Jaksa Agung Ingin Kerugian Perekonomian Negara Didefinisikan
Jaksa Agung ST Burhanuddin wacanakan perlunya definisi dan regulasi yang jelas terkait frasa ”merugikan perekonomian negara”. Ahli pidana pencucian uang berpendapat sebaliknya.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan tentang perlunya definisi dan regulasi yang jelas tentang kerugian perekonomian negara. Sebab, penjelasan dari Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai hal itu dianggap masih bermakna luas.
Frasa ”merugikan keuangan atau perekonomian negara” diatur pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal tersebut, kata Burhanuddin, keberadaan unsur merugikan perekonomian negara merupakan salah satu akibat dari tindak pidana korupsi.
”Hingga saat ini, definisi tersebut masih berupa konsep luas dan tentunya tidak aplikatif sebagai instrumen pemidanaan mengingat penormaan dalam hukum pidana harus tertulis, harus jelas, serta harus dimaknai tegas tanpa adanya analogi,” ujar Burhanuddin dalam diskusi kelompok terbatas yang diadakan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung, Selasa (28/11/2023), di Jakarta.
Menurut Burhanuddin, frasa kerugian perekonomian negara perlu diatur secara khusus dalam bentuk regulasi sehingga tercipta kepastian hukum. Hal itu untuk menegaskan, apakah pembuktian unsur merugikan perekonomian negara tersebut ditentukan secara mandiri atau ditentukan setelah adanya nominal kerugian keuangan negara.
Meski begitu, menurut Burhanuddin, dalam praktiknya tidak mungkin ada kerugian perekonomian negara tanpa adanya kerugian keuangan negara. Perlunya definisi yang jelas tentang kerugian perekonomian negara tersebut, menurut Burhanuddin, menjadi peluang bagi aparat penegak hukum dan Parlemen untuk mengkaji Pasal 2 dan Pasal 3 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Terkait dengan hal itu, Burhanuddin meminta jajaran Jampidsus untuk mengambil langkah yang strategis dalam penegakan hukum agar memberikan efek gentar bagi pelaku kejahatan. Sebab, tantangan dalam pemberantasan korupsi semakin kompleks. Saat ini, aparat penegak hukum telah dibekali dengan instrumen penyitaan ataupun melakukan sita eksekusi setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Terkait dengan kerugian perekonomian negara, kejaksaan telah menerapkannya dalam kasus dugaan korupsi pembukaan lahan hutan untuk perkebunan oleh Duta Palma Group. Pada kasus tersebut, jaksa menuntut pemilik Duta Palma Group, Surya Darmadi, untuk membayar uang pengganti atas kerugian perekonomian negara sebesar Rp 73,9 triliun.
”Penerapan atau pembuktian unsur perekonomian negara adalah langkah progresif penegakan hukum dalam hal ini, yaitu kejaksaan,” kata Burhanuddin.
Tidak perlu dijelaskan
Pandangan berbeda diungkapkan pakar tindak pidana pencucian uang, Yenti Garnasih, terkait penjelasan Jaksa Agung tentang perlunya penjelasan frasa ”merugikan perekonomian negara”. Menurut Yenti, justru frasa yang luas tersebut lebih baik karena bisa mencakup banyak hal. Di sisi lain, ketika kerugian perekonomian negara didefinisikan secara lebih ketat, hal itu dinilai akan mempersulit aparat penegak hukum dalam proses pembuktian pidananya.
Yenti mencontohkan, pasal pembunuhan tidak mencantumkan definisi cara atau jenis pembunuhan, tetapi hanya dicantumkan unsur sengaja merampas nyawa orang lain. Demikian pula pasal tentang pencurian tidak diperjelas atau dicantumkan unsur kesengajaan karena perbuatan mencuri sudah pasti merupakan suatu kesengajaan, kecuali seseorang mengidap kleptomania.
Di sisi lain, Yenti mengingatkan adanya asas yang berbunyi ”summum ius, summa iniuria” atau lebih kurang berarti keadilan tertinggi adalah ketidakadilan itu sendiri. ”Jadi, kalau maunya UU itu ketat atau sempurna sekali untuk mencapai keadilan, yang terjadi malah keadilan itu menjauh,” kata Yenti.
Menurut Yenti, Pasal 2 dan Pasal 3 UU tentang Pemberantasan Tipikor tersebut pernah dianulir Mahkamah Konstitusi karena sebelumnya mencantumkan frasa ”yang dapat menimbulkan kerugian”. Itu berarti protensi kerugian negara saja sudah cukup untuk memidana seseorang. Frasa tersebut, lanjut Yenti, justru lebih tepat karena tindak pidana sebenarnya telah terjadi ketika seseorang menyalahgunakan kewenangannya sehingga dapat menimbulkan kerugian negara sekaligus menguntungkan pihak tertentu.
Akibat adanya Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut, dalam menangani sebuah kasus tindak pidana korupsi, aparat penegak hukum dinilai memiliki beban dan perlu waktu yang lama untuk menghitung kerugian negara yang biasanya dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hal itu menimbulkan celah bagi pihak tertentu untuk menghilangkan alat bukti. Padahal, hal itu bisa dilakukan sembari proses hukum berjalan.
Alih-alih memperjelas Pasal 2 dan Pasal 3, Yenti justru meminta agar pemerintah dan Parlemen merevisi pasal tersebut dengan memasukkan Piagam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi Indonesia pada 2006 silam. Setidaknya empat hal yang perlu dimasukkan dalam UU tentang Pemberantasan Tipikor, yakni pasal tentang perdagangan pengaruh, pasal tentang memperkaya diri atau pihak lain secara melawan hukum, pasal penyuapan kepada pihak asing, serta pasal korupsi di sektor swasta.
”Kita harus mengikuti UNCAC karena ada kemungkinan uang hasil korupsi itu dilarikan ke luar negeri atau kemungkinan tersangka lari ke luar negeri yang mengharuskan kita bekerja sama dengan negara lain, memerlukan bantuan mereka atau sebaliknya,” ujar Yenti.