Rekamjejak.net, Ikhtiar agar Pemilih Tak Salah Pilih
Jelang Pemilu 2024, ICW menghidupkan kembali laman rekamjejak.net. Informasi terkait para caleg dihadirkan sebagai pertimbangan pemilih dalam memilih kelak.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
Demi citra positif calon anggota legislatif, cela masa lalu seolah diharamkan. Terbukti, 30 persen caleg tidak bersedia untuk memublikasikan daftar riwayat hidupnya di laman Komisi Pemilihan Umum.
Ketika masa lalu hendak dilupakan, Indonesia Corruption Watch (ICW) menghadirkan kembali laman rekamjejak.net yang berisikan informasi seputar mereka yang mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Laman yang sudah dibuat pada 2015 dan menghadirkan informasi serupa untuk Pemilu 2019 menjadi ikhtiar guna memperpanjang ingatan publik agar tidak salah memilih saat Pemilu 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Ketika ada calon anggota legislatif (caleg) bermasalah, tapi ternyata tidak ada informasi yang cukup terkait yang bersangkutan. Misal, di situs web KPU, ada sebagian caleg yang tidak bersedia membuka profilnya kepada publik. Sayangnya, KPU tidak membuat terobosan regulasi agar informasi itu dibuka di situs KPU, padahal data itu ada,” tutur peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, pada peluncuran laman rekamjejak.net, Minggu (26/11/2023), di Jakarta.
Menurut Kurnia, kebutuhan informasi mengenai latar belakang caleg yang akan berlaga pada Pemilihan Legislatif 2024 tersebut penting agar publik dapat mempertimbangkan sosok yang bakal dipilih berdasarkan fakta, bukan hanya karena terkesan oleh baliho atau spanduk yang bertebaran di jalanan. Di sisi lain, masyarakat juga patut mengetahui riwayat sang calon, termasuk jika pernah berurusan dengan pidana, khususnya korupsi.
Sebab, lanjut Kurnia, data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, korupsi politik yang terjadi pada wakil rakyat di setiap tingkatan dan kepala daerah telah mendominasi kasus yang ditangani oleh KPK, yakni sekitar 40,5 persen. Sementara Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 menunjukkan bahwa posisi Indonesia melorot 4 poin dari 38 menjadi 34, sama seperti posisi IPK Indonesia pada 2014. Angka itu menempatkan Indonesia di posisi ke-110 dari 180 negara.
Terkait dengan itu, ada indikasi caleg yang berupaya untuk menutupi jejak masa lalunya sebagai bekas terpidana. Sementara KPU dinilai tidak memiliki inisiatif untuk membuka informasi tersebut.
”Masyarakat hanya dipaksa jangan golput, tapi tanpa dibarengi dengan pemberian informasi yang cukup,” ujar Kurnia.
Kritik dan harapan
Pada kesempatan itu, beberapa tokoh mengungkapkan kritiknya terhadap anggota DPR. Kritik itu disuarakan oleh aktivis hak asasi manusia Maria Catharina Sumarsih, Juru Kampanye Hutan Greenpeace M Iqbal Damanik, dan Wakil Koordinator ICW Siti Juliantari Rahman.
Menurut Sumarsih, tidak jalannya proses yustisial terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu memperlihatkan bahwa tidak semua wakil rakyat menginginkan kasus-kasus itu dituntaskan. Oleh karena itu, Sumarsih meminta agar publik mencermati fraksi partai politik di DPR yang selama ini tidak mendukung penyelesaian pelanggaran HAM berat, semisal fraksi yang tidak mendukung kajian Komisi III tentang pelanggaran HAM berat agar dibawa ke sidang paripurna.
”Bagi saya, DPR tidak pro dalam proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat,” kata Sumarsih.
Sumarsih pun menggarisbawahi tentang terduga pelanggaran HAM berat yang justru membentuk partai politik dan kini menempatkan wakilnya di DPR. Oleh karena itu, Sumarsih berharap agar publik benar-benar menggali informasi para caleg sebelum memilihnya.
Sementara itu, Iqbal memberikan catatan buruk terhadap DPR periode 2019-2024. Sebab, rancangan undang-undang tentang masyarakat adat dan tentang perlindungan keanekaragaman hayati tidak kunjung diselesaikan. Sebaliknya, undang-undang yang mendukung industri ekstraktif, yakni UU Cipta Kerja serta UU Mineral dan Batubara, justru disahkan.
”Hampir atau 90 persen anggota DPR hari ini akan nyalon lagi. Artinya, hampir keseluruhan dari mereka akan nyalon. Mereka yang mendukung UU Cipta Kerja layak tidak kita pilih,” kata Iqbal.
Sementara Juliantari menegaskan, ada 56 caleg yang merupakan bekas koruptor. Oleh karena itu, masyarakat perlu waspada dengan cara memeriksa latar belakang caleg yang hendak dipilih.
Salah satu informasi yang perlu dilihat jika caleg tersebut saat ini merupakan pejabat negara adalah dengan mencermati Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Publik bisa melihat kenaikan harta yang bersangkutan dan mencocokkan dengan profilnya sebagai pejabat.
”Masak semua kekayaan berasal dari warisan? Kan, tidak mungkin,” ujar Juliantari.
Secara terpisah, anggota KPU periode 2014-2019, Hadar Nafis Gumay, menuturkan, dari pengalamannya dulu saat menjadi anggota KPU, setiap caleg diberi opsi untuk bisa memublikasikan riwayat hidupnya. Kemudian, KPU akan memublikasikan caleg yang bersedia ataupun yang tidak bersedia. Mekanisme itu mendorong mereka yang awalnya tidak bersedia membuka riwayat hidupnya menjadi mau membukanya.
Menurut Hadar, akses publik terhadap informasi tentang caleg memang terbatas. Oleh karena itu, menjadi tugas KPU agar publik bisa mendapatkan informasi yang cukup karena hal tersebut merupakan hak publik. Namun, Hadar juga mengingatkan agar publik juga diedukasi tentang pentingnya rekam jejak caleg sebagai bahan pertimbangan sebelum memilih.