Narasi Perlindungan Perempuan Dinilai Hampir Tak Pernah Muncul di Pemilu
Meskipun peran perempuan dalam demokrasi begitu besar, nyatanya perempuan kerap menghadapi tekanan dan kekerasan.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peran perempuan dalam kemerdekaan, pembangunan, dan demokrasi begitu besar. Namun, narasi perlindungan terhadap perempuan agar bebas dari stigma, kekerasan, dan perlakuan tidak adil, terutama dalam pemilu, masih sangat minim sehingga perlu digencarkan oleh semua pihak.
Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati Tangka mengatakan, narasi perlindungan terhadap perempuan dalam pemilihan umum presiden dan legislatif tidak pernah muncul. Padahal, perempuan dengan segala kekuatan dan pengetahuan yang dimiliki berperan besar dalam tegaknya demokrasi di Indonesia.
”Kalau perempuan di desa-desa ditanya bagaimana sistem pemilu, mereka enggak bisa jawab. Namun, kalau ditanya siapa penyebar hoaks, siapa pengacau, mereka tahu bagaimana cara menghentikan,” kata Mike dalam diskusi Perempuan Bergerak Menguatkan Demokrasi ”Netralitas sebagai Keniscayaan” yang diselenggarakan di Jakarta, Jumat (10/11/2023).
Turut hadir dalam diskusi ini antara lain Ibu Negara keempat Republik Indonesia Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Deputi V Kantor Staf Presiden, Bidang Politik Hukum, Pertahanan, Keamanan dan Hak Asasi Manusia, Jaleswari Pramodhawardhani, serta Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika Sjarifudin.
Meskipun peran perempuan dalam demokrasi begitu besar, nyatanya perempuan kerap menghadapi tekanan dan kekerasan. Ia mencontohkan, dalam Pilkada DKI Jakarta pada 2017 perempuan kerap menghadapi tekanan. Padahal, saat itu peran perempuan sangat besar dalam melawan politik identitas. ”Kalau perempuan melawan, mereka diancam tidak akan mendapatkan bantuan sosial. Perempuan juga dipaksa. Kalau tidak melakukan ini, nanti dicopot dalam kepengurusan di PKK atau posyandu,” ujarnya.
Menurut Mike, perempuan punya kekuatan dalam demokrasi. Suara perempuan yang begitu besar dapat memengaruhi hasil pemilu. Perempuan juga dapat memengaruhi suara keluarga. Namun, dalam waktu bersamaan perempuan dihadapkan pada tantangan yang menyangkut keselamatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarga. Selain itu, perempuan juga mempunyai tantangan kesenjangan terhadap informasi dan teknologi.
Oleh karena itu, menurut dia, perlu dibangun sistem yang dapat membantu perempuan melaporkan kecurangan dalam pemilu. Sistem itu harus aman dan mudah diakses. ”Jangan sampai terulang lagi seperti pemilu sebelumnya, ingin melapor tetapi tidak tahu harus melapor ke mana. Selain itu, bagaimana perempuan bisa melapor kalau sering mendapat ancaman, persekusi, dan kekerasan dari orang-orang di sekitarnya,” katanya.
Mike juga menyebutkan, sangat penting untuk mendampingi kelompok perempuan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. Kelompok perempuan juga harus bersinergi dan bekerjasama untuk menciptakan pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia, jujur, dan adil.
Data Komisi Pemilihan Umum menyebutkan jumlah pemilih perempuan dalam Pemilu 2024 adalah 102,58 juta orang, sementara pemilih laki-laki 102,21 juta orang. Jumlah pemilih perempuan dalam pemilu 2019 juga mendominasi, yaitu pemilih perempuan 126.000 orang lebih banyak dibandingkan laki-laki. Dengan besarnya jumlah pemilih, perempuan menjadi target potensial untuk mendulang suara dalam Pemilu 2024.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Sri Budi Eko Wardani, mengatakan, meskipun peran perempuan suara sangat dibutuhkan dalam demokrasi dan pembangunan, perempuan tidak boleh anti terhadap kritik. Ia menyebutkan, berdasarkan hasil Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di legislatif berada pada angka 20,8 persen.
”Dari jumlah itu, sebanyak 45 persen perempuan terpilih karena punya hubungan dekat dengan elite politik, ya anaknya, adiknya elite politik. Di satu sisi kita marah karena keterwakilan perempuan tidak mencapai 30 persen, tetapi di sisi lain kita melihat jalur kekerabatan dipakai untuk mencapai kepentingan politik,” katanya.
Jalur kekerabatan itu kemudian dipakai untuk melegalkan abuse of power dan pelanggengan kekuasaan. Menurut Wardani, hal itu terjadi karena ada tantangan internal dan eksternal perempuan. Tantangan internal adalah ketika perempuan sulit melakukan perlawanan pada sistem dinasti di partai politik. Sementara tantangan dari luar berupa akses yang terbatas. ”Kondisi yang timpang bikin perempuan tidak bisa berteriak,” katanya.
Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika Sjarifudin mengatakan, perempuan perlu bergerak untuk menguatkan demokrasi dan memastikan penyelenggara dan pengawas pemilu, termasuk aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan pemimpin daerah bersikap netral selama pemilu. ”Pemilu merupakan hal biasa yang terjadi lima tahun sekali. Hal yang bisa kita harapkan, bagaimana pelaksanaannya dilakukan dengan jujur dan adil,” katanya.