoblos itu juga rakyat, bukan kita, bukan elite, bukan partai. Ya, itulah demokrasi,” ujar Presiden.

Baca Juga: Wajah Demokrasi di Tahun Politik

Editor:
SIWI YUNITA CAHYANINGRUM
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000