Revisi UU MK Bisa Menyandera Hakim Konstitusi
Agenda pengesahan revisi UU MK di Rapat Paripurna DPR, ditunda. Rencana revisi itu bisa menyandera hakim konstitusi.
JAKARTA,KOMPAS — Rencana Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengegolkan revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi pada rapat paripurna, hari ini (5/12/2023), kandas. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum memberikan persetujuan terhadap sebagian substansi revisi, khususnya mengenai ketentuan peralihan.
Meskipun batal disahkan Selasa ini, revisi UU MK dikhawatirkan akan tetap menyandera hakim konstitusi. Revisi sewaktu-waktu dapat berjalan, terutama jika ada kebijakan atau putusan MK yang tidak menguntungkan kepentingan politik tertentu.
Peneliti Kemitraan, Rifki Assegaf yang juga anggota Tim Percepatan Reformasi Hukum bentukan Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan, membenarkan hal tersebut. ”Mengagendakan revisi macam ini saja sudah upaya menekan agar hakim-hakim MK tidak macam-macam,” kata Rifki.
Dalam kaitannya dengan revisi ini, sejumlah anggota Tim Percepatan Reformasi Hukum meminta agar revisi UU MK dihentikan dan dilanjutkan kembali seusai pemilu. Sebab, menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, yang juga salah satu anggota Tim, Susi Dwi Harijanti, pemerintah tidak boleh mengambil kebijakan strategis di masa-masa menjelang pergantian penyelenggara negara.
Surati DPR
Mahfud MD mengungkapkan, pemerintah sudah menyurati Dewan Perwakilan Rakyat agar tidak mengesahkan terlebih dahulu draf revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dalam rapat paripurna pada 5 Desember. Sebab, masih ada substansi yang perlu dibicarakan antara pemerintah dan DPR, khususnya mengenai ketentuan peralihan (Pasal 87 huruf a dan b draf RUU MK) yang belum disetujui oleh pemerintah.
”Kita harus lihat-lihat lagi dulu, menyesuaikan dengan pedoman universal tentang hukum transisional,” kata Mahfud dalam jumpa pers di kantor Kemenko Polhukam, Senin.
Hukum transisional yang dimaksud adalah bahwa ketentuan baru, apalagi terkait dengan jabatan, apabila diberlakukan, harus menguntungkan atau sekurang-kurangnya tidak merugikan subyek yang bersangkutan.
Seperti diketahui, Pasal 87 huruf a draf RUU MK mengatur, hakim konstitusi yang telah menduduki jabatan selama lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun harus mendapatkan konfirmasi dari lembaga pengusul apabila hendak melanjutkan jabatannya hingga 10 tahun. DPR memang mengubah masa jabatan hakim konstitusi dari semula maksimal 15 tahun atau hingga pensiun pada usia 70 tahun menjadi lima tahun dan dapat diperpanjang untuk satu periode berikutnya (maksimal 10 tahun).
Baca juga: Akal-akalan Lemahkan KPK
Ketentuan peralihan tersebut akan berdampak pada tiga hakim konstitusi, yaitu Suhartoyo, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih. Mereka untuk dapat melanjutkan jabatannya harus mendapat persetujuan dari lembaga pengusul; Enny dan Saldi dari pemerintah, sementara Suhartoyo dari Mahkamah Agung.
Mahfud mengungkapkan, pemerintah tidak setuju dengan usulan yang dapat merugikan hakim yang sedang menjabat tersebut. Seharusnya ketiga hakim konstitusi tersebut tidak dikenakan ketentuan baru atau bisa menjabat sesuai dengan surat keputusan terakhir yang dikeluarkan.
”Kita usulkan agar sampai habis lima tahun atau sesuai dengan SK terakhir. Nah, kita bertahan di usul itu. Karena, berdasarkan hukum transisional, aturan peralihan itu kalau diberlakukan terhadap jabatan, itu harus yang menguntungkan atau sekurang-kurangnya tidak merugikan subyek yang bersangkutan,” kata Mahfud.
Mengenai sikap tersebut, Mahfud mengaku sudah melaporkan kepada Presiden Joko Widodo pada 4 September 2023 di sela-sela KTT ASEAN. Di hadapan menteri-menteri lain, Mahfud melaporkan perkembangan pembahasan RUU MK, di mana pemerintah dan DPR belum satu suara mengenai ketentuan peralihan.
Baca juga: Tak Masuk Prolegnas, Revisi UU MK Tahu-tahu Dibahas dalam Senyap
”Jadi, saya bertahan dengan usul pemerintah. Oleh sebab itu, kita minta sebelum dibawa ke pembahasan tingkat dua, itu dibicarakan lagi dengan pemerintah. Dan saya hari ini sudah berkoordinasi dengan Menkumham, sudah mengirimkan surat ke DPR, tadi sudah diantar dan sudah diterima oleh DPR bahwa kita minta agar itu tidak disahkan di sidang. Supaya diperhatikan usulan pemerintah,” kata Mahfud.
Ia juga menyebutkan putusan MK terakhir, yaitu putusan 81/PUU-XXI/2023 yang dibacakan 29 November 2023, yang menyebutkan dalam hal terjadi perubahan undang-undang, hal itu tidak boleh merugikan subyek yang menjadi landasan dari substansi perubahan UU tersebut. ”Sehingga saya dan Menkumham menyatakan itu belum selesai di tahap 1,” kata Mahfud.
Bukan karena pemerintah
Keterangan Mahfud tersebut berbeda dengan yang disampaikan oleh Wakil Ketua MPR Sufmi Dasco Ahmad. Menurut Dasco, pada rapat terakhir, pemerintah yang diwakili Kemenkumham dengan sembilan fraksi di DPR telah menyepakati revisi UU tentang MK. Kesepakatan tersebut mencakup Pasal 87 yang dianggap merugikan hakim MK.
Namun, lanjut Dasco, kemarin, sembilan fraksi tersebut juga bersepakat menunda rapat paripurna untuk pengambilan keputusan revisi UU MK tersebut. Kesepakatan untuk menunda tersebut bukan lantaran surat yang dikirimkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD.
Baca juga: Revisi UU MK Perlu Mengikuti Putusan MK Nomor 81
”Karena masih ada pendapat bahwa kawan-kawan fraksi minta supaya ditunda untuk menghindari berita-berita yang kurang baik, seperti yang beredar, bahwa ada maksud dari kawan-kawan DPR ini merugikan salah satu pihak, padahal tidak demikian,” ujar Dasco.
Dasco menyampaikan, pembahasan revisi UU tentang MK sudah dimulai pada Februari lalu. Sementara batas waktu penundaan rapat paripurna terhadap revisi UU tentang MK belum ditentukan karena hal itu menunggu kesepakatan sembilan fraksi.
”Yang pasti tanggal 5 Desember besok itu tidak ada paripurna revisi UU MK,” kata Dasco.
Ia menampik informasi adanya walkout oleh pemerintah pada saat pembahasan revisi UU tentang MK. Menurut dia, surat presiden telah menugaskan Kemenkumham maupun Kemenko Polhukam, baik secara bersama maupun sendiri, untuk membahasnya. Dengan demikian, ketika ada satu pihak yang izin keluar ruangan, sementara pihak lainnya masih ada di dalam, hal itu tidak dianggap sebagai walkout.
Sementara itu, juru bicara MK, Enny Nurbaningsih, menyerahkan sepenuhnya revisi UU MK tersebut kepada pembentuk undang-undang. Dalam kaitan dengan revisi UU MK, posisi MK pasif. ”Jadi, posisi MK pasif terkait proses pembentukan undang-undang MK. Tidak memberikan masukan, apa pun tidak. Terserah kepada pembentuk undang-undang,” katanya.
Hanya saja, ia mengatakan agar MK sebagai lembaga pemegang kekuasaan kehakiman harus dijaga bersama independensinya. ”Itu prinsip dasarnya,” ucapnya.
Susi mengungkapkan, revisi UU MK tidak memperhatikan asas kebutuhan dan jauh dari prinsip kehati-hatian. Apabila pemerintah dan DPR akan melakukan perubahan ataupun penggantian UU di bidang kekuasaan kehakiman, terutama MK, maka ada tradisi universal yang berlaku di sejumlah negara yang harus dijaga, yaitu melindungi kekuasaan kehakiman yang independen.
”Kita juga khawatirkan dengan ketentuan peralihan yang tidak diperbaiki sebagaimana sudah dibahas oleh DPR, justru akan meruntuhkan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini MK. Padahal, semua mengetahui bahwa MK mempunyai peran yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan sebuah negara hukum yang demokratis,” kata Susi.