Seruan Berani Bersuara untuk Melawan Politik Dinasti
Dinasti politik bukan soal keluarga semata. Dinasti mengacu pada cara berpolitik zaman dinasti di mana kekuasaan diberikan secara turun temurun bukan atas dasar kapasitas.
Putusan Mahkamah Konstitusi terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden dinilai publik telah membuka ruang bagi politik dinasti. Drama mencapai puncaknya tatkala Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, menjadi cawapres. Publik pertama-tama harus berani bersuara melawan politik dinasti guna menyelamatkan bangsa ini dari resesi demokrasi.
Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, dalam diskusi ”Menyelamatkan Demokrasi dari Cengkeraman Oligarki dan Dinasti Politik”, di Jakarta, Selasa (14/11/2023), mengatakan, dalam situasi sekarang ini, publik harus berani bersuara jika masih memiliki akal sehat dan nurani. Orang-orang terdidik dan yang memiliki nurani tidak bisa hanya diam.
”Demokrasi, soal akuntabilitas. Semua ‘bangunan’ negara harus dikembalikan kepada fakta seharusnya di mana lembaga negara bertanggung jawab kepada warga,” kata Bivitri dalam diskusi yang dihadiri sejumlah akademisi, aktivis, dan budayawan tersebut.
Ia juga menekankan terkait dinasti politik bahwa dinasti politik bukan soal keluarga. Dinasti mengacu pada cara berpolitik zaman dinasti di mana kekuasaan diberikan secara turun-temurun, bukan atas dasar kapasitas.
Dalam situasi sekarang ini, publik harus berani bersuara jika masih memiliki akal sehat dan nurani. Orang-orang terdidik dan yang memiliki nurani tidak bisa hanya diam.
Oleh sebab itu, menurut Bivitri, demokrasi perlu diselamatkan. Caranya, dalam jangka panjang hendaknya tidak ada lagi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Sebab, hal itu bisa membuat sistem politik berpusat pada elite. Selain itu, perlu ada aturan jelas soal benturan kepentingan dan perombakan partai politik.
”Tapi, awalnya harus berani bersuara dulu,” tutur Bivitri.
Pakar politik Ikrar Nusa Bhakti menuturkan, salah satu hal yang penting cara menyelamatkan demokrasi Indonesia adalah masyarakat memilih sesuai hati nurani pada hari pencoblosan. Masyarakat juga harus sadar bahwa dinasti politik berbahaya.
”Itu akan menimbulkan preseden baru bahwa seakan-akan dinasti politik merupakan persoalan biasa. Padahal, dinasti mematikan kesempatan anak-anak muda lain untuk bisa berperan dalam politik,” ujar Ikrar.
Ikrar menuturkan, keistimewaan yang diberikan partai-partai politik kepada anak Presiden, menurutnya, akan menutup jalan bagi anak muda untuk bisa berkarya di partai-partai politik dari bawah. Terutama, mereka yang tidak memiliki payung kekuasaan.
”Yang namanya dinasti politik itu tidak ada pikirannya untuk bangsa dan negara. Yang ada adalah untuk keluarga dan kelompoknya. Jika begitu bukan mustahil keuangan negara akan habis untuk mempertahankan kekuasaan mereka,” tuturnya.
Politik dinasti merupakan tragedi bagi demokrasi Indonesia. Hal itu suatu pemutarbalikan arah demokrasi yang sebetulnya tinggal dua tiga langkah lagi, bangsa ini akan mencapai demokrasi yang matang. Ikrar menilai, Presiden membelokkan arah demokrasi. Bahkan, sepertinya tidak peduli dengan demokrasi.
Jalan lainnya untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia adalah memperbaiki kekurangan dalam perundang-undangan dan sistem pemilu. Contohnya, harus ada undang-undang (UU) yang mengatakan bahwa ketika seseorang menjabat presiden, anaknya tidak boleh dicalonkan menjadi presiden. Hal tersebut juga agar presiden tidak menggunakan kekuasaannya untuk mempertahankan kekuasaan.
Aturan ”lame duck”
Pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar menilai, terjadi penurunan tingkat ”keimanan” Presiden Joko Widodo terhadap demokrasi. Bahkan, penurunannya dinilai sangat dahsyat. Presiden juga dinilai menghancurkan lembaga kekuasaan kehakiman, yakni Mahkamah Konstitusi (MK).
Jika demokrasi diterjemahkan sebagai elite, ini saatnya elite yang melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang berbahaya hendaknya mencoba bersatu. Beberapa tahun lalu mustahil para elite bersatu karena Presiden Joko Widodo memegang 81 persen koalisi.
Namun, sekarang konstelasi berubah, kekuatan hampir berimbang. Dalam kondisi saat ini harusnya momentum bagi kekuatan politik mendorong pengaturan ulang dan mendorong presiden harus dibatasi. Sebab, kemungkinan presiden akan menggunakan politik anggaran, misalnya kemungkinan dengan membagikan bantuan langsung tunai (BLT).
”Presiden bisa cawe-cawe dalam pemilu kali ini karena sama sekali tidak ada aturan lame duck (bebek pincang) di Indonesia, yang membuat Presiden sedang dalam kondisi ‘bebek pincang’. Karena menjelang akhir masa jabatannya, Presiden harusnya menjadi ‘bebek pincang', enggak bisa ngapa-ngapain. Di sejumlah negara ada aturan itu supaya Presiden tidak cawe-cawe,” ungkap Zainal.
Publik juga harus mengagregasi kesadaran memberikan ”hukuman”. Bentuknya, jangan memilih orang yang mengedepankan politik dinasti ataupun oligarki. Ke depan, bagaimana mendorong kesadaran publik terhadap hal tersebut.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menuturkan, demokrasi perlu diselamatkan karena demokrasi politik (kebebasan politik) dan demokrasi ekonomi (keadilan sosial) mengalami resesi. Dua dekade setelah pemilihan penting tahun 1999, demokrasi Indonesia disebut-sebut mengalamai kemunduran.
Hal tersebut tecermin dari mobilisasi populisme, perkembangan intoleransi, dan semakin menguatnya sektarianisme. Kemudian, semakin tidak berfungsinya lembaga pemilihan dan lembaga perwakilan. Selain itu, terjadi kemerosotan kebebasan sipil, perluasan alat-alat otoriter oleh eksekutif untuk menekan oposisi dan membatasi kritik.
Di akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo untuk periode pertama tahun 2019, kehidupan demokrasi Indonesia telah tenggelam ke titik terendah sejak akhir Orde Baru. Hal tersebut terjadi karena ada regresi demokrasi dari atas yang tecermin dari praktik-praktik represif oleh alat-alat negara untuk menekan dan membatasi kritik.
Kemudian, pengaruh pemerintah pusat atas pemerintah daerah semakin kuat. Selain itu, terjadi penurunan kualitas partai politik di Indonesia. Regresi demokrasi dari atas juga tecermin dari kepemilikan media didominasi elite politik-bisnis yang memiliki hubungan dengan pemerintah. Tidak hanya itu, kekurangan supremasi hukum yang sudah lama ada diperburuk dengan politisasi kasus pidana dan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Regresi demokrasi juga terjadi dari bawah. Hal itu tecermin dari polarisasi masyarakat sipil di Indonesia dan sikap afirmatif penerapan taktik otoriter oleh negara terhadap saingan ideologi mereka.
Usman menuturkan lebih lanjut, kartelisasi dan oligarkisasi menjadi penyebab resesi demokrasi. Proses demokrasi mengubah politik Indonesia, tetapi belum mengubah oligarki yang berjalan dengan struktur formal politik demokrasi elektoral yang minimalis. Indonesia masih didominasi sistem hubungan kekuasaan yang memungkinkan pemusatan kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektifnya.
Berdasarkan Democracy Index 2022, kinerja demokrasi Indonesia bergerak stagnan pada 2022 dan 2021 dengan skor 6,71 poin. Tetapi, Indonesia turun ke peringkat 54 di dunia. Dari lima indikator, skor tertinggi ada di proses pemilu dan pluralisme (7,92 poin), lalu fungsi pemerintahan (7,86 poin), partisipasi politik (7,22 poin), dan kebebasan sipil (6,18 poin). Skor terendah ada di budaya politik (4,38 poin).
Langkah awal yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan demokrasi adalah sampaikan kebenaran. Semua kalangan hendaknya menyelamatkan bangsa ini dari resesi demokrasi. Apalagi, pada Pemilu 2024 dengan seluruh gejalanya, berpotensi besar akan terjadi pemilu tidak jujur dan tidak adil.
Baca juga: Evolusi Dinasti Politik dan Pemilu 2024
”Suarakan fenomena-fenomena politik seluas-luasnya, misalnya di masyarakat sipil untuk membangunkan kekuatan masyarkaat sipil melawan kemunduran ini,” kata Usman.
Selain itu, memperkuat pemerintahan daerah, memulihkan kepercayaan penegak hukum, dan memperkuat independensi media. Kemudian, memperkuat tindakan kolektif di kalangan gerakan masyaralat sipil menghadapi menyempitnya ruang untuk protes dan kritis.