Gelar Sidang Cepat Pengujian Ulang Syarat Usia Capres-Cawapres
Hingga saat ini ada tiga pemohon yang meminta MK membatalkan putusan 90 terkait dengan syarat usia capres-cawapres melalui pintu uji materi Pasal 169 huruf q UU No 7/2017.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi memang tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan putusan 90/PUU-XXI/2023 yang memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden. Namun, Majelis Kehormatan bisa memerintahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa kembali perkara yang dimaksud.
Perintah Majelis Kehormatan tersebut menjadi pintu masuk bagi upaya untuk memperbaiki putusan yang diduga oleh sebagian kalangan sarat dengan konflik kepentingan mengingat Ketua MK Anwar Usman memiliki hubungan kekerabatan dengan Gibran. Apalagi, saat ini sudah ada satu perkara yang akan segera disidangkan pekan depan.
”Jadi, sebenarnya (kasus ini) sudah terang banget. Kita butuh palu yang bilang cepetan dong. Nanti MK yang memutus Pasal 169 huruf q lagi, MKMK yang mendorong. Kalau enggak (didorong oleh MKMK), di MK sekarang seperti tidak ada apa-apa,” ujar pengajar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, saat dihubungi pada Kamis (2/11/2023).
Bivitri mengungkapkan, Majelis Kehormatan tidak punya kewenangan untuk menilai sah atau tidaknya putusan MK, apalagi memperbaiknya. Ia tidak sepakat dengan pandangan Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang disampaikan di dalam permohonannya yang meminta MKMK untuk menyatakan putusan 90 tidak sah.
”Ini merusak sistem. MKMK kayak lembaga PK (peninjauan kembali) lagi. Nanti semua orang bisa PK putusan ke MKMK,” kata Bivitri.
Oleh karena itu, ia mendorong agar MKMK di dalam amar putusan atau setidaknya di dalam pertimbangan merekomendasikan MK untuk memeriksa ulang pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Sebab, sudah ada perkara pengujian pasal syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden yang saat ini sudah didaftarkan ke Kepaniteraan MK.
Hingga saat ini, ada tiga pemohon yang meminta MK untuk membatalkan putusan 90 melalui pintu uji materi Pasal 169 huruf q UU No 7/2017.
Perkara tersebut diajukan oleh seorang mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Brahma Aryana, yang diregister dengan nomor perkara 141/PUU-XXI/2023; lima warga Surakarta, Jawa Tengah, Fatikhatus Sakinah, yang didaftarkan pda 27 Oktober; dan Heri Purwanto dkk yang didaftarkan pada 31 Oktober. Dua permohonan terakhir belum diregister.
Menurut Bivitri, pengujian kembali pasal syarat minimal usia capres dan cawapres sangat mungkin dilakukan secara cepat. Pada tahun 2009, MK pernah mengeluarkan putusan dalam hitungan beberapa jam terhadap permohonan yang diajukan oleh Refly Harun terkait dengan penggunaan KTP untuk mencoblos.
”Di tahun 2009, satu hari bisa keluar putusan. Karena kalau dari segi hukum, perkara ini, kan, sudah terang banget. Kalau dengan delapan hakim saat ini, posisinya udah empat. Apalagi kalau nanti di dalam putusan MKMK juga memasukkan bahwa sebenarnya yang concurring ini lebih dekat ke yang tidak setuju,” kata Bivitri.
Seperti diketahui, perkara 90 diputus dengan komposisi 5 hakim mengabulkan sebagian, 4 hakim menolak. MK menambahkan frasa dalam ketentuan syarat usia capres dan cawapres dengan ”pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah”.
Namun, dari varian hakim yang mengabulkan sebagian permohonan Almas, Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P Foekh mengungkapkan bahwa kepala daerah yang dimaksudkan adalah setingkat gubernur. Menurut Enny, kriteria gubernur itu pun perlu diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Sementara itu, kuasa hukum perkara 141, Victor Santoso Tandiasa, menyayangkan sikap Kepaniteraan MK yang terkesan menunda-nunda dalam meregistrasi dan menjadwalkan persidangan perkaranya. Ia telah mendaftarkan permohonan uji materi Pasal 169 huruf q UU Pemilu itu pada 23 Oktober, kemudian diregistrasi pada 25 Oktober. Kepaniteraan MK menjadwalkan sidang perdana pada 8 Oktober.
Dalam perbincangan dengan Kompas, Viktor mempertanyakan mengapa perkaranya lama sekali untuk mendapatkan jadwal sidang. Padahal, perkara yang diregistrasi satu angka di bawahnya, perkara 140, sudah disidangkan pada 2 Oktober.
”Perkara 141 dari diregistrasi hingga ke sidang dibikin full 14 hari,” kata Viktor.
Menurut dia, MK seharusnya bertindak cepat. Sebab, ada urgensi penanganan perkara 141 terkait dengan penetapan calon presiden dan calon wakil presiden yang berpengaruh pada legitimasi pemilu. Kepaniteraan MK seyogianya sensitif melihat urgensi perkara.
”Itu kenapa kami mendesak untuk dipercepat. Perbaikan pun lagi kami siapkan untuk bisa dimasukkan setelah sidang,” kata Viktor
Dalam permohonannya, Viktor meminta perkara ini disidangkan tanpa hakim konstitusi Anwar Usman. Adapun amar putusan yang ia minta adalah membatasi kepala daerah yang bisa mencalonkan diri sebagai capres/cawapres hanya untuk tingkat provinsi atau gubernur.
Solusi
Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dalam persidangan MKMK saat menanggapi adanya permohonan uji materi nomor 141 mengungkapkan, pemeriksaan perkara tersebut merupakan solusi atas permintaan mayoritas pelapor etik yang menginginkan putusan 90 dibatalkan dan dinyatakan tidak sah.
”Ini solusi. jadi cepat sehingga MKMK tidak dibebani untuk menilai putusan. MK sendiri ini nanti yang memutus dengan majelis yang berbeda. Persis seperti yang ditulis dan diatur dalam Pasal 17 Ayat (7), itu mekanisme di UU Kekuasaan Kehakiman,” kata Jimly.
Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman mengatur, apabila seorang hakim tidak mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara, padahal memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung terhadap perkara tersebut, maka putusan tidak sah. Terhadap hakim tersebut bisa dikenai sanksi administratif atau dipidana. Untuk perkaranya, harus diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda (Ayat 7).
Jimly mengungkapkan, Pasal 17 Ayat (7) UU Kekuasaan Kehakiman belum pernah diterapkan sejak undang-undang tersebut berlaku tahun 2009. Apabila nanti pasal tersebut diterapkan untuk perkara 90, hal itu menjadi landmark decision atau leading case atau putusan yang dijadikan acuan atau panduan hakim lain untuk menghadapi perkara yang sama.
Baik Jimly, anggota MKMK, Wahiduddin Adams maupun Bintan R Saragih, menyimpulkan, ada dua hal yang dipersoalkan 20 pelapor saat melaporkan dugaan pelanggaran etik dalam penanganan perkara 90. Pertama, mempersoalkan perilaku hakim saat mengambil putusan, dan kedua akibat dari perilaku terhadap putusan yang dipersoalkan.
Dalam berbagai kesempatan, baik di persidangan maupun dalam wawancara dengan wartawan, Jimly mengungkapkan bahwa MKMK merupakan lembaga penegak kode etik. Sulit bagi MKMK untuk menilai putusan. Oleh karena itu, Jimly selalu meminta para pelapor untuk membuat argumentasi yang kuat bagaimana supaya MKMK bisa masuk ke ranah tersebut.