Jelang Pemilu 2024, Elite Politik Belum Menjawab Kebutuhan Generasi Muda
Generasi muda yang menempati 50 persen jumlah pemilih masih diperhitungkan sebatas target suara. Sebaliknya, kebutuhan anak muda dari berbagai kelompok yang beragam masih diabaikan.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banyaknya jumlah pemilih muda berusia 17-39 tahun dI Pemilu 2024 disebut-sebut berpotensi menjadi kunci kemenangan pada kontestasi politik 2024. Namun, besarnya jumlah pemilih muda belum diiringi dengan keterwakilan kebutuhan generasi ini dalam wacana politik di Indonesia. Generasi muda masih dianggap sebagai target bagi pendulang suara, bukannya agen pembangunan dan perubahan sosial.
Berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional untuk Pemilu 2024, sebanyak 52 persen dari 204.807.222 pemilih merupakan pemilih muda atau mencapai 106.358.447 orang. Dari jumlah itu, pemilih berusia 17 tahun sebanyak 0,003 persen atau sekitar 6.000 jiwa. Pemilih berusia 17-30 tahun mencapai 31,23 persen atau 63,9 juta orang. Lalu disusul dengan pemilih usia 31-40 tahun sebanyak 20,70 persen atau sekitar 42,395 juta jiwa.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Fuadil 'Ulum, Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, mengatakan, karakteristik generasi muda diidentikkan dengan mereka yang mahir teknologi, hidup di daerah perkotaan, terpelajar, dan berasal dari keluarga kelas menengah. ”Padahal itu hanya sebagian kecil potret masyarakat di Indonesia. Masih banyak generasi muda yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah,” katanya di Jakarta, Sabtu (28/10/2023).
Setiap kelompok generasi muda punya masalah dan kepedulian yang berbeda. Misalnya, generasi muda yang hidup di perkotaan lebih peka pada masalah terkait polusi udara, kemacetan, keterbatasan ruang publik. Sementara mereka yang hidup di desa lebih peduli pada masalah pangan dan lapangan pekerjaan.
Dengan menyamaratakan karakteristik generasi muda, menurut Fuad, ada banyak kebutuhan generasi muda yang belum terwakili. Misalnya, terkait keterbatasan lapangan pekerjaan, dan kesulitan menjadi generasi sandwhich yang harus menanggung kebutuhan hidup generasi di atas dan di bawahnya dalam waktu bersamaan.
Sejauh ini, menurut Fuad, elite politik belum berhasil menjawab kebutuhan-kebutuhan generasi muda. Sebaliknya, tokoh politik justru berlomba-lomba merias dirinya untuk mengambil perhatian generasi muda dengan memakai jaket bomber, mengendarai motor gede, atau joget di TikTok. “Tetapi, apakah itu yang menjadi daya tarik bagi generasi muda? Langkah yang diambil elite politik masih pragmatis, belum hal esensial,” ujarnya.
Fuad menuturkan, pemilu seharusnya dipahami bukan sekedar aktivitas pemungutan suara, tetapi kesempatan untuk lebih mendengar dan memahami kebutuhan anak muda. Mengajak generasi muda untuk berpartisipasi dalam pemilu juga tidak terbatas dengan anjuran agar generasi muda menggunakan hak pilihnya.
Di sisi lain, generasi muda juga harus lebih aktif mengorganisir kelompoknya dan mengkomunikasikan kebutuhannya kepada calon legislatif baik di tingkat daerah dan nasional. Selain itu, generasi muda juga harus lebih aktif mengawasi baik jalannya pemilu maupun jalannya meperintahan setelah pemilu. “Kesadaran pemerintah untuk bisa mengakomodasi kebutuhan generasi muda dan tidak anti kritik juga dibutuhkan,” ujarnya.
Arya Fernandes Head of Department of Politics and Social Change at Centre for Strategic and International Studies, generasi di bawah 40 tahun masih ada kecenderungan sedikit lebih besar untuk mengubah pilihannya. ”Saya rasa mungkin karena generasi muda masih menunggu putaran kampanye dan debat calon presiden dan wakil presiden,” kata dia.
Ia juga menyebutkan ada kecenderungan anak muda yang tinggal di desa masih mungkin berubah pilihannya karena tidak mendapatkan paparan informasi yang pesat seperti mereka yang tinggal di daerah perkotaan.
Meskipun jumlah generasi muda mendominasi dalam Pemilu 2024, Arya memperkirakan pilihan generasi usia 17–39 tahun akan tersebar ke banyak partai dan elite politik. Penyebaran pilihan itu terjadi karena partai politik sudah sejak lama menghidupkan sayap-sayap organisasi yang menyasar generasi muda. Selain itu, dengan karakteristik dan kebutuhan generasi muda yang berbeda membuat preferensi politiknya juga berbeda.
Kezia Permata (25), karyawan swasta di Yogyakarta, antusias menyambut Pemilu 2024. “Aku antusias karena ini kaitannya dengan proses pergantian pemimpin Indonesia. Aku mau tahu ke depannya akan seperti apa. Aku juga pingin tahu (calon) pemimpin peduli isu apa,” ujarnya.
Selama ini, menurut Kezia, pilihan politiknya banyak terpengaruh teman-teman dekat dan keluarga. Tetapi, belakangan ini ia secara aktif mencari tahu sepak terjang para elite politik. Ia mencari tahu keterlibatan elite politik dengan sejarah masa lalu. ”Kalau lagi kampanye sekarang ini, pasti yang ditampilkan wajah-wajah yang baik. Padahal apa yang mereka lakukan pada masa lalu mempengaruhi bagaimana kepemimpinannya ke depan,” kata dia.
Banyak generasi muda yang skeptis atau tidak percaya dengan politik dan Pemilu 2024. Hal itu disebabkan karena generasi muda kerap menerima janji yang kemudian dilupakan oleh elite politik.
Ia mengakui banyak generasi muda yang skeptis atau tidak percaya dengan politik dan Pemilu 2024. Hal itu disebabkan karena generasi muda kerap menerima janji yang kemudian dilupakan oleh elite politik. ”Ketika kampanye, tokoh politik memberikan janji-janji yang kemudian tidak terealisasi, hal itu bikin kecewa. Generasi muda juga banyak terekspos dengan informasi, itu bikin banyak orang tidak percaya dengan pencitraan yang disampaikan oleh tokoh politik,” katanya.
Adit Sinaga (24), karyawan swasta di Jakarta, mengaku tidak terlalu peduli pada politik dan ia tidak terlalu antusias dengan Pemilu 2024. ”Mungkin karena sekarang lagi sibuk kerja jadi tidak terlalu ngikutin politik,” katanya.
Meski demikian, Adit mengatakan, banyak temannya yang sering membicarakan politik. Ia juga mengetahui berita terbaru mengenai situasi politik dari teman atau sosial media. Terkait Pemilu 2024, Adit mengaku belum menjatuhkan pilihan.