Ganjar Buka Peluang Asesmen Ulang Izin Usaha Pertambangan di Kaltim
Capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo, menjanjikan, ke depan, industri pertambangan atau perkebunan, seperti kelapa sawit, ramah lingkungan. Untuk ini, dibutuhkan teknologi dan sumber daya manusia yang baik.
Oleh
SUCIPTO, DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Kalimantan Timur merupakan wilayah yang kaya sumber daya alam, tetapi memiliki persoalan lingkungan hidup akibat aktivitas pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Untuk mencegah kerusakan lingkungan bertambah berat, calon presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo, membuka kemungkinan asesmen atau penilaian ulang kelayakan izin usaha pertambangan dan perkebunan di wilayah tersebut jika kelak terpilih.
Menurut Ganjar saat kampanye di Balikpapan, Kalimantan Timur, Selasa (5/12/2023), yang kerap menjadi persoalan adalah izin usaha tambang dan perkebunan yang ilegal. Usaha yang memiliki izin legal semestinya akan lebih baik dalam aspek analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), kontrol rutin, dan aspek kelayakan lainnya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Ke depan, ia berharap industri pertambangan atau ekstraktif bisa mengikuti cara-cara baru, yaitu dengan tetap menjaga keasrian lingkungan hidup. Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi dan sumber daya manusia yang baik.
”Kita mesti memilah dan memilih mana yang akan terus kita ekstraksi dan mana yang akan kita siapkan transisi energi,” tambah Ganjar.
Terkait energi, misalnya, ia mengajak seluruh pemangku kebijakan memilih energi hijau. Oleh karena itu, ketergantungan terhadap energi ekstraksi, seperti batubara, pelan-pelan harus dikurangi. Misalnya, dengan memilih listrik tenaga surya dan transportasi berbasis listrik.
Untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya transisi energi itu, menurut dia, langkah efektif yang bisa ditempuh melalui pendidikan. Edukasi itu bisa diselipkan di kurikulum pendidikan di sekolah. Anak muda pun, menurut dia, sudah menyadari pentingnya ekonomi hijau dan ekonomi biru yang lebih berkelanjutan. Selain melalui edukasi di pendidikan formal, hal itu juga bisa ditanamkan melalui tokoh masyarakat adat dan tokoh agama.
”Maka, pola sosialisasinya bisa kita lakukan dengan mencangkokkan teknologi yang riil. Contohnya, menyadarkan masyarakat bahwa energi panel surya lebih hemat atau sistem transportasi dengan baterai listrik bisa mengurangi emisi gas kaca,” katanya.
Mantan dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim sekaligus peneliti lingkungan, Pradarma Rupang, mengatakan bahwa pertambangan batubara di Kaltim juga membuat krisis air bersih di banyak lokasi. Hal itu akibat dari rusaknya anak Sungai Mahakam dan sungai lain lantaran dikeruk untuk pertambangan batubara.
Solusi atas kerusakan itu dinilai belum terlihat dalam kebijakan nyata pemerintah. Bahkan, Rupang melihat ada kemunduran pemerintah dalam menjalankan program di Kalimantan Timur.
Kita mesti memilah dan memilih mana yang akan terus kita ekstraksi dan mana yang akan kita siapkan transisi energi.
”Pemerintah memberikan kemunduran policy. Pemerintah malah menurunkan status hutan di Kalimantan Timur yang (luasnya) hampir mencapai 700.000 hektar. Itu ada yang dilepaskan status hutannya ataupun dialihkan menjadi kawasan produktif yang akan dieksploitasi,” ujar Rupang.
Menurut dia, semua calon presiden perlu menjabarkan secara jelas dan riil program kerja yang ditawarkan untuk warga di Kalimantan, khususnya Kaltim. Sebab, perizinan pertambangan dan penggalian saat ini ada di pemerintah pusat. Di samping itu, kendati industri pertambangan dan penggalian dominan dalam struktur ekonomi Kaltim, tetapi memberi persoalan lain bagi warga.
Dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor pertambangan batubara tak memberi kontribusi banyak. Hal itu terlihat dari survei Angkatan Kerja di Indonesia Februari 2022 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Sektor pertambangan dan penggalian hanya mampu menyerap 71.542 tenga kerja, lebih rendah dibanding sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang menyerap 93.832 tenaga kerja.
Penyebabnya adalah pertambangan dan penggalian merupakan industri yang padat modal. Selain itu, sektor itu juga menerapkan teknologi yang tinggi. Akibatnya, upah pekerjanya relatif tinggi, tetapi tak menyerap banyak tenaga kerja. Berbeda dengan sektor pertanian dan perkebunan yang modalnya rendah, tetapi butuh tenaga kerja banyak.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman, Samarinda, Hairul Anwar, mengatakan, kondisi tersebut menimbulkan kesenjangan. Orang yang bekerja di sektor pertambangan dan penggalian gajinya tinggi, sedangkan di sektor pertanian penghasilannya rendah.
”Meskipun produk domestik bruto Kaltim tinggi, hal itu tak mencerminkan kesejahteraan warga. Sebagian besar orang bekerja di sektor pertanian, sedangkan pendapatan terbesar ada di warga yang bekerja di sektor pertambangan dan penggalian yang jumlahnya sedikit,” katanya.