67 Persen Calon Anggota DPR Berusia Lebih dari 41 Tahun
Politikus senior mendominasi kontestasi di Pemilihan Calon Anggota DPR 2024-2029. Regenerasi di partai politik stagnan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dominasi politikus senior dalam kontestasi Pemilihan Calon Anggota DPR 2024-2029 dinilai menunjukkan regenerasi di tubuh partai politik yang stagnan. Politikus senior dengan pengalaman dan sumber daya modal yang kuat masih menjadi pilihan partai politik untuk merebut kursi di Senayan.
Berdasarkan data daftar calon tetap (DCT) untuk calon anggota DPR dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diolah Litbang Kompas, sebanyak 67 persen calon anggota DPR berusia lebih dari 41 tahun. Bahkan 12 persen di antaranya berusia lebih dari 61 tahun.
Adapun yang berusia di bawah 41 tahun hanya 33 persen. Sementara jumlah total calon anggota DPR sebanyak 9.917 calon dari 18 partai politik (parpol) nasional peserta Pemilu 2024.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, berpandangan, data tersebut menunjukkan bahwa regenerasi politik, termasuk kaderisasi calon pemimpin, tidak terjadi di tubuh parpol. Banyak parpol memang terlihat telah mendirikan sekolah parpol dan program kaderisasi. Namun, fakta menunjukkan bahwa setidaknya dalam dua pemilu terakhir calon anggota DPR masih didominasi oleh politikus senior.
”Politikus senior memiliki modal politik pengalaman dan popularitas sehingga mereka lebih mudah mendapatkan suara ketimbang politikus muda yang kantongnya tipis,” kata Lucius, Minggu (12/11/2023).
Menurut Lucius, dengan sistem pemilihan legislatif proporsional terbuka, ada kecenderungan parpol memang tidak mau bekerja keras memenangi pileg. Mereka lebih menyerahkan kepada calon anggota legislatif (caleg) untuk merebut kursi di parlemen. Akibatnya, muncul pragmatisme politik, yakni memilih politikus senior yang berpengalaman, punya massa, dan modal.
Praktik tersebut tak bisa dimungkiri karena memang biaya politik di Indonesia mahal. Mau tak mau parpol harus mengandalkan kekuatan personal para caleg. Pilihan itu dinilai lebih rasional dan masuk akal dibandingkan dengan memercayakan kepada anak muda yang dinilai belum berpengalaman dan tidak memiliki modal.
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati, berpendapat, Indonesia masih dalam upaya transisi dari gerontokrasi. Gerontokrasi adalah sistem politik yang dipimpin oleh orang-orang tua. Fenomena tersebut saat ini terjadi pula di Amerika Serikat.
Gambaran politik AS saat ini, rata-rata usia anggota DPR 59 tahun dan seperempat dari para anggota DPR tersebut berumur di atas 70 tahun, (Kompas, 1/10/2023).
Salah satu keunggulan dari para politikus senior yang maju ke gelanggang pemilihan adalah mereka memiliki loyalis massa dibandingkan dengan politikus muda. Senioritas, jam terbang, pengalaman, dan jejaring politik itulah yang membuat mereka lebih unggul dan bisa meraup suara lebih banyak.
Meskipun politikus muda sudah bermunculan, Wasisto juga mengkritik sebagian besar dari mereka disokong oleh gelimang privilese. Mereka biasanya memiliki hubungan kekerabatan dengan para politikus senior sehingga memudahkan jalan mereka ke parlemen.
Artinya, regenerasi politik berjalan dalam satu lingkaran tertentu. Masih sedikit regenerasi alami yang lahir dari gemblengan kaderisasi politik sehingga memberikan ruang bagi mereka yang benar-benar kompeten untuk maju berkontestasi.
Sementara itu, jika dilihat dari latar belakang profesi, sebagian besar calon anggota DPR berasal dari kalangan wiraswasta dan pegawai swasta. Dari data calon anggota DPR yang mau memublikasikan daftar riwayat hidupnya di situs resmi KPU atau sebanyak 6.947 calon, 6.204 calon di antaranya wiraswasta dan karyawan swasta.
Alat peraga kampanye calon anggota legislatif pada Pemilu 2024 terpasang di kawasan Babakan, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (12/11/2023).
Dari data latar belakang itu, Wasisto menyebut hal itu adalah konsekuensi dari biaya pemilu yang semakin mahal. Dibutuhkan biaya hingga miliaran rupiah untuk mengikuti dan memenangi kontestasi sehingga wajar jika yang mau berkontestasi adalah orang-orang bermodal besar. Selain itu, mereka yang berasal dari kalangan pengusaha biasanya juga lebih berani mengambil risiko karena sudah terbiasa dengan kalkulasi untung dan rugi.
Meski demikian, dia mengingatkan potensi konflik kepentingan apabila terlalu banyak kalangan pengusaha yang duduk di Senayan. Mereka, misalnya, bisa memperjuangkan aturan perundang-undangan yang lebih menguntungkan kepentingan bisnisnya daripada untuk kepentingan rakyat.
Kekhawatiran serupa diungkapkan Lucius Karus. Menurut dia, latar belakang profesi caleg ini pun tidak banyak berubah jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Ini dipengaruhi oleh faktor mahalnya biaya politik di mana caleg harus berusaha sendiri untuk bisa memenangi suara.
Jika kalangan pengusaha ini banyak terpilih menjadi anggota DPR, kekhawatiran akan ada konflik kepentingan pun sudah terbukti di periode 2019-2024 ini. Menurut dia, banyak idealisme mati di tangan politikus pragmatis. Undang-undang yang berkaitan dengan kepentingan publik, seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Pekerja Rumah Tangga dan RUU Masyarakat Adat tak kunjung diproses. Sementara undang-undang yang pro kepentingan elite justru cepat diproses di DPR.
”Harus ada kesadaran dan rasionalitas pemilih untuk menghukum anggota DPR yang performanya buruk selama periode ini. Gunakan pemilu sebagai momentum evaluasi kinerja caleg,” ujarnya.