Siap Dibawa ke Rapat Paripurna, RUU ITE Masih Diragukan Masyarakat
Kendati sudah disetujui sembilan fraksi di Komisi I DPR, RUU ITE dinilai oleh masyarakat sipil belum sejalan dengan semangat revisi karena masih memuat pasal-pasal yang berpotensi mengancam kebebasan berpendapat.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah dibahas sejak pertengahan 2023, Rancangan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disepakati untuk dimintai persetujuan pengesahan menjadi undang-undang pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat. Tak hanya mengubah sejumlah pasal kontroversial yang selama ini dianggap merugikan masyarakat, dibuat pula beberapa pasal tambahan tentang penambahan kewenangan pemerintah dan penyidik pegawai negeri sipil untuk memutus akses terkait konten yang diduga melanggar hukum. Namun, perubahan itu dinilai tidak sejalan dengan semangat revisi kedua Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena pasal-pasal yang berpotensi mengancam kebebasan berpendapat masih ada.
Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sepakat untuk membawa Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) untuk dimintai persetujuan pengesahan menjadi undang-undang. Suara bulat dari sembilan fraksi partai politik (parpol) di DPR itu dicapai dalam Rapat Kerja Komisi I DPR dengan Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi dan perwakilan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di Gedung Nusantara II, Jakarta, Rabu (22/11/2023). Rapat itu dipimpin Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Meutya Hafid dan Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Abdul Kharis Almasyhari.
Abdul Kharis Almasyhari, yang juga menjabat Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU ITE dari Komisi I DPR, menjelaskan, terdapat 24 poin revisi yang telah dilakukan. Perubahan di antaranya dilakukan pada Pasal 27 Ayat (1) mengenai aturan kesusilaan, Pasal 27 Ayat (2) tentang perjudian, Pasal 28 Ayat (1) mengenai pemberitahuan bohong, serta Pasal 28 Ayat (2) tentang ujaran kebencian berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental dan fisik. Pembahasan RUU ITE juga memasukkan sejumlah ketentuan tambahan, di antaranya larangan pada setiap orang untuk menentang kehormatan atau nama baik orang lain pada Pasal 27a, dan larangan untuk mendistribusikan atau mentransmisikan informasi yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum sebagaimana dimasukkan pada Pasal 27b.
Selain itu, ketentuan juga dilakukan untuk menambah kewenangan pemerintah dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Pada Pasal 40g Ayat (2b), Ayat (2c), dan Ayat (2d) disebutkan, pemerintah berwenang dan/atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik (PSE) untuk memutuskan akses terhadap informasi atau dokumen elektronik yang melanggar hukum, pornografi, dan perjudian. Pemerintah juga berwenang memoderasi konten yang berbahaya bagi keselamatan nyawa atau kesehatan individu atau masyarakat. Sementara PPNS, dalam Pasal 43 Ayat (5) huruf L, diberikan kewenangan untuk memerintahkan PSE memutuskan secara sementara akses terhadap akun media sosial, rekening bank, uang elektronik, atau aset digital.
Dengan seluruh perubahan itu, Kharis meyakini, tidak ada lagi pasal multitafsir yang berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat. ”Yakin,” ujarnya, dihubungi seusai rapat. Tak hanya terkait dengan pasal-pasal kontroversial yang selama ini dianggap merugikan masyarakat, RUU ITE juga memuat sejumlah ketentuan untuk mendukung ekosistem ekonomi digital. Beberapa yang diatur di antaranya tentang sertifikasi elektronik dan penyelenggaraannya.
Budi Arie Setiada mengatakan, perubahan kedua UU ITE merupakan kebijakan besar untuk menghadirkan ruang digital yang bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan, sama seperti di ruang fisik. Pemerintah bertanggung jawab memenuhi hak pengguna internet sekaligus menjamin kemerdekaan warga dalam menyatakan pikiran, serta memberikan jaminan atas pelindungan diri pribadi, kehormatan, martabat, rasa aman, dan ancaman ketakutan berbuat sesuatu.
Publik bahkan tidak pernah tahu formulasi pasal per pasal dalam RUU ITE. Draf RUU pun tidak bisa diakses publik. Oleh karena itu, masyarakat masih harus skeptis terhadap UU ITE yang akan disahkan nantinya.
”Untuk menjamin hak-hak tersebut, pemerintah perlu memberikan pembatasan yang diperlukan melalui penetapan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil,” ujarnya.
Skeptis
Kendati sudah disepakati pembentuk undang-undang, masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Serius Revisi UU ITE masih skeptis terhadap produk legislasi tersebut. Kepala Divisi Kebebasan Berpendapat Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) Nenden Sekar Arum menyayangkan pembahasan RUU ITE yang selama ini tertutup. Padahal, partisipasi bermakna publik diperlukan guna memastikan pasal-pasal multitafsir yang mengancam demokrasi sudah tidak ada.
Alih-alih partisipasi bermakna, kata Zaki Yamani dari Amnesty International Indonesia, publik bahkan tidak pernah tahu formulasi pasal per pasal dalam RUU ITE. Draf RUU pun tidak bisa diakses publik. Oleh karena itu, masyarakat masih harus skeptis terhadap UU ITE yang akan disahkan nantinya.
Adib Asfar dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sepakat, publik masih harus skeptis pada RUU ITE karena masih mempertahankan pasal-pasal yang selama ini mendominasi pemidanaan UU ITE. Selain itu, pemberian kewenangan tambahan kepada pemerintah dan PPNS untuk memutus akses dan memerintahkan PSE untuk memutuskan akses terkait muatan tertentu juga bertentangan dengan semangat demokrasi. Pemberian kewenangan tersebut menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang tidak belajar dari kasus pemutusan akses internet di Papua pada 2019 yang dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung. Oleh karena itu, keberadaan UU ITE ke depan masih akan memberikan ancaman bagi kebebasan berpendapat bagi kelompok masyarakat kritis, salah satunya jurnalis.
”Sampai tahun 2022, ada 38 kasus jurnalis yang dipidana (dengan UU ITE), lima di antaranya sudah dinyatakan bersalah. Karena itu, kami mendesak agar revisi ini dilakukan secara total dan melibatkan partisipasi bermakna publik yang tidak pernah kami lihat terjadi pada proses pembahasan revisi kedua UU ITE ini,” kata Adib.