Revisi UU ITE Disetujui Disahkan, Celah Kriminalisasi Masih Terbuka
Revisi UU ITE diharapkan meningkatkan penghormatan atas hak para pengguna teknologi informasi. Namun, menurut Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual, masih ada sejumlah pasal bermasalah di dalamnya.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kritik dari kelompok masyarakat sipil mengiringi persetujuan DPR untuk pengesahan revisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi undang-undang. Selain proses pembahasan dianggap tak transparan, revisi belum sepenuhnya menutup potensi kriminalisasi, terutama korban kekerasan seksual dan kekerasan berbasis jender daring (online).
Persetujuan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) itu diambil pada Rapat Paripurna DPR, di Jakarta, Selasa (5/12/2023).
Sebelum keputusan itu diambil, Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Abdul Kharis Almasyhari membacakan laporan mengenai proses pembahasan RUU ITE.
Ia menyebutkan, sejak dibentuk pada 23 April lalu, pihaknya telah membahas total 38 daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi UU ITE. Jumlah itu terdiri atas usulan yang bersifat tetap (7 DIM), usulan perubahan redaksional (7), dan usulan perubahan substansial (24) DIM. Selain itu, terdapat 16 DIM RUU usulan baru dari fraksi.
Dia memaparkan, sejumlah substansi perubahan dalam revisi kedua UU ITE, antara lain, Pasal 27 Ayat (1) mengenai kesusilaan, Ayat (3) mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik, dan Ayat (4) mengenai pemerasan atau pengancaman yang merujuk pada KUHP. Ada pula Pasal 28 Ayat (1) mengenai penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Kemudian Pasal 28 Ayat (2) mengenai penyebaran berita bohong dan menyesatkan serta perbuatan yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.
Dalam proses revisi, DPR juga telah menghadirkan para pakar hukum telekomunikasi, praktisi informasi teknologi komunikasi, dan organisasi profesi yang memiliki keterkaitan dengan Undang-undang.
”Secara keseluruhan panjang pembahasan RUU sebanyak 14 kali guna membahas seluruh substansi dan usulan baru atas pasal-pasal serta penjelasan umum,” ujarnya.
Sementara itu, untuk menyisir dan merumuskan redaksional pasal-pasal sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dan teknik pembentukan perundang-undangan, serta untuk menyinkronkan pasal-pasal tersebut, tim perumus dan sinkronisasi telah bertugas pada 14 dan 16 November 2023.
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi mengatakan, pemerintah bertanggung jawab untuk menjamin kemerdekaan pikiran dan kebebasan berpendapat yang dapat disampaikan salah satunya melalui komunikasi. Pemerintah juga bertugas memberi perlindungan pribadi serta penghormatan terhadap martabat, rasa aman, dan perlindungan.
”Untuk menjamin hak tersebut, pemerintah perlu memberikan pembatasan yang diperlukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan hak yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis,” tuturnya.
Sejumlah masalah
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disahkan pada 2008. Selanjutnya terdapat perubahan pertama melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.
Budi Arie menilai, selama delapan tahun penerapan UU ITE, terdapat kebutuhan masyarakat dan perkembangan baik nasional maupun global. Selain itu, terdapat masalah, seperti penerapan undang undang yang memberangus kemerdekaan pers dan mengancam kebebasan berpendapat.
”Undang-Undang ITE yang ada saat ini belum dapat memberikan perlindungan yang optimal bagi pengguna internet Indonesia. Ini menjadi peran pemerintah dalam membangun ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif,” katanya.
Dengan adanya revisi kedua UU ITE, ia berharap dapat meningkatkan pengakuan dan penghormatan atas hak para pengguna dalam mengoptimalkan penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi.
Menanggapi pengesahan ini, Kepala Divisi Kebebasan Berpendapat Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) Nenden Sekar Arum masih mempertanyakan proses revisi kedua UU ITE yang dilakukan tertutup.
”Concern utamanya lebih ke proses (revisi) yang tertutup. Bahkan, sampai disahkan belum dibuka isi naskahnya. Bagaimana publik bisa menilai bahwa ada perbaikan atau sebaliknya dari revisi kedua ini, kata dia.
Dalam siaran pers, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks) mengungkapkan keprihatinan terhadap proses revisi UU ITE yang tertutup. Selain itu, masih banyak pasal yang tidak menunjukkan keberpihakan pada korban kekerasan seksual dan kekerasan berbasis jender online.
Contohnya, Pasal 27 Ayat (1) yang mengandung unsur kesusilaan tidak didefinisikan dengan tegas sehingga kerap kali digunakan untuk ”mengatur tubuh perempuan” dan menginterpretasikan tubuh perempuan sebagai masalah moral.
Ellen Kusuma, satu dari tiga koordinator Kompaks mengatakan, beberapa kasus menunjukkan bahwa pasal ini sering kali diinterpretasikan secara luas dan dapat menyebabkan kriminalisasi terhadap korban kekerasan berbasis jender online, terutama dalam konteks ekspresi seksual atau pemberian dukungan kepada korban.
”Dalam konteks kekerasan seksual atau kekerasan berbasis gender online (KBGO), hal ini menciptakan kerentanan yang signifikan, seperti kriminalisasi pada korban atas dasar penafsiran yang berbeda-beda terhadap nilai moral,” katanya.
Di sisi lain, Pasal 27 Ayat (3) biasa digunakan untuk menuntut individu yang mengkritik atau menyuarakan pendapatnya secara online.
“Dalam konteks kasus-kasus kekerasan seksual ataupun KBGO, pasal ini dapat menghambat kebebasan berbicara dan mengakibatkan intimidasi terhadap korban karena sering digunakan untuk mengancam dan membungkam korban yang bersuara di media sosial,” ujar Ellen.