Ganjar: Politik Luar Negeri Harus Perkuat Kepentingan Nasional
Di tengah dinamika global, visi dan misi arah kebijakan luar negeri para capres dipandang krusial. Tidak hanya untuk menghadapi masalah, tetapi juga untuk memanfaatkan kesempatan yang muncul di tengah perubahan dunia.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ganjar Pranowo, bakal calon presiden yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Hanura, dan Partai Perindo, memandang, arah kebijakan luar negeri Indonesia ke depan harus memperkuat kepentingan nasional. Indonesia memiliki sejumlah sumber daya potensial yang bisa menjadikan bangsa ini unggul dibandingkan dengan negara lain di dunia. Hal itu juga perlu disertai dengan kepemimpinan yang kuat di antara negara-negara kawasan.
Gagasan itu dikemukakan Ganjar Pranowo dalam agenda ”Pidato Politik Calon Presiden Republik Indonesia: Arah dan Strategi Politik Luar Negeri” yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Selasa (7/11/2023).
Selain Ganjar, CSIS juga mengundang dua bakal capres lain yang telah didaftarkan gabungan partai politiknya masing-masing sebagai peserta Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 untuk menyampaikan gagasan dengan tema yang sama. Menurut rencana, bakal capres dari Koalisi Perubahan, Anies Baswedan, akan tampil pada Rabu (8/11). Adapun bakal capres dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), Prabowo Subianto, dijadwalkan hadir pada Senin (13/11).
Saat membuka pidatonya, Ganjar menyatakan bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja. Sejumlah fenomena terjadi dan berdampak pada seluruh negara, mulai dari konflik bersenjata di berbagai kawasan, kemerosotan ekonomi, ketidakadilan global, hingga kemunduran demokrasi. Di tengah konteks tersebut, Indonesia perlu konsisten dengan politik luar negeri bebas aktif, tetapi itu bisa didefinisikan ulang sesuai dengan perkembangan zaman.
”Jadi, kalau melihat bebasnya, bukan bebas yang free, melainkan kita bebas untuk membuat kebijakan yang jauh lebih strategic, kita tentukan sendiri. Aktif pun kita bisa bicara, tidak pasif yang menunggu saja, tetapi aktif mengambil inisiatif-inisiatif,” ujar Ganjar.
Ia melanjutkan, politik luar negeri merupakan salah satu instrumen untuk mewujudkan keunggulan Indonesia di kancah global. Keunggulan dimaksud bisa diraih dengan mengoptimalkan sumber daya potensial yang dimiliki Indonesia. Dengan begitu, kebijakan luar negeri yang diambil nantinya akan selaras dengan kepentingan nasional.
Misalnya, tambah Ganjar, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi lumbung pangan dunia yang bersaing dengan Vietnam, Thailand, India, dan China. Dengan kemampuan produksi bahan pangan, Indonesia bisa mengambil peran memastikan suplai bahan pangan secara berkelanjutan dalam situasi konflik atau perang yang terjadi di beberapa negara.
Indonesia juga bisa unggul dalam hal kemandirian energi. Negara ini tidak hanya memiliki nikel, tetapi juga sumber daya mineral lain, misalnya batubara yang bisa diolah dari hulu ke hilir. Di tengah rivalitas perdagangan Amerika Serikat dan China, kata Ganjar, rantai pasok perdagangan dunia juga terimbas sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengusaha dan investor. Dalam konteks itu, Indonesia bisa mengambil peran untuk menjadi penghubung, salah satunya dalam sektor manufaktur alternatif.
Sebagai pimpinan, Indonesia sebenarnya bisa mengambil peran untuk berinisiatif menawarkan gagasan untuk didiskusikan, dinegosiasikan, dan berujung pada proses perdamaian.
Ganjar menambahkan, gagasan-gagasan itu juga harus didukung dengan kepemimpinan yang kuat di antara negara-negara kawasan. Kesempatan untuk menduduki posisi keketuaan dalam berbagai organisasi internasional semestinya Indonesia tidak sekadar menjadi penyelenggara acara. Indonesia juga harus berperan aktif hingga level pengambilan kebijakan.
”Dalam konteks kepemimpinan itu, kan, bukan sekadar menjadi EO (penyelenggara acara). Kepemimpinan adalah berperan sampai penentuan kebijakan,” kata Ganjar.
Ia mencontohkan, ketika menduduki posisi presidensi G20 semestinya Indonesia bisa lebih aktif membicarakan masalah-masalah yang melibatkan sejumlah negara yang sedang berkonflik. Sebagai pimpinan, Indonesia sebenarnya bisa mengambil peran untuk berinisiatif menawarkan gagasan untuk didiskusikan, dinegosiasikan, dan berujung pada proses perdamaian.
Begitu pula dalam konteks ASEAN. Menurut Ganjar, Indonesia berpotensi untuk mengoordinasikan politik pangan di kawasan tersebut. ”Kita mesti mengambil inisiatif untuk memimpin, (mengatakan) bahwa ASEAN bisa menjadi salah satu kawasan yang bisa menyuplai pangan. Maka, para diplomat kita minta untuk biara dengan beberapa negara penghasil, diseriusi, dan ada target waktunya untuk diwujudkan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri menjelaskan, arah kebijakan luar negeri para capres penting untuk diketahui sejak jauh-jauh hari. Sebab, saat ini kondisi global tengah mengalami berbagai perubahan. Ada sejumlah tantangan yang dihadapi dunia, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, negara-negara harus memulihkan diri dari berbagai dampak pandemi Covid-19. Sementara dalam jangka panjang, ada tantangan yang, antara lain, terkait dengan ekses negatif transformasi digital, transisi energi, dan perubahan iklim yang penyelesaiannya butuh kerja sama internasional dan kontribusi seluruh negara.
Namun, di tengah tantangan tersebut, rivalitas antarnegara besar semakin sengit. Kepercayaan antara negara satu dan lainnya juga kian menurun. Kompetisi yang terjadi antarnegara tidak hanya untuk menunjukkan kelebihan, tetapi juga untuk menjatuhkan negara lain.
Selain itu, saat ini posisi Indonesia sebagai kekuatan menengah juga semakin diperhitungkan di lingkup internasional. Kepemimpinan Indonesia di G20 sebenarnya telah memberikan daya ungkit yang lebih besar. Oleh karena itu, Indonesia ke depan dituntut untuk lebih berperan, salah satunya pada upaya perdamaian.
”Kami juga melihat relatif masih rendahnya perhatian domestik pada isu-isu luar negeri. Secara tradisional, isu luar negeri tidak menjadi hal krusial yang didiskusikan para capres di periode sebelumnya,” kata Yose. Padahal, di tengah dinamika global saat ini visi dan misi calon pemimpin nasional terkait isu luar negeri semakin krusial. Tidak hanya untuk menghadapi masalah, tetapi dengan bekal itu Indonesia juga bisa memanfaatkan berbagai kesempatan yang muncul di tengah konteks internasional.