Pemerintah, MK, KPK, dan Penanganan Perkara Korupsi Sipil dan Militer
Kewenangan KPK untuk menyidik dan menuntut kasus korupsi koneksitas perlu diperjelas di dalam UU KPK dan KUHAP.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
Seorang advokat memohon Mahkamah Konstitusi untuk menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang untuk menyelidiki, menyidik, dan menuntut perkara korupsi yang pelakunya melibatkan warga sipil dan prajurit TNI. Namun, pemerintah meminta MK menolak permohonan uji materi terhadap UU KPK itu.
Permintaan penegasan kewenangan KPK untuk menangani perkara korupsi koneksitas tersebut diajukan oleh advokat Gugum Ridho Putra. Ia menguji Pasal 42 UU KPK terkait kewenangan KPK untuk mengoordinasikan dan mengendalikan penanganan korupsi, serta sejumlah pasal di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam persidangan MK, Rabu (6/12/2023), keterangan dari pemerintah terkait permohonan uji materi itu didengar oleh hakim konstitusi. Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Dahana Putra hadir memberikan keterangan. Sidang sedianya dilakukan untuk mendengarkan keterangan pemerintah dan DPR, tetapi pihak DPR tidak hadir.
Dalam keterangannya, Dahana menyampaikan KUHAP dan UU Peradilan Militer disebutkan menegaskan kewenangan itu ada pada jaksa dan jaksa tinggi serta oditur militer dan oditur militer tinggi yang terwadahi dalam tim gabungan tetap yang dibentuk oleh Menteri Kehakiman (Menteri Hukum dan HAM) dan Menteri Pertahanan.
Dalam keterangannya, Dahana mengungkapkan bahwa saat ini sudah ada Jaksa Agung Muda Militer yang berfungsi sebagai jembatan penghubung antara Jaksa Agung dengan Panglima TNI dalam meningkatkan koordinasi dalam penanganan tindak pidana militer dan perkara koneksitas. Keberadaannya juga untuk melengkapi keterbatasan relasi fungsional antara oditurat dengan kejaksaan sebagai implementasi penanggung jawab teknis penuntutan.
Ketua KPK Firli Bahuri dan Danpuspom TNI Marsekal Muda Agung Handoko menyampaikan keterangan pers di Mabes TNI, Jakarta, Senin (31/7/2023).
Pangkal permohonan
Permohonan uji materi UU KPK dan KUHAP diajukan atas penilaian bahwa KPK tidak profesional saat menangani perkara korupsi yang melibatkan pelaku warga sipil dan anggota TNI. Pemohon mencontohkan kasus terakhir yaitu dugaan keterlibatan Kepala Badan SAR Nasional yang berstatus anggota TNI aktif, Marsekal Madya Henri Alfiandi, dalam kasus dugaan korupsi yang berujung pada permintaan maaf pimpinan KPK kepada Pusat Polisi Militer (Puspom) Mabes TNI.
Selain itu, pemohon juga mencermati penanganan perkara korupsi yang mengandung koneksitas seperti dalam pembelian helikopter AW 101 tahun 2016-2017 dan dugaan korupsi yang melibatkan Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) tahun 2017.
”Semua perkara tersebut lebih condong mengedepankan penghukuman kepada pelaku dari kalangan sipil saja, padahal ketentuan Pasal 27 Ayat (1) telah menegaskan ’Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya’,” kata pemohon.
Ketidakprofesionalan KPK tersebut diyakini akibat ketidakjelasan norma yang mengatur penyidikan dan penuntutan tindak pidana koneksitas yang minus penegasan bahwa KPK turut berwenang untuk mempergunakan kewenangan tersebut. Ketidakjelasan tersebut menimbulkan keragu-raguan dari KPK sehingga akhirnya melepas ataupun menghentikan penyidikan dan penuntutan dalam perkara korupsi koneksitas.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sebenarnya telah mengatur secara jelas tentang pidana koneksitas di mana pengadilan umum memiliki posisi yang diutamakan untuk menyidangkan perkara yang melibatkan pelaku sipil dan militer. Pengadilan militer ditegaskan baru berwenang mengadili perkara demikian bila ada keputusan Menteri Pertahanan yang disetujui oleh Menteri Hukum dan HAM. Penyidikannya perkara koneksitas dilakukan oleh tim gabungan tetap yang terdiri dari penyidik kepolisian dan oditur militer/oditur militer tinggi.
KUHAP juga mengatur jaksa atau jaksa tinggi bersama oditur militer/oditur militer tinggi melakukan penelitian bersama untuk menentukan pengadilan mana yang akan mengadili perkara koneksitas tersebut. Jika diputuskan perkara dibawa ke pengadilan umum, jaksa yang mempersiapkan penuntutan. Sebaliknya, jika diputuskan bahwa perkara tersebut dibawa ke pengadilan militer, tugas penuntutan dilaksanakan oleh oditur atau oditur militer tinggi.
Jika tidak terjadi kesepakatan antara jaksa dan oditur militer mengenai pengadilan mana yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara itu, Jaksa Agung dan Oditur Jenderal bermusyawarah untuk membahasnya. Namun, jika musyawarah itu tak menemukan kata kesepakatan, Jaksa Agung memiliki kata akhir untuk memutuskan pengadilan yang dinilai berwenang menangani perkara itu.
Meskipun KUHAP sudah ditegaskan menjadi hukum acara pidana dalam persidangan di pengadilan tipikor, masih ada keraguan apakah ketentuan acara perkara koneksitas juga berlaku untuk KPK. Hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan sejenis dalam level yang setara yang menegaskan bahwa KPK berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan perkara koneksitas sesuai KUHAP.
Ketidakjelasan itu membuat KPK tidak dapat membentuk tim gabungan koneksitas seperti dimaksud KUHAP. ”Ketidakjelasan ketentuan-ketentuan norma tentang perkara koneksitas bagi KPK berpotensi memunculkan kesewenang-wenangan dalam penanganan tindak pidana korupsi yang mengandung unsur koneksitas menjadi tidak maksimal atau bahkan tidak dapat dilakukan pengusutan sama sekali oleh KPK,” kata pemohon.