Kasus Menara BTS, Penyidik Sita Aset Anggota BPK Achsanul Qosasi
Selain menyita sejumlah aset dari anggota BPK Achsanul Qosasi, penyidik Kejaksaan Agung juga mendalami uang Rp 40 miliar yang diduga diterima Achsanul dalam kasus proyek menara BTS 4G.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
Suasana saat penyidik Kejaksaan Agung menyita sejumlah milik Anggota III Badan Pemeriksa Keuangan Achsanul Qosasi yang kini menjadi tersangka kasus dugaan penerimaan uang proyek base transceiver station (BTS) 4G Bakti Kemenkominfo.
JAKARTA, KOMPAS — Penyidik menyita sejumlah aset milik Anggota III Badan Pemeriksa Keuangan Achsanul Qosasi yang kini menjadi tersangka kasus dugaan penerimaan uang proyek base transceiver station atau BTS 4G Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika. Penyidik pun terus berupaya menelusuri aliran uang yang diduga diterima Achsanul.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan, Selasa (14/11/2023), penyidik telah melakukan penyitaan beberapa aset milik tersangka Achsanul saat menggeledah rumahnya yang terletak di Jakarta Selatan. Penyitaan terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan menara BTS 4G.
”Aset yang disita tersebut akan menjadi barang bukti tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pembangunan menara BTS 4G,” kata Ketut.
Aset yang disita, antara lain, dua sertifikat tanah yang terletak di Kabupaten Bogor dan di Jakarta Selatan. Selain itu, disita pula dua lembar surat deposito bank yang masing-masing berjumlah Rp 500 juta, dua buah buku bank, serta satu eksemplar polis asuransi. Penyidik juga menyita uang dalam bentuk berbagai mata uang, yakni euro, pound sterling, dollar Singapura, yen, rubel, dirham, riyal, serta rupiah.
Sebagaimana diberitakan, Achsanul ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima uang dari Sadikin Rusli terkait upaya untuk mengamankan proyek BTS 4G Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika tak diproses hukum. Uang tersebut diberikan oleh Irwan Hermawan melalui Windy Purnama di tempat parkir Hotel Grand Hyatt dalam bentuk pecahan mata uang dollar AS dan dollar Singapura.
Saat ini Sadikin telah ditetapkan sebagai tersangka. Adapun Irwan dan Windy sudah mendapatkan vonis di pengadilan tingkat pertama. Terkait aliran dana tersebut, penyidik juga telah menetapkan beberapa tersangka, yakni Edward Hutahaean yang diduga menerima uang Rp 15 miliar.
Kasubdit Penyidikan Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang Direktorat Penyidikan Jampidsus Kejagung Haryoko Ari Prabowo mengatakan, penyidik masih mendalami keberadaan uang Rp 40 miliar yang diduga diterima tersangka Achsanul Qosasi. Penyidik juga masih mendalami peruntukan uang tersebut yang sementara diduga untuk pengamanan kasus.
Terkait hubungan Achsanul dengan Sadikin Rusli yang diduga menjadi perantara penyerahan uang Rp 40 miliar, menurut Haryoko, mereka berdua berteman. Adapun Sadikin telah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. ”Dia (Sadikin) itu temannya (Achsanul). Sementara saya baru bisa menyatakan, dia temannya,” ujar Haryoko.
Secara terpisah, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana menyampaikan, pihaknya telah berkoordinasi dengan penyidik untuk menelusuri aliran dana yang diduga merupakan hasil tindak pidana korupsi. Bagi PPATK, penelusuran semacam itu selalu dilakukan terkait kasus-kasus yang menyangkut adanya aliran dana.
”Memang permintaan bantuan penelusuran transaksi keuangan sudah lazim dilakukan oleh penyidik dengan kami untuk kasus yang ditangani,” kata Ivan.
Aliran uang
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman berpandangan, aliran uang yang mengalir ke beberapa pihak, termasuk Achsanul, diyakini sudah berubah bentuk, entah menjadi aset atau surat berharga, bukan disimpan dalam brankas. Bukan tidak mungkin, uang tersebut dikelola secara bersama-sama oleh Sadikin dan Achsanul.
”Karena ini adalah uang besar jadi tidak mungkin masih utuh seperti saat diberikan dalam bentuk dollar AS dan dollar Singapura. Mestinya uang itu sudah diubah menjadi rupiah dan dibelikan sesuatu,” kata Boyamin.
Menurut Boyamin, menelusuri aliran uang tersebut bukan hal sulit bagi penyidik. Penyidik bisa mencocokkan aset para tersangka sebelum dugaan penerimaan uang diterima, dengan sesudahnya. Selain itu, penyidik bisa bekerja sama dengan PPATK untuk menelusuri adanya aset yang diubah ke bentuk lain, termasuk dibelikan surat berharga, saham, atau reksa dana.
Meski demikian, Boyamin mengingatkan, penyidik masih memiliki tanggungan untuk mengungkapkan aliran dana dari proyek BTS 4G yang sudah terungkap di persidangan, tetapi belum jelas pertanggungjawabannya. Aliran dana itu menyangkut Dito Ariotedjo sebesar Rp 27 miliar, Nistra Yohan yang terkait Komisi I DPR sebesar Rp 70 miliar; serta sosok bernama Windu Aji sebesar Rp 66 miliar.
Menurut Boyamin, jika di antara pihak itu ada yang selalu mangkir ketika dipanggil penyidik, penyidik bisa mengeluarkan surat perintah pemanggilan secara paksa. Penelusuran aliran dana itu penting agar penggantian kerugian keuangan negara bisa maksimal.
”Harus ditelusuri kepada siapa pun karena nama-nama itu sudah terang di persidangan, seperti Sadikin dan Edward. Jadi, nama yang lain harus dikejar juga,” ujar Boyamin.
Hal senada diungkapkan pengajar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Menurut Fickar, uang sejumlah Rp 40 miliar itu bukan tidak mungkin sudah dialihkan atau disamarkan menjadi bentuk lain.
Oleh karena itu, lanjut Fickar, penyidik diharapkan juga menjerat mereka dengan dugaan tindak pidana pencucian uang. Hal itu yang kemudian menjadi tugas penyidik untuk mencari bukti-bukti pendukung terjadinya tindak pidana tersebut.
”Seharusnya kejaksaan dengan aparatur yang banyak dan merata di seluruh Indonesia bisa lebih agresif dalam mengejar pelaku maupun aliran uang yang merupakan kerugian keuangan negara dalam kasus ini,” kata Fickar.
Terkait desakan untuk memanggil pihak-pihak yang diduga menerima uang tetapi belum diperiksa penyidik, Haryoko memastikan bahwa penyidik bertindak sesuai dengan alat bukti. Haryoko pun memastikan, penyidik sudah memanggil Nistra Yohan maupun mendatangi rumahnya.
”Panggilan, kan, sudah beberapa kali kami kirim. Makanya dalam proses, mendalami alat bukti yang paling kuat menjadi skala prioritas kami. Sekarang alat bukti yang paling kuat ada di Edward Hutahaean, ada di Sadikin Rusli, ada di AQ (Achsanul Qosasi). Fokus ke sana,” tutur Haryoko.