Syarat Usia Capres di UU Pemilu Kembali Dipersoalkan
Kali ini, Mahkamah Konstitusi diminta untuk membatasi mantan gubernur atau gubernur yang tengah menjabat yang dapat mencalonkan diri dalam pemilihan presiden.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menyusul dikabulkannya permohonan Almaas Tsaqqibirru dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, seorang mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Brahma Aryana, kembali menguji konstitusionalitas syarat usia calon presiden/wakil presiden. Brahma meminta Mahkamah Konstitusi mengubah putusan 90 dengan hanya membatasi mantan gubernur atau gubernur saja yang dapat mencalonkan diri dalam pemilihan presiden.
Didampingi kuasa hukumnya, Viktor Santoso Tandiasa dan Harseto Setyadi Rajah, Brahma mempersoalkan Pasal 169 Huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal tersebut sebelumnya sudah diperkarakan oleh 13 pihak, termasuk oleh Partai Solidaritas Indonesia, Partai Garuda, dan sejumlah kepala daerah.
Seperti diketahui, MK mengabulkan sebagian permohonan dari mahasiswa Universitas Surakarta, Almas Tsaqqibirru Re A, pengagum Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Norma Pasal 169 Huruf q UU No 7/2017 berubah menjadi ”Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Brahma, seperti dikutip dari berkas permohonan pada Selasa (24/10/2023), mengaku dirugikan oleh frasa ”yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” karena menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya terkait dengan Pemilu 2024. Pasalnya, keberadaan calon wakil presiden yang sedang duduk sebagai wali kota rentan digugat sehingga dapat menimbulkan persoalan dalam pemerintahan jika terpilih sebagai wakil presiden dalam pemilu.
Viktor menilai, ada persoalan dalam norma Pasal 169 Huruf q UU Pemilu yang sudah dimaknai oleh MK di dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023. Permasalahan ini terkait dengan posisi sembilan hakim konstitusi yang disebut tidak cukup kuat untuk mengabulkan permohonan 90.
Dalam putusan 90, Viktor menganalisis pendapat tiap-tiap hakim; tiga hakim (Anwar Usman, Guntur M Hamzah, dan Manahan MP Sitompul) sepakat mengabulkan permintaan Almaas dengan memberikan makna ”pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Adapun dua hakim yang mengajukan concurring opinon atau alasan berbeda dalam mengabulkan sebagian permohonan Almaas (Enny Nurbaningsih dan Daniel) memiliki varian berbeda. Enny mengabulkan berusia 40 tahun atau setidaknya berpengalaman menjadi kepala daerah tingkat provinsi di mana pengaturannya diserahkan pada pembentuk undang-undang. Sementara Daniel sepakat berusia 40 tahun atau sekurang-kurangnya pernah menjadi gubernur.
”Artinya apabila akan diambil kesepakatan untuk memaknai frasa ’pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’ amar putusan dalam perkara 90/PUU-XXI/2023 adalah pada pemilihan kepala daerah tingkat provinsi atau pada jabatan gubernur. Mengingat yang setuju pada tingkat di bawah gubernur hanya tiga hakim konstitusi, sementara yang setuju pada tingkat gubernur 5 hakim konstitusi,” ujar Viktor.
Dengan kondisi itu, Viktor pun meminta agar MK merevisi amar putusan 90/PUU-XXI/2023 menjadi ”Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepada daerah pada tingkat provinsi.”
Putusan MK tersebut juga dapat dimaknai telah membuka peluang bagi warga yang berusia 21 tahun untuk mencalonkan diri sebagai capres/cawapres, dengan catatan sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pilkada. Yang dimaksud dengan jabatan yang dipilih melalui pemilu juga mencakup anggota DPR, DPD, atau DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota.
”Hal tersebut tentunya dapat mempertaruhkan nasib keberlangsungan negara Indonesia yang memiliki wilayah sangat luas serta memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak, lebih kurang 280 juta jiwa,” Viktor.