Alat Terbatas, Perusahaan Brasil Produsen Super Tucano Ikut Investigasi
Super Tucano dari Brasil yang dibeli lewat dua kontrak dan tiba bertahap 2012-2016 tergolong minim transfer teknologi. Hal itu karena Indonesia hanya beli sedikit. Untuk investigasi pascajatuh, produsen pun ikut andil.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan produsen EMB-314 Super Tucano asal Brasil, Embraer, ikut andil dalam investigasi jatuhnya pesawat tempur produksinya. Mereka akan memeriksa rekaman penerbangan atau flight recorder yang sudah dikirimkan oleh TNI Angkatan Udara. Pasalnya, Indonesia memiliki keterbatasan alat dan transfer of technology saat pembelian yang hanya mencakup perawatan saja.
Sebelumnya dua unit Super Tucano bernomor ekor TT-3111 dan TT-3103 jatuh di Pasuruan, Jawa Timur, pekan lalu. Empat prajurit yang bermarkas di Pangkalan TNI AU Abdulrachman Saleh meninggal akibat tragedi tersebut.
Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Agung Sasongkojati mengatakan, pihaknya sudah mengevakuasi sebagian bangkai pesawat, termasuk video data recorder/network centric data cartridge (VDR/NCDC). Namun, rekaman penerbangan pesawat perlu dikirim ke luar negeri karena Indonesia tidak memiliki alat untuk membacanya.
”Ya, (Embraer dilibatkan) untuk membaca flight recorder (karena) belum ada alat bacanya,” ujarnya.
Ya, (Embraer dilibatkan) untuk membaca flight recorder (karena) belum ada alat bacanya.
Merujuk catatan Kompas, EMB-314 Super Tucano dibeli Indonesia sebanyak 16 unit dari Brasil melalui dua kontrak pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Pesawat itu tiba secara bertahap dari 2012 hingga 2016.
Pengadaan Super Tucano ini tergolong minim transfer teknologi. Pasalnya, Indonesia hanya membeli sedikit dengan harga yang relatif murah. Embraer hanya memberikan transfer teknologi untuk perawatan (Kompas, 18/9/2012).
Investigasi yang tengah dilakukan TNI AU perlu mengidentifikasi masalah-masalah yang kemungkinan terjadi, seperti human error, minim perawatan, dan gagal pabrik. Dengan demikian, risiko bisa dimitigasi oleh para prajurit ke depan. Ini mengingat kejadian jatuhnya Super Tucano bukan yang pertama kali.
Sejak memperkuat armada udara RI, jumlah Super Tucano terus menurun. Pada 2016, satu unit Super Tucano TT-3108 jatuh di permukiman padat penduduk di Kota Malang, Jawa Timur. Setelah itu, dua unit Super Tucano TT-3111 dan TT-3103 yang baru-baru ini terjadi.
Meskipun demikian, Agung mengaku, dengan berkurangnya pesawat tempur TNI AU, tidak ada perubahan kekuatan pokok minimum atau minimum essential force (MEF). Pada awal 2023, MEF TNI AU baru mencapai 51,51 persen, sedangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, MEF ditargetkan sudah mencapai 100 persen.
”Tidak ada perubahan MEF, tetap sesuai rencana strategis TNI AU. (Super Tucano juga tidak akan diganti), umurnya masih sangat muda,” ucapnya.
Belum ada pembahasan
Di sisi lain, anggota Komisi I DPR, Bobby Adhityo Rizaldi, menyebutkan, belum ada pembahasan lebih lanjut mengenai jatuhnya Super Tucano antara DPR dan Kementerian Pertahanan ataupun TNI. Sebab, Komisi I tengah disibukkan dengan agenda lain.
Investigasi yang tengah dilakukan TNI AU perlu mengidentifikasi masalah-masalah yang kemungkinan terjadi, seperti human error, minim perawatan, dan gagal pabrik. Dengan demikian, risiko bisa dimitigasi oleh para prajurit ke depan. Ini mengingat kejadian jatuhnya Super Tucano bukan yang pertama kali.
”Kalau faktor cuaca atau nonteknis memang di luar kuasa manusia. Akan tetapi, yang bisa dilakukan saat ini adalah segera melarang terbang semua Super Tucano untuk diperiksa aspek teknisnya,” tutur Bobby.
Sementara itu, terkait minimnya transfer teknologi dan keterlibatan negara lain, Bobby enggan berspekulasi. Menurut dia, persoalan ini lebih baik dipercayakan kepada negara agar bisa berkoordinasi untuk langkah mitigasi risiko mendatang.