Presiden Jokowi kerap menjanjikan netralitasnya selama Pemilu 2024. Namun, dari sejumlah pidatonya belakangan, muncul kode-kode dukungan untuk bakal capres-cawapres, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Presiden Joko Widodo kerap menjanjikan netralitas selama Pemilu 2024 meski putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, maju dalam Pemilihan Presiden 2024. Namun, sulit untuk memercayai janji tersebut, saat yang terlihat belakangan dari sejumlah pidatonya, justru kode dukungan pada bakal pasangan calon presiden-wakil presiden, Prabowo Subianto-Gibran.
Kode itu salah satunya muncul saat Presiden Jokowi berpidato dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Selasa (7/11/2023). Awalnya tak ada yang janggal dari pidatonya. Selayaknya kepala negara yang akan pensiun tahun depan, Jokowi memaparkan tantangan berat bangsa setelah ia tidak lagi menjadi presiden. Tantangan terutama datang dari eksternal akibat kondisi politik dan ekonomi global yang tidak menentu.
Untuk menjawab tantangan itu, Jokowi menekankan soal pentingnya persatuan, kekompakan, hingga kepemimpinan nasional yang kuat. Lagi-lagi, faktor-faktor ini merupakan hal yang biasa yang dipesankan seorang presiden. Namun, ketika menyinggung soal kepemimpinan, Jokowi tiba-tiba menyinggung soal atraksi pencak silat yang membuka gelaran Rakernas LDII. Tak hanya itu, disinggung pula Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia Prabowo Subianto yang di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 maju sebagai bakal capres dari Koalisi Indonesia Maju.
”Dibutuhkan kepemimpinan yang kuat. Tadi yang ditampilkan tadi pencak silat tadi bener. Karena ketuanya Pak Prabowo. Sekjennya Pak Teddy (Pengurus LDII, Teddy Suratmadji). LDII kalau gini-gini pinter banget. Memberi simbol-simbol gitu,” ujar Presiden.
Prabowo yang sesungguhnya dalam kabinet Jokowi-Wapres Ma’ruf Amin menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) turut mendampingi Presiden dalam acara Rakernas LDII itu. Prabowo kerap mendampingi Presiden meski acara yang dihadirinya tak terkait tugas pokok dan fungsi Menhan.
Ditanya soal pidatonya yang menyinggung Prabowo, Jokowi seusai acara kembali menekankan bahwa Indonesia menghadapi tantangan-tantangan eksternal yang sulit diprediksi sehingga butuh kepemimpinan yang kuat. Adapun Prabowo menilai Jokowi hanya bercanda.
Selang dua pekan sebelumnya, kode lain dilontarkan Jokowi. Kali ini, di hadapan kalangan pengusaha pada Investor Daily Summit di Jakarta. Kode kali ini tersirat, sama sekali Jokowi tak menyebut nama. Saat memaparkan rencana hilirisasi mineral dan batubara (minerba) yang akan dilanjutkan di sektor perkebunan, pertanian, dan kelautan, Jokowi tiba-tiba menyinggung soal pentingnya keterlibatan anak muda. Menurutnya, hal terpenting dalam keberlanjutan bukan rencana makro, melainkan implementasi di lapangan dan ini disebutnya sebagai porsi anak-anak muda.
”Ini biasanya yang seneng terjun langsung di lapangan anak muda, kawal di lapangan, cek di lapangan, awasi, sehingga sesuai betul dengan kebijakan yang sudah kita putuskan,” ucap Jokowi.
Kode dari Jokowi disampaikan beberapa hari setelah Gibran yang berusia 36 tahun diumumkan oleh Prabowo menjadi pendampingnya di Pilpres 2024. Setelah pengumuman, kubu Prabowo pun gencar mempromosikan narasi anak muda sebagai pemimpin pada 2024.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengakui bahwa Jokowi kerap berbicara dengan bahasa simbol. ”Ya tanya beliau. Karena beliau suka begitu, gitu,” ucapnya.
Karena simbol bersifat multitafsir dan sering kali memunculkan anggapan bahwa Presiden tidak netral, Moeldoko menyebut bahwa semuanya tetap tergantung pada interpretasi masing-masing. ”Ya kadang-kadang tergantung yang mengartikan, ha-ha-ha,” tambahnya.
Yang jelas, Presiden telah berulang kali menegaskan posisinya netral selama Pemilu 2024. Penegasan serupa disampaikan saat Moeldoko menanyakannya ke Presiden. ”Saya juga lapor kepada beliau bahwa Pak, saya dalam posisi yang netral dalam pemilu kali ini, ya sama kita netral. Presiden selalu mengatakan begitu, posisinya seperti itu. Jadi tolong ini dipahami secara utuh karena kalau enggak, nanti selalu mengartikan bahwa pemerintah atau Presiden tidak netral,” ucap Moeldoko.
Pengajar komunikasi politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Nyarwi Ahmad, menjelaskan, penggunaan bahasa simbol sebagai bagian dari strategi politik bukan barang baru.
Presiden Soeharto, misalnya, juga sering menyematkan bahasa simbol melalui senyuman. Senyuman yang menonjol dari bahasa simbol itu kerap justru menumbuhkan multitafsir.
”Karena tidak bisa ditebak. Sebenarnya, kurang bagus bagi demokrasi. Lebih bagus jika ide itu disampaikan sehingga masyarakat memahami apa yang dipikirkan. Bukan dibuat repot memikirkan tafsir simbol,” tambahnya.
Bahasa simbol biasanya ditujukan ke sesama elite politik. Kadangkala juga digunakan oleh seseorang yang berada di posisi sentral untuk mengontrol karena sering kali bahasa simbol ini lebih membekas dan melekat. Penafsiran terbuka dalam bahasa simbol itu kerap menguntungkan untuk dapat masukan karena sengaja dilontarkan guna melihat reaksi pendengarnya.
Dalam komunikasi politik, pesan eksplisit yang dikenal sebagai low context culture disampaikan ke bahasa yang mudah dipahami dan arah politiknya menjadi mudah ditebak. Sementara komunikasi high context culture disampaikan secara implisit dengan kalimat basa basi dan gestur tubuh yang sulit ditafsirkan.
”Siapa mengatakan apa menjadi penting karena pada dasarnya sangat sulit politik yang dari berbagai kepentingan itu dikatakan secara eksplisit. Banyak hal tidak bisa disampaikan secara eksplisit sehingga bahasa simbol dipakai,” ucap Nyarwi.
Meskipun multitafsir, bahasa simbol bisa sangat efektif. Sebagian orang memang akan gagal menafsirkan simbol. Namun, bahasa simbol ini bisa digunakan agar kepentingan politik menjadi tidak mudah ditebak.
”Istilahnya sein kanan, belok kiri. Dalam politik, sesuatu yang terukur memudahkan kompetitor. Simbol ini menyulitkan, tapi sekaligus bisa menjaga reputasi,” ujarnya.
Simbol sering kali juga dianggap berlaku universal. Namun, dalam kaitan komunikasi politik, budaya tertentu berperan dalam menentukan makna simbol.
”Pada hakikatnya huruf dan kata merepresentasikan sebagian kecil dari apa yang dipikirkan manusia atau diekspresikan. Lebih banyak yang tidak diekspresikan daripada yang diekspresikan. Banyak yang tidak bisa dan tidak mau dikatakan,” kata Nyarwi.
Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi, melihat kode politik yang disampaikan Jokowi dalam sejumlah pidatonya telah mengindikasikan sikap tidak netral Presiden. Secara etika, kode politik itu tak seharusnya dilontarkan Presiden. Presiden semestinya menunjukkan sikap kenegarawanan untuk tak berpihak. Imparsialitas ini akan mampu mengembalikan kepercayaan publik bahwa pemerintah akan tetap melindungi semua lapisan masyarakat.
Pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Andalas, Feri Amsari, menuturkan, kalau memang netralitas betul-betul hendak ditegakkan oleh Presiden Jokowi, maka apabila ada penyelenggara negara dan ASN yang terbukti melanggar netralitas, ia harus diberi sanksi.
”Selama Presiden tidak memberi sanksi, apa yang diucapkan Presiden itu omong kosong saja dan terkesan memang hanya untuk menjalankan kepentingannya di balik layar. Jadi seolah-olah bicara netral-netral, tetapi Presiden-lah biang tidak netralnya,” ujarnya.