Marsekal Pertama Fairlyanto diberhentikan dari jabatannya sebagai Komandan Lanud Abdulrachman Saleh. Selain Fairlyanto, ada 59 perwira lain yang diberhentikan dan diangkat.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Marsma Fairlyanto diberhentikan dari jabatannya sebagai KomandanLanud Abdulrachman Saleh, Malang, Jawa Timur. Ia kemudian ditempatkan untuk mengisi jabatan baru sebagai Staf Khusus Kepala Staf TNI Angkatan Udara atau KSAU. Pencopotan tersebut dinilai terkait dengan kecelakaan dua pesawat EMB 314 Super Tucano di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, beberapa hari lalu.
Pemberhentian Marsekal Pertama (Marsma) Fairlyanto dari jabatannya sebagai Komandan Pangkalan TNI Angkatan Udara (Lanud) Abdulrachman Saleh tertuang dalam Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1324/XI/2023 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam Jabatan di Lingkungan TNI. Keputusan tersebut ditandatangani Brigadir Jenderal (TNI) Edy Rochmatullah atas nama Laksamana Yudo Margono per 17 November 2023.
Di dalam surat tersebut, terdapat 60 perwira tinggi ataupun perwira menengah yang diberhentikan dan diangkat dalam jabatan baru. Di urutan pertama, terdapat nama Marsekal Madya A Gustaf Brugman yang diberhentikan dari jabatan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) menjadi perwira tinggi Mabes TNI AU dalam rangka pensiun. Gustaf digantikan oleh Andyawan Martono yang sebelumnya menjabat sebagai Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan II.
Adapun Danlanud Abdulrachman Saleh yang sebelumnya dijabat oleh Marsma Fairlyanto kini diduduki Marsma Firman Wirayuda yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Latihan Komando Pembinaan Doktrin, Pendidikan dan Pelatihan TNI AU (Dirlat Kodiklatau).
Sebagaimana tertuang dalam surat tersebut, pemberhentian dan pengangkatan itu menimbang usul dari tiap-tiap matra, yakni surat dari Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) tanggal 27 Oktober 2023, surat dari KSAL tanggal 26 Oktober 2023, serta surat dari KSAU tanggal 25 Oktober 2023. Selain itu, keputusan tersebut juga memperhatikan hasil sidang Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tertinggi (Wanjakti) tanggal 29 September 2023 serta pertimbangan pimpinan TNI.
Menanggapi Keputusan Panglima TNI tersebut, peneliti senior Imparsial dan Ketua Centra Initiative, Al Araf, berpandangan, pengangkatan dan pemberhentian di lingkungan TNI memang merupakan otoritas Panglima TNI dalam rangka pembinaan dan regenerasi ke dalam. Hal itu lazim dilakukan oleh setiap panglima.
Proses pergantian pejabat di lingkungan TNI tersebut tidak bisa dilepaskan dari faktor kedekatan, faktor kepentingan politik.
Proses pergantian pejabat di lingkungan TNI tersebut, ujar Al Araf, tidak bisa dilepaskan dari faktor kedekatan, faktor kepentingan politik, serta terkadang muncul dugaan faktor uang meski hal itu sulit dibuktikan. Meski proses pergantian pejabat struktural tetap menimbang faktor obyektif, hal itu terkadang kalah oleh pertimbangan subyektif. Terlebih, di tahun politik atau menjelang Pemilu 2024, faktor kepentingan politik dinilai lebih kental terasa dalam pergantian pada pengisian jabatan dalam tubuh TNI ketimbang faktor obyektifnya.
”Hal ini kadang menimbulkan ketegangan di dalam TNI serta kecemburuan di antara mereka jika faktor subyektifnya yang lebih besar terjadi dalam pergantian itu. Sementara kita tahu terjadi penumpukan perwira menengah di TNI tanpa jabatan yang jumlahnya banyak dan ini menjadi masalah sendiri,” kata Al Araf, saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (18/11/2023).
Diduga terkait kecelakaan
Secara khusus terkait pergantian Danlanud Abdulrachman Saleh, menurut Al Araf, hal itu kemungkinan besar terkait dengan kecelakaan dua pesawat EMB 314 Super Tucano di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Bisa jadi hal itu merupakan upaya dari Panglima TNI untuk mengevaluasi bawahannya.
”Meski demikian, sebaiknya penyebab jatuhnya pesawat itu harus diinvestigasi lebih dalam dan lebih independen agar publik mengetahui faktor penyebab kecelakaan itu,” ujar Al Araf.
Selain itu, kata Al Araf, investigasi tersebut diharapkan dilakukan secara menyeluruh dan transparan menyangkut kondisi pesawat ataupun proses pengadaannya. Sebab, kecelakaan pesawat jenis EMB 314 Super Tucano sudah pernah terjadi sebelumnya, yakni pada 2016. Untuk itu, DPR diharapkan memanggil Menteri Pertahanan dan Panglima TNI untuk mendalami persoalan jatuhnya pesawat ataupun proses pengadaannya.
Menurut Al Araf, Menhan dan Panglima TNI tidak bisa lepas dari tanggung jawab karena mereka menjadi pihak yang membuat kebijakan dalam pengadaan alutsista. Keberulangan kecelakaan terhadap jenis pesawat yang sama merupakan pendorong dilakukannya evaluasi menyeluruh.