Pemberhentian Danlanud Abdulrachman Saleh Bukan Terkait Tragedi Super Tucano
Mutasi Danlanud Abdulrachman Saleh sudah sesuai rencana TNI, bukan karena tragedi jatuhnya pesawat EMB-314 Super Tucano.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — TNI Angkatan Udara membantah informasi bahwa pemberhentian Marsekal Pertama Fairlyanto dari jabatan Komandan Pangkalan TNI AU Abdulrachman Saleh, Malang, Jawa Timur, berkaitan dengan tragedi jatuhnya dua pesawat tempur EMB-314 Super Tucano. Mutasi terhadap Fairlyanto yang kini menjabat Staf Khusus Kepala Staf TNI AU sudah direncanakan.
”Untuk mutasi (Danlanud Abdulrachman Saleh) tidak berkaitan (dengan tragedi jatuhnya dua pesawat tempur), memang sesuai rencana tour of area/tour of duty (TOA/TOD),” ujar Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Agung Sasongkojati saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (19/11/2023).
Mutasi Fairlyanto tertuang dalam Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1324/XI/2023 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam Jabatan di Lingkungan TNI. Surat itu menyatakan 60 perwira tinggi ataupun perwira menengah yang diberhentikan dan diangkat dalam jabatan baru. Danlanud Abdulrachman Saleh kini dijabat oleh Marsekal Pertama Firman Wirayuda.
Adapun waktu terjadinya mutasi memang berdekatan dengan tragedi jatuhnya dua pesawat tempur Super Tucano, yakni Kamis (16/11/2023). Sebanyak empat prajurit TNI AU meninggal dalam peristiwa tersebut dan sudah dimakamkan.
Agung menambahkan, reruntuhan dua pesawat tempur yang jatuh masih dalam proses evakuasi oleh TNI AU. Namun, medan yang terjal dan cuaca buruk mengganggu upaya evakuasi. Menurut rencana, TNI AU akan memotong pesawat menjadi beberapa bagian agar mudah diangkut.
”Hingga kini, TNI AU sudah mengangkut beberapa bagian dari pesawat, tetapi belum seluruhnya karena terkendala masalah cuaca di lokasi yang terjal dan berbukit-bukit sehingga sangat mengganggu,” tuturnya.
Dalam waktu seminggu ke depan, diharapkan seluruh bagian pesawat juga sudah bisa diangkut.
Cuaca ekstrem menghilangkan opsi evakuasi bangkai pesawat melalui jalur udara berupa helikopter. Karena itu, proses pencarian dan pengumpulan barang-barang di lokasi jatuhnya pesawat akan terus dilakukan sesuai dengan kondisi cuaca. Bagian pesawat yang dipotong bisa diangkut melalui jalur darat.
Hingga kini, TNI AU sudah mengangkut video data recorder/network centric data cartridge (VDR/NCDC) dari Super Tucano dan kini berada di Lanud Abdulrachman Saleh. Karena keterbatasan fasilitas dan alat, bagian flight recorder pesawat perlu dikirim ke luar negeri untuk dianalisis.
”Untuk itu, kami perlu waktu untuk menganalisis karena harus dikirim dulu. (Di sisi lain) Dalam waktu seminggu ke depan, diharapkan seluruh bagian pesawat juga sudah bisa diangkut,” tuturnya.
Kemarin, Agung mendampingi Panglima TNI Laksamana Yudo Margono dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo menyambangi kediaman empat prajurit TNI AU yang gugur dalam kecelakaan Super Tucano. Mereka menyampaikan belasungkawa dan penghargaan atas bakti para prajurit.
Menurut pengamat militer dari Semar Sentinel, Fauzan Malufti, investigasi jatuhnya dua pesawat tempur TNI AU sebaiknya dilakukan secara transparan. Hal ini agar publik bisa ikut memberikan masukan dan evaluasi ke depan. Selain itu, tragedi yang menimpa pesawat Super Tucano juga pernah terjadi pada 2016.
”Untuk evaluasi sebenarnya harus disesuaikan dengan hasil investigasi. Sayangnya jarang dibuka kepada publik, berbeda dengan negara lain, misalnya Amerika Serikat, di mana transparansi hasil investigasi kecelakaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) walaupun memang tidak semuanya,” katanya.
Fauzan turut mengutip pernyataan TNI AU yang menyebut cuaca buruk berperan dominan dalam tragedi jatuhnya Super Tucano. Adapun cuaca memang tidak bisa diprediksi 100 persen dan dapat berubah sewaktu-waktu.
Melihat kondisi tersebut, TNI AU dan lembaga seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) membutuhkan radar hingga satelit cuaca yang modern. Mereka perlu mempertimbangkan pendirian pos pemantauan cuaca atau penempatan personel untuk langsung memantau.
”Dan, apakah TNI secara keseluruhan perlu meningkatkan kemampuan meteorologi militernya dan memperbanyak personel dengan spesialisasi meteorologi? Itu juga bisa dipertimbangkan,” kata Fauzan.