Hak Interpelasi Dapat Menepis Prasangka pada Penanganan Kasus Setya Novanto
Hak interpelasi bisa menunjukkan sejauh mana keterlibatan Presiden dalam kasus KTP elektronik. Dengan demikian, hal itu dapat menepis berbagai prasangka di masyarakat.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan akademisi hukum dan aktivis pemberantasan korupsi memandang dibutuhkan langkah lebih lanjut terkait pernyataan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo yang mengaku pernah diminta Presiden Joko Widodo untuk menghentikan proses hukum terhadap bekas Ketua DPR Setya Novanto. Langkah itu untuk mengetahui sejauh mana keterlibatan Presiden dalam penanganan kasus Setya.
Untuk itu, DPR dapat menggunakan hak interpelasi untuk menepis berbagai prasangka di tengah masyarakat terkait penanganan kasus Setya Novanto oleh KPK dalam kasus korupsi proyek KTP elektronik yang merugikan keuangan negara lebih dari Rp 2 triliun.
Akademisi dan peneliti hukum tata negara, Bivitri Susanti, Sabtu (2/12/2023), mengatakan, DPR dapat menggunakan hak interpelasi untuk meminta keterangan Presiden Joko Widodo berkaitan dengan penanganan kasus korupsi proyek KTP elektronik. Menurut Bivitri, lewat hak interpelasi bisa menunjukkan sejauh mana keterlibatan presiden dalam kasus KTP elektronik dan upaya pelemahan KPK.
Lewat hak interpelasi bisa menunjukkan sejauh mana keterlibatan presiden dalam kasus KTP elektronik dan upaya pelemahan KPK.
”Menurut saya bagus (hak interpelasi). Sebenarnya fungsi pengawasan DPR paling buruk setahun terakhir ini karena tidak pernah ada pengawasan kelembagaan. Jadi, kalau mau ada (hak interpelasi), itu bagus,” ujar Bivitri di Jakarta, Sabtu.
Ia mengatakan, secara teknis hak interpelasi sangat bagus karena termasuk fungsi pengawasan DPR. Dengan adanya hak interpelasi, membuat isu tentang intervensi pemerintah dalam pengusutan kasus KTP elektronik menjadi jelas. Selain itu, hak interpelasi akan membuat masyarakat mengetahui situasi yang sebenarnya terjadi di lembaga KPK.
”Sejak 2019, banyak informasi mengenai pelemahan KPK kemudian publik dibuat bingung dengan adanya isu Taliban. Harapan saya, dengan ada hak interpelasi, masyarakat jadi bisa melihat secara terang benderang bahwa pelemahan KPK sengaja dibuat. Apalagi dalam proses hak interpelasi akan ada banyak orang yang dipanggil, bukan cuma Presiden Joko Widodo, sehingga kita bisa melihat dan menyimpulkan apa yang terjadi,” ujar Bivitri.
Menurut dia, hak interpelasi dan angket selama ini sudah sering digunakan. Namun, dalam periode kedua pemerintahan Jokowi, hak interpelasi ini tidak pernah dipakai sehingga fungsi pengawasan DPR tidak berjalan maksimal.
Bivitri mengatakan, apabila hak interpelasi tidak dijalankan, ini bisa menimbulkan kesan pertarungan antara mantan Ketua KPK dan Presiden Jokowi. Apalagi, pihak istana sudah membantah pertemuan Agus Rahardjo dengan Jokowi. ”Ya, kalau mau dicek agenda presiden memang tidak ada. Dengan hak interpelasi, kita bisa membuat kronologis kejadian hingga pada akhirnya membuktikan bahwa memang ada upaya pelemahan KPK,” ujarnya.
Ia khawatir tanpa hak interpelasi, masyarakat jadi terpolarisasi antara kelompok yang mendukung Jokowi dan tidak mendukung Jokowi. Selain itu, muncul prasangka-prasangka di tengah masyarakat. Dengan adanya hak interpelasi, Bivitri berharap kasus KTP elektronik bisa menjadi terang benderang. Selain itu, KPK dapat dikembalikan fungsinya seperti semula sebelum adanya upaya pelemahan KPK melalui revisi Undang-Undang KPK.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Hukum Indonesia Muhamad Isnur pun memandang pengakuan Agus perlu diungkap mengenai kebenarannya. Jika hal itu benar, patut diduga bahwa Presiden Jokowi melakukan penghalangan penegakan hukum (obstruction of justice) terhadap penanganan kasus tindak pidana korupsi.
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa obstruction of justice adalah tindakan setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap terangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. Ini merupakan tindakan penghinaan pada pengadilan karena menghambat penegakan hukum dan merusak citra lembaga penegak hukum.
Apalagi, katanya, publik mengetahui bahwa Setya Novanto telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi berhubungan dengan kasus KTP elektronik yang merugikan negara sebanyak Rp 2 triliun. Oleh karena itu, kata Isnur, seiring dengan terbukanya kasus ini, KPK perlu segera melakukan penyidikan lebih lanjut terkait dengan dugaan keterlibatan Presiden Joko Widodo dalam korupsi KTP elektronik.
Dugaan adanya intervensi Presiden dalam penanganan kasus korupsi KTP elektronik ini muncul setelah Agus Rahardjo mengungkapkannya dalam acara Rosi di Kompas TV, Kamis (30/11/2023) malam.
Agus menyampaikan, dirinya dipanggil Presiden Jokowi yang ditemani Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Ia heran dengan pemanggilan tersebut karena pimpinan KPK lainnya tidak dipanggil. Ditambah lagi, ia masuk ke Istana bukan melalui jalur umum.
Agus menyampaikan, dirinya sempat dipanggil Presiden Joko Widodo yang ditemani Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
Kemudian, saat bertemu, Presiden langsung marah dan memintanya menghentikan penyidikan bekas Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik.
Namun, Agus tak menuruti keinginan Presiden karena surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) kasus KTP elektronik sudah terbit tiga minggu sebelum panggilan tersebut. Apalagi, KPK tidak bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). KPK menetapkan Novanto sebagai tersangka pada 17 Juli 2017.
Dalam acara Rosi, Agus juga mengaitkan keengganannya untuk menghentikan penyidikan dengan revisi UU KPK pada 2019. Melalui revisi itu, KPK yang semula independen menjadi di bawah Presiden. Namun, Koordinator Staf Khusus Presiden Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana membantah pernyataan Agus. Menurut dia, tak ada pertemuan Presiden dan Agus.