TII Menilai Pensiun Dini PLTU Berpotensi Korupsi
Risiko korupsi dalam pensiun dini PLTU batubara muncul jika proses pembuatan kebijakan tidak transparan, tidak melibatkan partisipasi publik, serta ada konflik kepentingan antara pemerintah dan perusahaan.
Lampu menerangi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sintang di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Minggu (10/10/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Transparency International Indonesia menilai terdapat potensi korupsi dalam rencana pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batubara yang dicanangkan oleh pemerintah. Potensi korupsi itu terjadi mulai dari proses pembuatan kebijakan, implementasi program, hingga pasca-pelaksanaan program pensiun dini PLTU.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Danang Widoyoko mengatakan, potensi korupsi dalam rencana pensiun dini PLTU harus menjadi perhatian bersama karena 40 dari 90 perusahaan PLTU di Indonesia dimiliki oleh direksi dan komisaris yang terkait dengan oligarki politik.
”Ini membuka peluang pendanaan politik. Oligarki politik dapat memengaruhi keputusan pemerintah,” katanya dalam diskusi ”Mencegah Korupsi dalam Skema Pensiun Dini PLTU di Indonesia”, di Jakarta Pusat, Selasa (31/10/2023).
Danang menyebutkan, oligarki politik merupakan fenomena yang terjadi di banyak negara, termasuk di Indonesia. Di negara dengan hukum yang lemah, aktor-aktor yang terlibat dalam oligarki politik menggunakan sistem hukum dan politik untuk mempertahankan kekayaan. Oleh karena itu, transparansi kebijakan sangat dibutuhkan untuk memastikan rencana pensiun dini terhadap sejumlah PLTU tidak dibuat untuk menguntungkan sekelompok orang saja.
Rencana pensiun dini PLTU muncul setelah Pemerintah Indonesia dan International Partners Group (IPG) menandatangani nota kesepahaman dan meluncurkan program Just Energy Transition Partnership (JETP). Dalam MoU itu, Indonesia berkomitmen mencapai target bebas emisi (net-zero emissions /NZEs) di bidang ketenagalistrikan pada 2050.
Untuk mencapai target ini, konsorsium IPG merekomendasikan penghentian pembangunan PLTU batubara baru di Indonesia mulai 2021 dan seterusnya, meningkatkan pembangunan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan, serta menutup lebih awal (pensiun dini) PLTU.
Rencana pensiun dini PLTU kemudian dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Listrik. Perpres tersebut mengatur tentang penyusunan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan penyusunan peta jalan (road map) pensiun dini PLTU.
Penutupan lebih awal PLTU dibutuhkan karena beberapa alasan, seperti dampak kerusakan lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Di sisi lain, penutupan ini membutuhkan dana publik yang besar dan akan menjadi beban masyarakat di masa depan. Selain itu, terdapat pula potensi korupsi mengingat ada kepentingan batubara dalam peta kekuasaan di Indonesia.
Peneliti TII-Ranang Strategic Mumu Muhajir menyebutkan, pensiun dini PLTU memberikan potensi korupsi sejak proses pembuatan kebijakan, implementasi, hingga pascaprogram. Dalam tahap pembuatan kebijakan, ada risiko korupsi dalam proses penentuan kriteria, lokasi, jenis teknologi, dan umur PLTU. Selain itu, potensi korupsi pada tahapan ini juga muncul dalam rencana pendanaan dan penggunaan aset pascapensiun dini.
Dalam implementasi pensiun dini, potensi korupsi muncul dalam proses pemilihan PLTU, proses pendanaan, pemberian fasilitas negara, pengaturan tenaga kerja, dan pengaturan kewajiban terhadap komunitas. Potensi korupsi pascapensiun dini muncul ketika pemilik perusahaan melaksanakan kewajibannya terhadap negara, tenaga kerja, dan masyarakat.
Mumu menjelaskan, risiko korupsi ini terjadi jika proses pembuatan kebijakan tidak transparan, tidak melibatkan partisipasi publik, dan ada konflik kepentingan di antara pemerintah dan perusahaan. ”Dalam implementasi, potensi korupsi muncul ketika ada proses tender atau penunjukan langsung yang tidak transparan sehingga membuka peluang suap, serta tidak ada transparansi dalam kompensasi terhadap masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, menurut dia, tanggung jawab perusahaan pada lingkungan dan masyarakat tidak bisa diabaikan. ”Kami melihat ada PLTU yang sangat tua, yang menyebabkan polusi. Kalau ditutup, lantas bagaimana tanggung jawab terhadap lingkungan dan masyarakat terdampak? Ini harus dibereskan terlebih dahulu, sebelum ditutup,” katanya.
Pensiun dini PLTU merupakan hal yang pertama kali dilakukan di Indonesia. Sejauh ini, hanya empat negara yang punya pengalaman menutup PLTU, yaitu AS, Filipina, India, dan Chile. Keempat negara itu punya proses penutupan PLTU berbeda dengan di Indonesia.
Kalau di Indonesia pensiun dini dilakukan karena ada perintah negara (mandatory action) dengan pembiayaan dari pihak lain dan negara menjadi penjamin. Dengan skema ini akan ada kebijakan penutupan atau pengurangan kapasitas dari PLTU dan ada proses pemilihan PLTU untuk dipensiundinikan. Selain itu, akan ada skema keuangan untuk mendukung program ini.
Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Amerika Serikat dan Belanda di mana pemilik perusahaan bertanggung jawab langsung terhadap penutupan PLTU. Di AS, pemerintah hanya bertugas memastikan tanggung jawab kepada pekerja, komunitas, dan kepastian pengganti listrik dilaksanakan oleh perusahaan. Hal serupa terjadi di Chile di mana penanggung jawab pensiun dini adalah pemilik perusahaan itu sendiri ataupun pihak lain.
Staf Fungsionalis di Direktorat Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi Ahmad Taher mengatakan, cukup sulit melihat potensi korupsi dalam penutupan PLTU karena program ini masih berproses dan belum dilaksanakan.
”Biasanya kami follow the money untuk tahu ada atau tidaknya korupsi. Karena proyek ini belum ada, kami harus memantau potensi dan titik-titik bisnis yang mungkin akan terpengaruh,” ujarnya.
Baca juga: Agenda Pemberantasan Korupsi Capres Belum Sentuh Akar Persoalan
Ia justru mempertanyakan mengapa alasan penutupan PLTU. Di sejumlah negara, penutupan PLTU disebabkan mereka sudah mempunyai sumber energi terbarukan atau karena memang PLTU sudah mendekati waktunya ditutup.
”Apakah ini memang karena isu lingkungan atau kita sekadar mengikuti tren? Jangan ikut-ikutan tren kalau kita memang belum punya cukup kapasitas atau sumber energi,” ucapnya.
Sementara itu, Manajer Transisi Energi PLN Arionmaro Asi Simaremare mengatakan, sejak 2021 PLN berkomitmen untuk mencapai net zero emission di tahun 2060. Untuk memenuhi target itu, PLN akan mengoperasikan PLTU batubara sampai akhir umur akuntansi PLTU.
Meskipun penutupan PLTU batubara punya tujuan positif, menurut dia dampak teknis terhadap sistem ketenagalistrikan harus diperhatikan. ”Dampak teknis itu mulai dari kecukupan daya, dukungan frekuensi, dan penurunan tegangan. Harus ada langkah-langkah untuk memitigasi dampak negatif ini sebelum implementasi pensiun dini PLTU bisa dilaksanakan,” katanya.