Kampanye Ganjar di Kendari, Masyarakat Mengadu soal Pupuk hingga Korupsi
Calon presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo, melanjutkan kampanye hari keenam, Minggu (3/12/2023), dengan berdialog bersama tokoh agama dan masyarakat Kendari, Sulawesi Tenggara.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS, NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Setelah dua hari berkampanye di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, calon presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo, melanjutkan kampanye ke Kendari, Sulawesi Tenggara, Minggu (3/12/2023). Di Kendari, Ganjar Pranowo mendapat berbagai aduan dari warga, mulai dari persoalan pertanian dan perkebunan hingga korupsi yang mengakar di pemerintahan setempat.
Setelah tiba di Bandara Haluoleo, Kendari, Minggu (3/12/2023) sore, Ganjar langsung bertolak ke sekitaran Hotel Claro. Persis di seputaran hotel itu, puluhan tukang becak, pemulung, dan pedagang ikan telah siap menyambut calon presiden (capres) yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Perindo, dan Partai Hanura.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Namun, Ganjar hanya kurang dari 10 menit di lokasi itu. Tak lama, ia langsung berjalan cepat menuju aula Hotel Claro untuk menghadiri dialog bersama tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat.
Di sela-sela dialog, seorang petani kopi dari Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, Amirudin, menyampaikan keluhan yang dirasakan selama ini. Secara lantang ia menyampaikan, jika Ganjar terpilih menjadi Presiden, diharapkan tidak hanya fokus membangun jalan tol. Ganjar diminta fokus memberantas korupsi terutama di daerah Kendari dan Sultra yang sudah sangat meresahkan.
”Yang perlu bagi kami adalah bagaimana caranya korupsi, koruptor ini dihabisi. Karena, itu yang merugikan kami dan negara. Itu saja permintaan kami,” ujar Amirudin sambil disambut tepuk tangan dari seluruh sukarelawan dan tokoh masyarakat yang hadir.
Selain Amiruddin, Wayan Gamu (56), Ketua Kelompok Tani Merah Putih, di Desa Potuho, Konawe Selatan, mengungkapkan, bertani dan berkebun adalah mata pencarian utama sebagian besar masyarakat di wilayahnya. Namun, selama ini, mereka kesulitan untuk berkembang karena terbatas pada akses sarana dan prasarana pertanian.
”Kami (mendapatkan) pupuk susah, beli mahal. Kemarin kemarau, air juga susah. Padahal, kalau semua bagus, panen itu bisa sampai 6 ton per hektar,” kata transmigran asal Bali yang telah 42 tahun menetap di Sultra ini.
Menurut Wayan, kondisi pertanian warga semakin terdesak dengan perubahan cuaca yang semakin tidak menentu. Kondisi itu menyebabkan nasib petani semakin sulit dan terpinggirkan. Namun, kondisi ini ia anggap masih lebih baik dibandingkan dengan beberapa daerah lain yang lahan pertaniannya tergantikan pertambangan dan industri.
Nurdin, petani asal Kolaka Timur, juga berpendapat sama. Petani sulit mendapatkan pupuk dan alat pertanian. Hal tersebut mengakibatkan hasil pertanian tidak bisa maksimal seperti petani di daerah lainnya.
Hasil kajian dari laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Halu Oleo (UHO) menunjukkan, peranan sektor pertanian dan perkebunan terhadap postur ekonomi Sultra terus turun selama 2010-2021. Pada 2010 kontribusi sektor ini mencapai 28,39 persen. Namun, angka ini terus turun setiap tahun sehingga menjadi 22,87 persen pada 2021.
Sementara itu, peranan sektor industri pengolahan terus melambung. Selama 2010-2021, kontribusi industri pengolahan menunjukkan angka rata-rata 6,40 persen. Angka per tahun terus tumbuh stabil hingga 7,09 persen di 2021.
Sebelumnya, Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi UHO Syamsir Nur menjelaskan, tumbuh signifikannya industri pengolahan nikel tidak diimbangi dengan peningkatan sektor utama daerah. Selama puluhan tahun, sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan merupakan tulang punggung utama masyarakat. Petani dan nelayan mengandalkan sektor ini untuk bertahan hidup.
Kondisi ini, menurut Syamsir, terjadi karena banyak faktor, mulai dari alih fungsi lahan pertanian, tidak produktifnya tanaman dan lahan, hingga tenaga kerja yang beralih. Sayangnya, para pekerja yang beralih ini tidak terserap ke industri pengolahan karena tidak memiliki kualifikasi yang sesuai.
Oleh karena itu, kondisi ini harus diperhatikan betul oleh pemerintah daerah. Terobosan penting dilakukan agar sektor pertanian dan kelautan kembali berkembang. ”Industri pengolahan jangan hanya di mineral, tetapi juga di sektor pertanian dan kelautan. Dengan begitu, nilai tambah sektor ini bertambah dan memberi peluang yang lebih baik untuk masyarakat luas,” ucapnya.
Memperbaiki sistem
Dalam dialog bersama tokoh masyarakat, Ganjar mengaku senang karena masyarakat menyuarakan dengan lantang keresahan soal korupsi di pemerintahan. Menurut dia, jika ingin menghabisi koruptor, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus diperkuat.
”Itu artinya KPK mesti dikuatkan. Itu artinya sistem mesti diperbaiki, dan itu artinya kontrol masyarakat juga harus terus berjalan,” kata Ganjar.
Jika korupsi bisa diberantas, keuntungannya akan dirasakan oleh masyarakat. Selain itu, pengusaha akan senang berinvestasi di daerah, dan daerah tersebut akan tumbuh.
Untuk persoalan pertanian, Ganjar menyampaikan, setidaknya dari hasil dialognya dengan sejumlah tokoh masyarakat di beberapa daerah, ada beberapa keluhan, mulai dari kesulitan pupuk hingga kekurangan penyuluh pertanian.
Ia menegaskan, yang mesti disiapkan saat ini memang adalah pabrik pupuk. Dengan demikian, kebutuhan petani akan terpenuhi. Kemudian, perlu disiapkan juga para penyuluh yang hebat sehingga mereka bisa mengajari para petani untuk terus berkembang.
Ganjar pun menanggapi pertanyaan wartawan soal sektor pertanian di Sultra yang terus turun selama 10 tahun terakhir akibat terdesak industri dan pertambangan. Menurut dia, solusinya adalah kembali pada undang-undang. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, lahan pertanian mesti dijaga ketat.
Namun, sayangnya, seringkali banyak godaan muncul, seperti suap, sehingga orang akan mengambil lahan-lahan yang sebenanrya secara patok atau regulasi tidak boleh diambil. Selain itu, terkadang ada tekanan-tekanan kepada pemerintahannya.
”Di sini butuh pemimpin-pemimpin yang punya strong leadership, dia berani dan menjaga integritas. Kalau enggak, pasti akan tergoda. Jika industri dan pertambangan tetap mengambil wilayah pertanian, ya ditindak. Kalau sudah begitu, harus ada tindakan. Kan, itu cerita penegakan karena sudah ada aturannya. Harus ada penegakan hukum. Dan hukumnya mesti berani untuk menindak itu semua,” tutur Ganjar.