Politisasi SARA dan Netralitas ASN Jadi Masalah di Maluku Utara
Maluku Utara berpotensi memiliki tingkat kerawanan pemilu yang besar menjelang Pemilu 2024. Data kerawanan didapatkan juga dari pilkada dan pemilu sebelumnya.
SOFIFI, KOMPAS
—
Maluku Utara menjadi salah satu provinsi dengan tingkat kerawanan pemilihan umum yang besar menjelang perhelatan pesta demokrasi pada 2024. Masalah politisasi suku, ras, dan agama, serta isu netralitas penyelenggara negara menjadi sorotan di provinsi tersebut. Pencegahan di tingkat terbawah perlu dilakukan secara masif agar pemilihan umum tahun depan berjalan aman.
Berdasarkan data Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2024 yang dirilis Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dari sebaran provinsi, Maluku Utara menempati posisi ketiga provinsi paling rawan dengan nilai 86,6 poin, jauh di atas rerata nasional sebesar 46 poin. Sementara dari sektor strategis, seperti politisasi suku, agama, dan ras (SARA), Maluku menempati posisi kedua dengan nilai 76,6 poin, di bawah Provinsi DKI Jakarta dengan nilai 100 poin.
Tidak hanya itu, dari sektor strategis mengenai netralitas aparatur sipil negara (ASN), Maluku Utara menempati posisi pertama. Artinya, para ASN di Maluku Utara rawan tidak netral dalam urusan pemilu. Maluku Utara juga menjadi provinsi dengan tingkat politik uang tertinggi.
Koordinator Divisi Pencegahan Partisipasi Masyarakat dan Hubungan Masyarakat Bawaslu Maluku Utara Rusly Saraha menjelaskan, IKP disusun berdasarkan beberapa catatan penting saat pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah 2017, Pemilihan Gubernur 2018, Pemilu 2019, dan pilkada serentak 2020. Dari hasil evaluasi yang dilakukan, Maluku Utara tercatat memiliki beberapa rapor merah sehingga bisa menjadi salah satu daerah yang paling rawan saat penyelenggaraan pemilu.
”Dari data tahun 2017-2020 tersebut memang ada beberapa isu SARA yang membuat penyelenggaraan pemilu terganggu, khususnya berkaitan dengan pemilihan yang berdasarkan preferensi etnis,” kata Rusly, di Sofifi, Maluku Utara, Senin (16/10/2023).
Beberapa indikator, seperti kampanye bernuansa SARA di media sosial, penolakan kampanye karena adanya perbedaan etnis menjadi masalah yang dijumpai di Maluku Utara. Penghinaan terhadap pasangan lain juga menjadi catatan penting penyelenggaraan pemilu di sana. Kabupaten Halmahera Tengah menjadi daerah dengan tingkat kerawanan paling tinggi.
Rusly menjelaskan, pada pelaksanaan Pilkada 2017, Bawaslu mencatat banyaknya upaya intimidasi oleh aparat pemerintah kepada masyarakat. Intimidasi dilakukan agar warga memilih calon bupati yang memiliki hubungan keluarga dengan salah seorang pimpinan daerah di sana. Lalu, masih ditemukannya penolakan aktivitas kampanye salah seorang calon pimpinan daerah karena adanya perbedaan asal daerah dan etnis dengan warga mayoritas.
Di Halmahera Tengah masih ditemukan penolakan terhadap kampanye calon yang memiliki latar belakang suku yang berbeda. Edukasi politik perlu digencarkan karena hal tersebut mencederai proses pemilu.
Kampung pengawas pemilu
Dalam catatan Indeks Kerawanan Pilgub 2018 di Maluku Utara, sejumlah permasalahan netralitas aparat juga memicu kerusuhan. Di Halmahera Tengah, warga merusak kantor kecamatan dan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten karena menilai aparat pemerintahan tidak netral.
Intimidasi dan kekerasan juga dialami oleh pengawas pemilu di Halmahera Selatan dan Kepulauan Sula. ”Masih terjadi permasalahan intimidasi berbasis SARA, baik saat kampanye maupun penyelenggaraan pemilu. Ini menjadi catatan di Pemilu 2024 nanti,” ucapnya.
Sejumlah langkah antisipasi pun ditempuh oleh Bawaslu, salah satunya dengan edukasi politik di tingkat desa. Pihaknya akan membangun kelas demokrasi dan program Kampung Pengawas Pemilu di 118 desa di Maluku Utara. Program tersebut menjadi tempat bagi warga untuk berdiskusi, belajar, dan mendapatkan informasi terkait kepemiluan. Selain itu, Bawaslu juga bekerja sama dengan para tetua adat di masing-masing desa untuk membantu pengawas pemilu mencegah terjadinya kampanye bernuansa SARA.
”Sasaran utama kita juga adalah pemilih pemula agar bisa menyukseskan pemilu tahun depan. Warga di desa menjadi benteng demokrasi untuk melawan politisasi SARA dan politik uang,” ujar Rusly.
Komisioner Bawaslu Republik Indonesia, Lolly Suhenty, menjelaskan, kekerasan berbasis SARA menjadi pelanggaran pemilu dengan jumlah terbesar, yakni 145 kasus; disusul dengan kampanye SARA sebesar 95 kasus. Kehadiran IKP diharapkan membantu pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menelurkan kebijakan yang memastikan pemilu berjalan aman.
Baca Juga: Medsos Paling Rawan Politisasi SARA, Bawaslu: Pelaku Bisa Dilacak
Ia menyebut, kekerasan berbasis SARA biasanya bermula dari kampanye SARA di media sosial yang masif dan di tempat umum. Penolakan terhadap salah satu calon akibat adanya perbedaan SARA juga menjadi pemicu maraknya politisasi identitas tersebut.
”Semakin besarnya hal-hal tersebut, akan semakin besar kekerasan berbasis SARA. Provinsi, kabupaten, dan kota perlu waspada dan memberikan upaya pencegahan terbaik di tempat-tempat paling rawan ini,” ujarnya.
Baca Juga: Mengantisipasi Potensi Kerawanan Pemilu