Achsanul Qosasi Menambah Insan BPK Terjerat Korupsi
Penetapan anggota III BPK, Achsanul Qosasi, sebagai tersangka korupsi pada proyek BTS 4G merupakan akumulasi dari upaya pelemahan dan politisasi lembaga pemeriksa keuangan negara.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penetapan anggota III Badan Pemeriksa Keuangan, Achsanul Qosasi, sebagai tersangka dalam dugaan korupsi proyek pembangunan base transceiver station atau BTS 4G Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika oleh penyidik Kejaksaan Agung, menambah pegawai BPK yang terjerat kasus korupsi. Mengingat peran BPK yang sentral dalam pemberantasan korupsi, sepatutnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK direvisi agar proses pemilihan anggota BPK dilakukan oleh panitia seleksi yang independen.
Sebelum Achsanul terdapat sejumlah nama pegawai BPK yang terjerat kasus korupsi. Misalnya, pada April 2021, mantan anggota IV BPK, Rizal Djalil, divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Rizal dinilai terbukti menerima 100.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 1 miliar dari Komisaris Utama PT Minarta Dutahutama Leonardo Jusminarta Prasetyo.
KPK juga mengungkap praktik jual-beli opini pada audit pemeriksaan laporan keuangan yang melibatkan Ali Sadli dan Rochmadi Saptogiri sebagai auditor BPK pada Mei 2017. Keduanya diciduk dalam operasi tangkap tangan. Keduanya menerima suap agar memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Kemendesa PDTT tahun anggaran 2016. Ali Sadli divonis 6 tahun penjara dan Rohmadi dihukum 7 tahun penjara pada Maret 2018.
Achsanul Qosasi ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Kejaksaan Agung pada Jumat (3/11/2023) terkait dugaan penerimaan Rp 40 miliar dalam kasus korupsi proyek BTS 4G Bakti Kemenkominfo. Korupsi pada proyek pembangunan BTS 4G ini merugikan keuangan negara sebesar Rp 8 triliun.
Menurut Kejagung, diduga Achsanul menerima aliran dana Rp 40 miliar dari Komisaris PT Solitech Media Sinergy Irwan Hermawan melalui Windy Purnama dan Sadikin Rusli pada 19 Juli 2022 pukul 18.50 bertempat di Hotel Grand Hyatt.
Sebelum menjabat sebagai anggota III BPK, Achsanul pernah menjabat sebagai anggota VII BPK periode 2014-2017. Hingga sebelum 2014, ia merupakan Wakil Ketua Fraksi Demokrat di DPR.
Dengan ditetapkannya Achsanul sebagai tersangka, penyidik Kejaksaan Agung telah menetapkan 16 orang sebagai tersangka dalam korupsi proyek pembangunan BTS 4G, termasuk bekas Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate. Tersangka lainnya terdiri dari Direktur Bakti Kemenkominfo Anang Achmad Latif, Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia Galubang Menak, sejumlah tenaga ahli, komisaris, pihak swasta, dan tenaga ahli dari perguruan tinggi juga ditetapkan sebagai tersangka.
Pengamat Politik Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Vishnu Juwono, di Jakarta, Jumat (3/11/2023) malam, mengatakan, penetapan Achsanul merupakan akumulasi dari upaya pelemahan dan politisasi lembaga pemeriksa keuangan negara. ”Kalau dulu komisaris dan auditor berasal dari latar belakang keuangan dan profesional, sekarang banyak diisi oleh mantan politisi dan anggota DPR,” katanya.
Penetapan Achsanul merupakan akumulasi dari upaya pelemahan dan politisasi lembaga pemeriksa keuangan negara.
Hal senada diungkapkan peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola. Menurut dia, penangkapan kondisi memprihatinkan di BPK hari ini sesungguhnya tidak mengejutkan, terutama karena desain kelembagaan lembaga audit negara ini sejak awal tersandera kepentingan politik.
”Saat ini kelima anggota lembaga audit negara merupakan kader partai politik. Artinya, BPK tidak lagi independen, terutama dalam hal memeriksa akuntabilitas keuangan negara,” katanya.
Alvin menyebutkan, karena sarat konflik kepentingan, akhirnya BPK tidak mampu menghasilkan produk audit yang bebas dari kepentingan. ”Sangat mungkin—seperti yang terjadi dalam kasus AQ—stempel LHP BPK dimanfaatkan untuk menjustifikasi kepentingan politik, bukan berangkat dari semangat penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Hasil audit BPK pada akhirnya juga rentan diselewengkan,” katanya.
Karena peran BPK yang sentral dalam pemberantasan korupsi, sudah sepatutnya untuk segera merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK agar proses pemilihan itu dilakukan oleh panitia seleksi yang independen. Model pengawasan internalnya pun perlu lebih diperkuat.
Penetapan Achsanul Qosasi sebagai tersangka, menurut Vishnu, membuka mata masyarakat Indonesia bahwa lembaga audit keuangan rawan terhadap kasus korupsi. Ia juga mendorong agar kasus ini menjadi pintu masuk untuk membongkar lebih dalam upaya pelemahan dan politisasi BPK.
Terkait dengan kasus korupsi pada proyek BTS 4G, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rohman, mengatakan, perjalanan kasus BTS 4G Bakti Kemenkominfo menunjukkan bahwa proyek ini sejak awal diniatkan untuk korupsi. Hal itu terlihat dari pengondisian siapa saja yang akan mengerjakan proyek.
”Proses tender hanyalah formalitas. Kajian dilakukan dengan bantuan lembaga akademik hanya bentuk stempel (pengesahan) dari rencana yang sudah dilakukan antara Bakti, Kemenkominfo, dan badan usaha yang tergabung konsorsium,” ujarnya.
Selain itu, menurut dia, proses penyusunan aturan dan perencanaan sejak awal sudah disesuaikan dengan kesepakatan-kesepakatan antara Bakti, Kemenkominfo, dan badan usaha yang tergabung dalam konsorsium dan para pelaksana pekerjaan.
Masalah ini semakin parah ketika dalam pelaksanaannya perusahaan-perusahaan pemenang tender tidak berhasil merealisasikan kontrak. Sejauh ini, dari 4.000 BTS yang direncanakan Kemenkominfo, hanya terpasang 985 BTS. Karena BTS tidak berfungsi dengan baik, kemudian ada kerugian negara yang mencapai sekitar Rp 8 triliun.
Zaenur mengapresiasi upaya Kejagung dalam mengungkap kasus ini. Namun, menurut dia, proses pemeriksaan tidak boleh berhenti sampai di sini. Aparat penegak hukum harus melanjutkan pemeriksaan terhadap sejumlah pihak yang disebut di dalam pengadilan.
Pihak-pihak yang belum tersentuh, menurut Zaenur, terdiri dari kluster politisi, termasuk anggota Komisi I DPR yang disebut dalam pengadilan. Selain itu, ada kluster perusahaan dan juga tokoh publik seperti Dito Ariotedjo yang disebut menerima Rp 27 miliar terkait korupsi BTS.