Berjibaku Sukseskan Pemilu di Luar Negeri
Dengan tingkat partisipasi pemilih 70 persen, penyelenggaraan pemilu di London tetap mengadapi tantangan, seperti jumlah pemilih tambahan yang lampaui kuota surat suara di tiap TPS.
Memasuki musim gugur, empat anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri atau PPLN London menempuh perjalanan udara dari London, Inggris, ke Dublin, Irlandia, Jumat (20/10/2023). Kehadiran Ketua PPLN London Denny Kurniawan dan kawan-kawan disambut sekitar 100 mahasiswa serta warga negara Indonesia yang tinggal di Irlandia.
Anggota PPLN London terdiri dari Farid Hadiaman, Tiffany Mihardja, Shaogi Syam, dan Kartini Makmur. Di Dublin, anggota PPLN London membagikan informasi mengenai pemutakhiran data, mekanisme pemilihan umum di luar negeri, dan daftar pemilih tetap (DPT).
Sebagian peserta sosialisasi, yang merupakan pemilih pemula, menyambut penjelasan anggota PPLN London dengan antusias. Sebagian peserta sosialisasi merupakan mahasiswa strata 1 (S-1) penerima beasiswa Indonesian International Student Mobility Award, program pemerintah untuk mendanai program mobilitas pelajar Indonesia ke universitas di luar negeri.
Lihat juga: Pemilu di Luar Negeri Rawan Kecurangan
Mahasiswa baru
Untuk menyemarakkan suasana, Denny memberikan kuis berkaitan dengan cara memilih surat suara sah. ”Ternyata 50 persen mahasiswa menjawab pertanyaan salah. Rupanya, karena pemilih pemula, banyak yang belum mengetahui cara memilih partai atau anggota partai dalam pemilu legislatif,” ujar Denny, saat dihubungi, Jumat (3/11/2023).
Setelah sosialisasi, anggota PPLN London membuka meja konsultasi untuk melayani pertanyaan-pertanyaan mengenai pemilu di luar negeri. Belasan orang mendekat ke meja untuk mengecek nama mereka dalam DPT. Sebagian orang kecewa karena nama mereka belum terdaftar dalam DPT. Ada juga mahasiswa yang bertanya proses pindah alamat karena nama mereka sudah telanjur terdaftar di DPT asal di Indonesia.
Masalah terkait DPT, misalnya, dihadapi oleh Nurulfitri (26), mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan S-3 di London. Ia heran namanya tidak ada dalam DPT, padahal ia sudah beberapa kali mengurus dokumen di Kedutaan Besar RI di London. Nu’un, panggilan akrab Nurulfitri, juga tak pernah mendapatkan informasi mengenai mekanisme pemilu di Inggris.
”Anehnya, selama ini saya selalu mendapatkan surel ucapan selamat ulang tahun dari KBRI London, tetapi soal pemilu malah tidak mendapatkan informasi apa-apa. Beberapa waktu lalu sudah mencoba daftar alamat pindah (untuk menggunakan hak suara pada pemilu), ternyata terlambat,” ujarnya.
Masalah serupa dihadapi Rezza (33), mahasiswa asal Indonesia di London. Ia baru memulai kuliah pada September 2023. Namanya telah terdaftar dalam DPT di daerah tempat tinggalnya di Jakarta sehingga tidak terdaftar dalam DPT di PPLN London.
Denny menyebutkan, masalah utama pemilu di London adalah terkait banyaknya mahasiswa baru yang memulai kuliah pada September 2023. Nama-nama mereka sudah terdaftar di DPT asal. Untuk menggunakan hak suara di negara tempat mereka menempuh pendidikan, mahasiswa itu harus mendaftarkan alamat bermukimnya di negara setempat. Pendaftaran alamat itu ditutup pada 20 Oktober 2023.
Denny kemudian merinci bahwa jumlah DPT di London tercatat 4.781 pemilih yang terbagi atas 3.462 pemilih yang tercatat di dua TPS London dan satu TPS Manchester serta 1.319 pemilih yang akan memperoleh surat suara dengan layanan pos.
Masalahnya, berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 14 Tahun 2023 seperti diatur dalam Pasal 7, surat suara yang dicetak untuk setiap TPS sesuai dengan jumlah pemilih di DPT ditambah 2 persen jumlah DPT untuk masing-masing jenis surat suara pemilihan presiden dan pemilu legislatif. Hal itu berlaku untuk TPS dalam negeri dan TPS luar negeri (TPSLN).
Dengan mengacu PKPU No 14/2023 itu, pemilih tambahan yang bisa dilayani di tiga TPS di London, seperti mahasiswa yang baru tiba di London saat ini, terbatas untuk 71 orang. Padahal, menurut Denny, hingga saat ini PPLN London, yang wilayah kerjanya mencakup Kerajaan Inggris dan Irlandia, telah menerima pendaftaran alamat bermukim di negara setempat dari 430 orang.
Masalah utama pemilu di London adalah terkait banyaknya mahasiswa baru yang memulai kuliah pada September 2023.
Baca juga: Data WNI dan Pemilu di Luar Negeri
Pemuktahiran alamat
Permasalahan lain, kata Denny, adalah pemilih yang dilayani dengan pos. Berkaca pada Pemilu 2019, partisipasi pemilu melalui pos di London sangat rendah. Hal itu disebabkan 3.142 dari 5.421 amplop berisi surat suara yang dikirimkan kepada pemilih kembali ke KBRI dalam keadaan utuh (return to sender). Hal itu terjadi karena kesalahan alamat atau alamat tidak dikenal. Belajar dari hal tersebut, PPLN London menyadari pentingnya pemutakhiran data alamat.
Setelah ada pemutakhiran data, kini terlihat jumlah pemilih yang menggunakan jasa pos sebanyak 1.319 pemilih. Angka ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pemilih dalam pemilu sebelumnya yang mencapai 5.421 pemilih. ”Meskipun jumlah pemilih melalui pos lebih sedikit, kami bisa pastikan jumlahnya riil karena berdasarkan data nama dan alamat yang didaftarkan secara mandiri oleh para pemilih,” katanya.
Denny menyebutkan, ada beberapa alasan yang membuat data tidak valid. Misalnya, banyak warga negara Indonesia yang tidak melakukan lapor diri ke KBRI saat tiba di negara tujuan atau tidak melapor ke KBRI saat kembali ke Tanah Air ketika masa studi atau kerjanya selesai.
Kebutuhan untuk menambah surat suara juga terjadi di PPLN Paris. Ketua PPLN Paris Jahudin mengatakan, Paris kedatangan 150-200 orang yang mengikuti program pertukaran mahasiswa selama satu tahun. ”Mahasiswa datang pada Agustus 2023. Mereka sudah terdata di DPT asal kota masing-masing. Kami sudah meminta penambahan surat suara, tetapi sampai sekarang belum diputuskan,” ujarnya.
Di Paris, terdapat 2.530 pemilih di DPT, terdiri dari 587 laki-laki dan 1.943 perempuan. Menurut Jahudin, kekhawatiran utama pemilu di Paris adalah membeludaknya orang yang namanya tidak terdata di DPT, tetapi ingin menggunakan hak suaranya. Ia khawatir surat suara tidak mampu memenuhi semua permintaan.
Baca juga: Bawaslu Soroti 20 Negara Rawan Saat Pemilu
Problem partisipasi
Permasalahan lain adalah tingkat partisipasi pemilih di luar negeri, seperti terekam pada Pemilu 2019, yang tergolong rendah. Partisipasi pemilih di luar negeri pada Pemilu 2019 sebesar 42,1 persen di pileg dan 42,54 di pilpres. Tingkat partisipasi itu terpaut jauh dari tingkat partisipasi pemilih di Indonesia. Pada 2019, partisipasi pemilih di seluruh wilayah Indonesia mencapai 81,69 persen untuk pileg dan 81,9 persen untuk pilpres.
Adapun data KPU menyebutkan DPT Pemilu 2024 di luar negeri 1.750.474 pemilih. Para pemilih tersebar di 128 titik dengan jumlah pemilih terbanyak di Asia, yaitu di Kuala Lumpur (447.258 pemilih), Taiwan (230.307 pemilih), Hong Kong (164.691 pemilih), Johor Bahru (119.491 pemilih), dan Singapura (106.515 pemilih).
Menurut Denny, angka partisipasi masyarakat di hari pemungutan suara sangat bergantung pada beberapa hal, seperti akurasi pendataan, penentuan tanggal pemungutan suara, dan penentuan lokasi TPS. ”Kami beruntung karena di London kebanyakan warga negara Indonesia adalah masyarakat yang punya latar belakang pendidikan baik sehingga partisipasinya cukup tinggi, yaitu di atas 70 persen,” katanya.
Meski partisipasi pemilu cukup tinggi, ada beberapa upaya yang dilakukan untuk meningkatkan jumlah pemilih di Pemilu 2024. Upaya itu, antara lain, dengan mengadakan pemungutan suara pada Sabtu, 11 Februari 2024, atau tiga hari lebih awal dari pemilu di dalam negeri yang akan dilakukan pada 14 Februari 2024.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, teman-teman PPLN yang tersebar di seluruh kantor-kantor perwakilan Indonesia di luar negeri sudah menyampaikan usulan tentang kapan hari pemungutan suara. Usulan hari pemungutan suara yang diajukan ke KPU disesuaikan dengan situasi di setiap negara yang akan dilakukan di TPSLN.
”Ada yang melakukan hari Jumat, Sabtu, ataupun Minggu (9-11/2/2024) yang menurut rencana dilakukan seusai waktu ashar hingga malam hari,” kata Hasyim.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, teman-teman PPLN yang tersebar di seluruh kantor-kantor perwakilan Indonesia di luar negeri sudah menyampaikan usulan tentang kapan hari pemungutan suara.
Baca juga: Melawan Politik Uang, Perkuat Pengawasan Partisipatif
Pengawasan ekstra
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Rahmat Bagja mengatakan, pengawasan ekstra untuk pemilu di luar negeri sangat dibutuhkan karena jumlah pemilih yang hampir 2 juta orang sangat berharga. ”Kami harap ada pengawasan optimal dan pemilu di luar negeri berjalan dengan baik,” katanya.
Belajar dari pengalaman Pemilu 2019, Bawaslu mewaspadai sembilan potensi masalah utama dalam pemilu di luar negeri. Masalah itu mulai dari akurasi data dalam DPT, penolakan warga terhadap pendirian TPS, penyalahgunaan wewenang aparatur sipil negara, hingga pengecekan alamat pemilih menggunakan pos.
Masalah lain terkait sulitnya memastikan lokasi TPS karena keterbatasan ruang atau halaman kedutaan besar; mekanisme pengamanan kotak suara sebelum, selama, dan setelah pemungutan suara; pengawas pemilu belum memahami alur kerja; distribusi logistik yang sulit diawasi; hingga masalah surat suara melalui pos.
Menurut Rahmat, kemungkinan pemilih menggunakan hak suara lebih dari satu kali sangat dikhawatirkan. Situasi itu kemungkinan terjadi di daerah-daerah perbatasan. ”Misalnya, ia liburan ke luar negeri. Di luar negeri ia menggunakan hak suaranya. Kemudian kembali di Indonesia, sampai di Indonesia memilih lagi,” katanya.
Terkait permintaan penambahan surat suara, menurut Rahmat, pihaknya telah berkoordinasi dengan KPU untuk menambah surat suara.
Dengan segala kerumitan yang ada, peran PPLN menjadi ujung tombak melancarkan penyelenggaraan Pemilu 2024. Antisipasi sejak dini, seperti pemutakhiran data, menjadi penting untuk menjamin seluruh warga negara Indonesia yang tengah berada di luar negeri bisa menggunakan hak suaranya, merayakan bersama hajatan demokrasi setiap lima tahun sekali ini.