Koalisi Masyarakat Sipil Pertanyakan Netralitas TNI di Pemilu 2024
Panglima TNI yang baru diminta tidak sekadar berjanji netral, tetapi membuktikan komitmennya dengan menindak tegas jajaran yang melanggar.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Sipil mempertanyakan netralitas TNI pada masa Pemilihan Umum 2024. Hal itu mengingat banyaknya aparat pertahanan dan keamanan negara mempunyai hubungan dekat dengan Presiden Joko Widodo pada saat putranya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi bakal peserta pemilihan presiden. Publik khawatir adanya mobilisasi alat negara demi memenangkan salah satu calon.
Presiden Jokowi telah mengusulkan Kepala Staf TNI AD (KSAD) Jenderal Agus Subiyanto sebagai calon tunggal Panglima TNI. Agus yang baru dilantik menjadi KSAD pada 25 Oktober 2023 diusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menggantikan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang akan memasuki masa pensiun pada 26 November 2023.
Saat Jokowi menjabat sebagai Wali Kota Surakarta, Agus merupakan Komandan Distrik Militer (Dandim) 0735/Surakarta tahun 2009-2011. Kemudian, para periode kedua Jokowi menjadi Presiden, tepatnya pada 2020-201, Agus bertugas sebagai Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres).
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Dimas Bagus Arya Saputra mengatakan, fenomena pemilihan orang-orang dekat Presiden untuk mengisi sejumlah posisi strategis dalam pertahanan dan keamanan telah memicu beragam spekulasi, termasuk kepentingan politis. Apalagi, pengajuan Agus sebagai calon tunggal Panglima TNI kepada DPR diputuskan kurang dari sepekan setelah ia dilantik menjadi KSAD.
”Ada hubungan yang bisa ditarik, korelasinya cukup intim, fenomena all Jokowi's men (semua anak buah Jokowi). Ini menambah bagaimana kegetiran konflik kepentingan di Indonesia. Apalagi, juga ada putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang kontroversial, terang-terangan dipertontonkan konflik kepentingannya,” ujar Dimas dalam diskusi bertajuk ”Catatan Kritis untuk Calon Panglima TNI” secara daring di Jakarta, Senin (6/11/2023).
Selain Agus, ada pula Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo juga disebut sebagai orang dekat Presiden Jokowi. Listyo pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Resor Kota (Kapolresta) Solo pada 2011. Saat yang sama Jokowi menjabat sebagai Wali Kota Surakarta. Kemudian pada 2014, saat Jokowi pertama kali terpilih sebagai Presiden, Listyo diangkat menjadi ajudan Presiden.
Kondisi itu, menurut Dimas, memicu kekhawatiran penyalahgunaan alat negara untuk kepentingan tertentu. Hal ini mengingat putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi bakal calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan.
Panglima TNI yang baru diharapkan tidak sekadar mengucapkan netralitas, tetapi membuktikannya. Komitmennya harus bisa ditunjukkan dengan keberanian untuk menindak tegas jajarannya yang melanggar asas netralitas
Dimas menilai jumlah prajurit TNI yang besar dan jangkauan hingga perdesaan serta wilayah terluar dan perbatasan Indonesia membuka peluang pelanggaran asas netralitas. Sebab, menurutnya, pengawasan prajurit tidak optimal.
Pengalaman pada Pemilu 2014 menjadi salah satu contohnya. Saat itu, anggota Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang mendatangi rumah-rumah warga untuk mendata dan mengarahkan memilih kandidat tertentu.
”Panglima TNI yang baru diharapkan tidak sekadar mengucapkan netralitas, tetapi membuktikannya. Komitmennya harus bisa ditunjukkan dengan keberanian untuk menindak tegas jajarannya yang melanggar asas netralitas, sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,” ucapnya.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani juga menduga pergantian Panglima TNI diwarnai motif dan tujuan tertentu yang mengarah pada politik praktis. Hal ini mengingat kedekatan yang terjalin antara Jokowi dan Agus.
Pola pergantian yang berbasis pada pragmatis-politis dinilai Julius berbahaya karena TNI rentan dipolitisasi. Hal itu juga dikhawatirkan akan menggerus profesionalitas, merusak soliditas, dan mengabaikan tujuan reformasi. Menurut dia, pergantian Panglima TNI sebaiknya lebih substantif dengan menekankan kapasitas dan kapabilitas dalam memimpin TNI.
”Presiden perlu mencermati rekam jejak, prestasi, kompetensi, dan integritas, termasuk bebas dari dugaan korupsi, pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Dalam konteks ini, Presiden bisa meminta masukan dari berbagai pihak, seperti Komnas HAM, Kontras, dan lainnya,” kata Julius.
Di sisi lain, peneliti pertahanan dan keamanan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Diandra Mengko, berharap pada uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon Panglima TNI. DPR perlu memastikan Agus Subiyanto punya komitmen untuk netral dalam pemilu.
Ke depan, sistem prestasi (merit system) juga harus diutamakan dalam penentuan Panglima TNI dan Kepala Staf TNI tiap matra. ”Di luar negeri, pertimbangannya pernah operasi ini, operasi itu. Di Indonesia, pernah jabat ini pernah jabat itu. Dengan sistem merit, pemilihan bukan berdasar siapanya siapa, dekat sama siapa, melainkan dengan apa yang bisa mereka lakukan,” terangnya.
Menurut Diandra, risiko tarik-menarik terhadap prajurit TNI dalam pemilu akan selalu ada. Hal ini mengingat militer di Indonesia terlibat dalam penyelenggaraan pemilu. Lalu, ada juga komando teritorial yang sejak dulu digunakan untuk mobilisasi suara pemilu, dan prajurit di jabatan sipil.
”Risiko-risiko pelanggaran itu terus ada dan meningkat. Apabila ditemukan prajurit tidak netral, itu tidak diurus di peradilan umum, tetapi peradilan militer. Korupsi aja tidak bisa (di peradilan umum), apalagi pelanggaran netralitas. Politisasinya tinggi? Ya tinggi,” ungkapnya.