Seno Gumira Ajidarma, Ketua Akademi Jakarta
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai gejala sosial politik menjelang Pemilihan Presiden 2024 mengisyaratkan adanya kehancuran nalar publik. Situasi ini jika tidak segera ditanggulangi dapat menyebabkan keruntuhan demokrasi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu Ketua Akademi Jakarta Seno Gumira Ajidarma menyampaikan hal itu, Senin (4/12/2023). Menurut dia, gejala adanya kehancuran nalar publik ditandai dengan banyaknya kebijakan yang merusak demokrasi, tetapi tidak ada rasa kritis yang muncul. ”Warga seakan memaklumi ketidakberesan tersebut,” katanya.
Agar nalar publik kembali pulih, Akademi Jakarta mendeklarasikan beberapa poin penting. Pertama, saat ini tampak adanya pengabaian terhadap prinsip-prinsip demokrasi dengan memanipulasi konstitusi. Tindakan ini merupakan praktik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, media sebagai salah satu pilar demokrasi cenderung berpihak dalam menentukan pemberitaan tentang Pemilihan Presiden 2024. Hal ini tentu telah melanggar kode etik jurnalistik.
Baca juga: Kampanye Pilpres 2024 dan Urgensi Menegakkan Etika Kampanye
ILUSTRASI-Seorang wartawan sedang menjalani vaksinasi Covid-19 di RSUD Sumsel Siti Fatimah Palembang, Minggu (14/3/2021).
Sejumlah riset berbasis kepentingan politik pun dianggap telah melanggar etika ilmu pengetahuan. Keberpihakan lembaga pemerintah kepada kontestan mana pun dengan alasan apa pun juga tidak dapat dibenarkan. Dalam prosedur demokrasi, keterbukaan finansial perlu menjadi indikator kejujuran.
Menurut Seno, pencapaian sistem politik yang demokratis adalah hasil yang lebih penting daripada kemenangan salah satu kontestan.Dengan pernyataan ini, Seno berharap rasa kritis masyarakat kembali terbangun.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Sasmito menanggapi sorotan Akademi Jakarta perihal keberpihakan media. Ia menilai, sejak 2014 hingga saat ini ada kecenderungan perusahaan media terbentur dengan konflik kepentingan lantaran pemilik media adalah partai politik atau politikus.
Baca juga: Menerka Kekuatan Tiga Pasang Kontestan
”Seharusnya politisi atau partai politik tidak boleh memiliki perusahaan media karena bisa merusak independensi media tersebut. Sayangnya dalam Undang-Undang Pers tidak ada larangan tersebut,” ujarnya.Jurnalis pun menjadi korban karena mereka harus mengikuti keinginan dari pemilik perusahaan itu. ”Hal ini tentu telah melanggar kode etik jurnalistik,” katanya.
Infografik Nomor Urut Pemilihan Presiden 2024
Agar kekeliruan ini tidak berlanjut serta untuk meminimalkan konflik kepentingan tersebut, menurut dia, perlu ada rambu yang jelas baik dari Dewan Pers maupun Komisi Pemilihan Umum. Misalnya dengan melalui Peraturan Dewan Pers atau Peraturan KPU.