Percepatan Pilkada Disepakati melalui Revisi UU, Sejumlah Fraksi Menolak
Semula, percepatan jadwal penyelenggaraan pilkada serentak nasional 2024 direncanakan melalui payung hukum perppu. Namun, kemudian berubah dengan merevisi UU Pilkada. Mengapa perubahan ini terjadi?
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Badan Legislasi DPR dikabarkan telah menyetujui percepatan jadwal penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak nasional dari semula November 2024 menjadi September 2024 melalui revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Meski demikian, tidak semua fraksi menyetujui percepatan tersebut.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Nasdem Willy Aditya menjelaskan, persetujuan oleh Baleg DPR diambil dalam rapat tertutup yang digelar pada Selasa (24/10/2023).
Dalam rapat tersebut, kata Willy, percepatan pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak nasional pada 2024 dilakukan agar tidak terjadi kekosongan jabatan di daerah.
Meski disetujui, menurut Willy, tidak semua fraksi sepakat atas percepatan tersebut. Fraksi Partai Nasdem, misalnya, menilai perubahan jadwal pilkada tidak terlalu mendesak. Ditambah lagi banyak hal yang harus dipertimbangkan. ”Saya Fraksi Partai Nasdem dalam hal ini menolak proses percepatan (pilkada) ini karena banyak hal yang kami pertimbangkan,” kata Willy, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (24/10/2023).
Seperti diketahui, pelaksanaan Pilkada 2024 diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam Pasal 201 Ayat (8) disebutkan, pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada November 2024.
Menurut Willy, dengan adanya percepatan pelaksanaan pilkada bisa berpotensi memunculkan kekisruhan dalam sistem tata negara di Indonesia. Ia melihat adanya kepentingan politik tertentu dengan mempercepat pembahasan RUU Pilkada ketika DPR masih dalam masa reses.
”Kami tidak bersepakat untuk proses ini bersidang di masa reses, yang kedua tidak sepakat pilkada dimajukan,” ujar Willy lagi.
Anggota Baleg DPR yang juga anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, mengatakan, fraksinya juga keberatan percepatan penyelenggaraan pilkada. Selain itu, ada kesan DPR terburu-buru membahas RUU Pilkada karena masih dalam masa reses. ”Kita sudah menentukan pada November tanggal 27 (pilkada serentak). Kalau mau revisi, ya, jauh-jauh hari, jangan sekarang. Kalau sekarang sangat rushing (tergesa-gesa) karena KPU perlu persiapan dan lain-lainnya,” tutur Ali.
Warga menunjukkan undangan untuk memilih sebelum menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada 2020 di TPS 06, Desa Tlogolele, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (9/12/2020).
Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di DPR Utut Adianto menjelaskan, awalnya perubahan jadwal pilkada serentak disepakati melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang diterbitkan presiden. Namun, setelah komunikasi dengan pemerintah, pemerintah lebih nyaman jika perubahan melalui revisi undang-undang. Selain itu, DPR ingin mempercepat pelaksanaan pilkada melalui revisi UU Pilkada.
Fraksi PDI-P pun setuju dengan percepatan pelaksanaan pilkada melalui revisi UU Pilkada.
”Poinnya yang diubah, kan, hanya satu, pengajuan waktu dari November ke September dan itu pun dari November ke September itu sudah disetujui di Komisi II DPR sesungguhnya. Jadi, enggak ada yang baru,” ujar Utut.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengkritisi proses persetujuan percepatan jadwal pilkada. ”Karena revisi UU Pilkada terkait politik legislasi pelaksanaan pilkada, saya kira sudah seharusnya proses pembahasan melibatkan publik,” ucap Lucius.
Tak hanya itu, ia juga menilai waktu penyelenggaraan pilkada pada November 2024 sudah tepat dengan mempertimbangkan tahapan pemilu serentak 2024.
”Penyelenggara pemilu tak perlu tergesa-gesa. Kalau dimajukan ke September, maka akan terjadi penumpukan kegiatan penyelenggara pemilu yang bisa berakibat pada rendahnya kualitas proses pilkada,” katanya.