Majelis Kehormatan MK memeriksa dugaan perbuatan tercela Ketua MK Anwar Usman karena telah berbohong dalam penanganan perkara 90 seperti diungkap dalam ”dissenting opinion” hakim konstitusi Saldi Isra dan Arief Hidayat.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah menggelar sidang pembuktian atas dugaan konflik kepentingan, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi kali ini fokus memeriksa dugaan perbuatan tercela Ketua MK Anwar Usman karena dituding telah berbohong saat tidak ikut memutus perkara syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia, Partai Garuda, dan lima kepala daerah. Perbuatan tersebut menjadikan Anwar dinilai tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi sehingga layak untuk diberhentikan tidak dengan hormat.
Hal tersebut diungkapkan dalam pengaduan etik Anwar Usman yang dilakukan oleh Tim Advokasi Peduli Pemilu (TAPP).
”Ada dua pelanggaran etik yang dilakukan oleh Anwar Usman, yaitu pernyataan bohong mengenai alasan tidak hadir di rapat permusyawaratan hakim perkara 29-51-55/PUU-XXI/2023 dan yang kedua keikutsertaan hakim terlapor dalam pemeriksaan putusan perkara 90-91/PUU-XXI/2023 karena ada konflik kepentingan,” ujar Gugum Ridho Putra dari TAPP dalam sidang pembuktian dugaan pelanggaran etik oleh Majelis Kehormatan MK, Rabu (1/11/2023).
Pernyataan bohong tersebut, menurut Gugum, ditemukan dalam pendapat berbeda atau dissenting opinion hakim konstitusi Saldi Isra dan Arief Hidayat di putusan 90. Meskipun ada penyebutan nama yang berbeda di mana Saldi menyebut langsung nama Anwar Usman dan Arief menyebut dengan panggilan Pak Ketua, didapati ada dua pernyataan yang berbeda dari hakim terlapor, dalam hal ini Anwar Usman.
Saldi Isra menyebutkan alasan ketidakhadiran Anwar dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk perkara 29-51-55 guna menghindari konflik kepentingan. Namun, kepada Arief Hidayat, alasan ketidakhadiran dalam RPH untuk perkara yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia, Partai Garuda, dan lima kepala daerah tersebut lebih karena alasan kesehatan.
”Dugaan pernyataan bohong itu disampaikan di sana. Perbuatan bohong ini melanggar kode etik hakim konstitusi Sapta Karsa Hutama, dalam hal ini melanggar prinsip integritas,” kata Gugum.
Terkait dengan konflik kepentingan yang dilakukan Anwar saat turut memeriksa dan memutus perkara 90, hal itu melanggar kode etik, khususnya prinsip ketidakberpihakan.
Dua perbuatan Anwar tersebut dinilai oleh TAPP memenuhi kualifikasi pelanggaran, yaitu perbuatan tercela dalam bentuk pernyataan bohong soal ketidakhadiran dalam RPH perkara 29-51-55, pelanggaran sumpah jabatan, terbukti tidak lagi memenuhi syarat menjadi hakim konstitusi, dan terbukti melanggar kode etik. Atas perbuatannya itu, TAPP meminta Anwar diberhentikan tidak dengan hormat.
Ketua Majelis Kehormatan MK Jimly Asshiddiqie mengungkapkan, pengaduan etik terkait kebohongan tersebut merupakan sesuatu yang baru yang tidak dilaporkan oleh para pelapor lain sebelumnya. ”Jadi, perilaku yang tadi dituduhkan adalah kebohongan. Pelapor lain belum menyebutkan hal ini. Anda mewakili pikiran publik,” kata Jimly.
Selain menyidangkan pengaduan TAPP, Majelis Kehormatan mendengarkan penjelasan dan pembuktian yang dilakukan oleh LBH Barisan dan Relawan Jalan Perubahan (Bara JP) serta Advokat Pengawal Konstitusi.
Ronald Pasaribu dari Bara JP mempersoalkan putusan MK, terutama putusan 90, yang dinilai sudah final dan mengikat. Bagi Bara JP, putusan yang final dan mengikat adalah putusan yang sah. ”Majelis Kehormatan cukup menyatakan si terlapor sebagai hakim telah melakukan pelanggaran dan pelanggaran itu mengakibatkan putusan tidak sah,” kata Ronald.
Jadi, perilaku yang tadi dituduhkan adalah kebohongan. Pelapor lain belum menyebutkan hal ini. Anda mewakili pikiran publik.
Selanjutnya, Majelis Kehormatan tinggal membiarkan masyarakat yang memberi penilaian. ”Tentu ke depan, ini akan jadi permasalahan, ini akan mengganggu transisi kepemimpinan nasional. Untuk itu, MKMK harus tegas agar tidak ada celah hukum yang dimanfaatkan oknum yang tidak bertanggung jawab,” ungkapnya.
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (kiri) memenuhi panggilan sidang etik dengan agenda pemeriksaan dirinya sebagai terlapor oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi di Gedung 2 Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (31/10/2023).
Bara JP meminta agar MKMK menyatakan putusan 90 cacat hukum karena hakim yang memeriksa tidak bisa membatasi dirinya dari konflik kepentingan terhadap keluarganya. ”Dengan sendirinya, putusan itu tidak sah. Daripada nanti, Yang Mulia, kita akan menuai badai pada saat pemilu,” ujar Ronald.
Menanggapi permintaan tersebut, Jimly mengungkapkan bahwa UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa putusan MK merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir serta bersifat final dan mengikat. Namun, ia juga menyadari bahwa Pasal 17 Ayat (7) UU Kekuasaan Kehakiman memungkinkan adanya perubahan putusan.
”Dalam bertentangan (seperti itu), yang berlaku yang mana,” tanya Jimly.
Ronald mengatakan, ada jalan tengah yang bisa diambil MKMK yang merupakan majelis etik yang memeriksa masalah perilaku. ”Kalau sudah jelas-jelas perilaku (hakim) tidak benar, tentu norma yang dihasilkan oleh yang tidak benar itu juga tidak benar,” katanya.
Berkaitan dengan pertentangan UU Kekuasaan Kehakiman dengan UUD 1945, ia menyampaikan bahwa UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan putusan menjadi tidak sah ketika ada pelanggaran konflik kepentingan dari hakim pemutus.
”Ketika putusan tidak sah, apakah putusan itu final dan mengikat? Maka tadi saya sampaikan, putusan yang final dan mengikat adalah putusan yang sah yang sesuai dengan UU Kekuasaan Kehakiman,” tegas Ronald kembali.
Ia pun meminta MKMK untuk menempatkan moral di atas hukum. Sebab, apabila produk hukum dilahirkan oleh orang yang tidak bermoral, produk tersebut tidak boleh mengikat bagi masyarakat.
Saat ini, Majelis Kehormatan MK menerima sebanyak 19 pengaduan atau bertambah satu dari hari sebelumnya. Pengaduan terakhir dilakukan oleh BEM Universitas Nahdlatul Ulama pada Rabu.