Menakar Peluang Perempuan di 2024
Bagi perempuan, ada banyak kendala untuk terjun di politik, terutama politik berbiaya tinggi dan problem kultural.
Persoalan kuota 30 persen keterwakilan perempuan sempat menjadi isu hangat di publik saat Komisi Pemilihan Umum mengeluarkan aturan pembulatan ke bawah untuk menghitung persentase keterwakilan tersebut dalam daftar calon anggota legislatif. Kebijakan tersebut sangat merugikan perempuan politisi.
Saat ini, di tengah hiruk-pikuk pencalonan presiden dan wakil presiden, sosok perempuan pun tidak juga menjadi pilihan partai politik meski beberapa nama sempat digadang-gadang menjadi calon pendamping bakal calon presiden tertentu. Kondisi tersebut memunculkan pertanyaan, apakah perempuan politisi di negeri ini sekadar menjadi pemeran figuran.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca juga: Ruang Politik bagi Perempuan Harus Diciptakan Bersama
Isu ini diperbincangkan secara hangat di dalam bincang-bincang Satu Meja The Forum dengan tema ”Pilpres 2024, Politisi Perempuan Berperan atau Figuran?” yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, disiarkan di KompasTV, Rabu (18/10/2023) malam. Hadir dalam acara tersebut sembilan perempuan politisi, antara lain Oky Asokawati dari Partai Nasdem, Nihayatul Wafiroh dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Sumiyati dari Partai Buruh, Diah Pitaloka dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), serta Dahlia Umar dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Selain itu, ada pula Christina Ariyani dari Partai Golkar, Rahayu Saraswati dari Partai Gerindra, Zita Anjani dari Partai Amanat Nasional (PAN), dan Ratu Ratna Damayani dari Partai Gelora Indonesia.
Diakui, ada sejumlah problem yang menghadang perempuan saat terjun di dunia politik. Hal itu di antaranya terbentur problem kultural dan struktural, rentan dicurangi saat pemilu.
Dalam kesempatan tersebut, hadir pula dua panelis dari dua dunia yang berbeda, yaitu Titi Anggraini—akademisi Universitas Indonesia serta Ketua Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)— dan Feni Rose yang lebih banyak berkecimpung di dunia hiburan.
Perbincangan dimulai dari kemungkinan munculnya presiden atau wakil presiden perempuan. Seluruh perempuan politisi tersebut sepakat mungkin belum waktunya calon presiden-calon wakil presiden perempuan muncul pada Pemilu 2024. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan calon-calon tersebut bakal muncul dalam pemilu-pemilu berikutnya, misalnya Pemilu 2029. Indonesia pernah dipimpin oleh presiden perempuan, yaitu Megawati Soekarnoputri yang juga Ketua Umum PDI-P.
Problem kultural dan struktural
Diakui, ada sejumlah problem yang menghadang perempuan saat terjun di dunia politik. Hal itu di antaranya terbentur problem kultural dan struktural, rentan dicurangi saat pemilu, kentalnya politik kekerabatan dan dinasti politik, serta problem kuota 30 persen keterwakilan perempuan saat kaderisasi di internal partai masih lemah.
Beberapa narasumber yang dihadirkan mengakui adanya problem-problem tersebut, khususnya problem kultural dan struktural yang mengikat sayap-sayap mereka untuk bisa terbang lebih tinggi. Problem kultural, misalnya, masih ada preferensi masyarakat awam untuk lebih baik memilih calon lelaki daripada perempuan meskipun keduanya memiliki kemampuan yang sama, pendidikan yang sama, dan pengalaman yang sama.
”Masyarakat pilih mana? Pasti laki-laki. Sebanyak 60 persen lebih responden memilih laki-laki. Alasannya karena pemimpin itu biasanya laki-laki atau dianggap lebih cocok memimpin,” ungkap Titi Anggraini, mengacu pada survei yang dilakukan tahun 2014.
Kondisi tersebut menjadi pekerjaan rumah seluruh pihak, baik partai politik, pemerintah, maupun masyarakat sipil, untuk mengubahnya.
Tantangan biaya tinggi
Lantas bagaimana kondisi internal partai dalam memandang peran politisi perempuan?
Seluruh perempuan politisi dari sembilan partai yang dihadirkan mengatakan tidak mengalami kendala dari internal partai hanya karena perbedaan jender. Masing-masing mengungkapkan partai membuka kesempatan luas bagi para perempuan untuk berkiprah di dunia politik.
Baca juga: Jalan Berliku Menjaring Caleg Perempuan
Beberapa perempuan politisi itu mengaku memperoleh kesempatan yang sama dengan politisi dari kalangan laki-laki di partai tempat mereka berkiprah. Dahlia Umar, contohnya, mengungkapkan, karier politik di PPP dilaksanakan berdasarkan meritokrasi. Sebab, tak ada pemilik saham tunggal di partainya. Hal tersebut, menurut dia, membuat kesempatan untuk perempuan politisi bisa menduduki jabatan ketua dewan pimpinan wilayah dan ketua dewan pimpinan cabang di berbagai daerah. Bahkan, dalam jajaran kepengurusan pusat, lebih banyak lagi perempuan politisi yang menduduki jabatan ketua dan wakil sekretaris jenderal.
Bagaimana dengan nepotisme di internal partai?
Rahayu Saraswati, keponakan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, mengaku harus menapaki karier politik dari bawah sebagai kepala bidang organisasi tahun 2008. Ia tidak merasakan ada perlakuan khusus karena ada kaderisasi di tubuh Gerindra. Ia baru menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gerindra setelah 12 tahun aktif secara politik, yaitu pada 2020.
Begitu pula dengan Zita Anjani, Ketua DPP PAN. Meskipun menjadi putri dari Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Zita tetap memulai karier politik dari bawah, dengan menjadi anak buah Eko Patrio yang saat ini menjabat Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PAN DKI Jakarta.
Seperti politisi lainnya, ia pun harus menanggung tingginya biaya kampanye sebagai calon anggota legislatif (caleg) . Ia mencontohkan, untuk seorang caleg yang ingin meraih kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta, dibutuhkan dana sekitar Rp 2 miliar dengan perhitungan berkeliling dalam satu hari di 10 titik. Untuk caleg DPR RI, diperlukan setidaknya Rp 10 miliar untuk kampanye.
Kariernya pun baru melesat pada Pemilu 2019 saat PAN berhasil mencetak skor besar untuk kursi DPRD DKI Jakarta, yakni dari sebelumnya hanya dua, menjadi sembilan kursi. ”Saya suaranya tinggi. Baru naik pangkat,” katanya.
Biaya tinggi ini pula diakui sejumlah perempuan politisi yang hadir di bincang-bincang ini, yang membuat kalangan perempuan berpikir seribu kali sebelum memutuskan terjun ke dunia politik. Di sisi lain, menurut Sumiyati dari Partai Buruh, hingga kini perempuan juga dibebani kerja domestik, yakni melaksanakan pekerjaan rumah tangga.
Dalam hal korupsi, Titi Anggraini sepakat bahwa hulu dari semua korupsi adalah korupsi politik yang dimulai dari saat kompetisi pemilu yang berbiaya tinggi. Masyarakat sipil sebenarnya telah menawarkan solusi untuk menutup lorong-lorong gelap penggunaan dana kampanye di luar yang dilaporkan, dengan mengusulkan pembentukan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Tunai atau Pembatasan Uang Kartal.
Dalam kaitannya dengan kebijakan afirmatif untuk perempuan, Titi mendukung apabila digagas adanya insentif dana kampanye untuk perempuan.
Baca juga: Caleg Perempuan Menembus Legislatif, antara Militansi dan Privilese
”Ini susah sekali. Kita semua tahu diagnosis, penyebabnya apa. Tapi, ketika bicara cari solusi konkret, selalu ada jawaban untuk mengelak dari upaya tersebut,” kata Titi.
Dalam kaitannya dengan kebijakan afirmatif untuk perempuan, Titi mendukung apabila digagas adanya insentif dana kampanye untuk perempuan. Hal ini juga makin didukung dengan data bahwa persentase perempuan politisi yang terlibat kasus korupsi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki.
Pembiayaan dan peluang
Ratu menilai, ada beberapa langkah yang bisa diupayakan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam dunia politik. Pertama, menghapus pemahaman bahwa politik itu kotor. Politik, pada dasarnya, adalah sesuatu yang mulia karena memiliki tujuan yang juga mulia. Untuk itu, menjadi pekerjaan rumah bagi partai politik untuk dapat mengubah pemikiran yang demikian.
Pendidikan politik pun menjadi hal kedua yang harus segera dikerjakan semua pihak, bukan hanya partai politik, melainkan juga pemerintah dan kalangan masyarakat sipil. Ini untuk mengikis secara perlahan tradisi dan budaya patriarki yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada laki-laki. Meskipun demikian, harus diakui bahwa keterwakilan perempuan dari pemilu ke pemilu terus meningkat.
Sita menawarkan jalan pintas. Perlu kebijakan dari unsur pimpinan partai politik secara top down untuk membalik keadaan. Hanya saja, hal tersebut membutuhkan sebuah keberanian. Hal itu dapat ditempuh, misalnya, dengan mewajibkan caleg DPRD tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota harus diisi perempuan pada tiga urutan pertama. ”Kedua, pembiayaan untuk perempuan. Kalau tidak dibiayai, tidak bisa (maju sebagai calon). Mau dari mana (uangnya),” kata Sita.
Christina pun sepakat dengan kebijakan alokasi pembiayaan untuk caleg perempuan. Sebab, apabila tidak ada dukungan dari pihak keluarga, mereka kesulitan mendapatkan biaya politik tersebut. ”Lalu, perempuan harus pilih perempuan. Itu membantu sekali,” katanya.
Terlepas dari hal tersebut, Sita mengungkapkan, kekuatan tidak akan diberikan begitu saja, tetapi harus diambil atau diperjuangkan. ”Jadi, perempuan harus sadar dulu. Kekuatan itu harus direbut,” ujarnya.